[PORTAL-ISLAM.ID] Mungkin ada orang yang punya hutang pada orang lain, ketika ia punya uang untuk membayar dan mampu, ia tidak segera melunasinya. Ia malah sibuk membeli kebutuhan tersier/mewah bahkan pamer. Ini tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Agama Islam menekankan bahwa yang namanya hutang itu adalah darurat. Tidak bermudah-mudah berhutang dan hanya dilakukan di saat sangat dibutuhkan saja. Jika sudah mampu membayar, maka segera bayar. Jika sengaja menunda membayar hutang padahal mampu ini adalah kedzaliman.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻄْﻞُ ﺍﻟْﻐَﻨِﻰِّ ﻇُﻠْﻢٌ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃُﺗْﺒِﻊَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻠِﻰٍّ ﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊْ
“Penundaan (pembayaran hutang dari) seorang yang mampu adalah sebuah kelaliman....”[1]
Sengaja Menunda Pelunasan? Awas Bahaya Dunia-Akhirat!
Sangat bahaya dan rugi dunia-akhirat, jika sengaja menunda membayar hutang padahal mampu. Berikut beberapa hal tersebut:
1) Jika meninggal dan membawa hutang, ia akan terhalang masuk surga meskipun mati syahid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ
“Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi.”[2]
2) Keadaannya atau nasibnya menggantung/ tidak jelas atau tidak pasti apakah akan selamat atau binasa
Tentu kita sangat tidak senang dengan ketidakpastian, apalagi urusannya adalah di akhirat nanti yaitu antara surga atau neraka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.”[3]
Syaikh Abul ‘Ala Al-Mubarfkafuri rahimahullah menjelaskan hadits ini,
قال السيوطي أي محبوسة عن مقامها الكريم وقال العراقي أي أمرها موقوف لا حكم لها بنجاة ولا هلاك حتى ينظر هل يقضى ما عليها من الدين أم لا انتهى
“Berkata As Suyuthi, yaitu orang tersebut tertahan untuk mencapai tempatnya yang mulia. Sementara Imam Al ‘Iraqi mengatakan urusan orang tersebut terhenti (tidak diapa-apakan), sehingga tidak bisa dihukumi sebagai orang yang selamat atau binasa, sampai ada kejelasan nasib hutangnya itu sudah dibayar atau belum.”[4]
3) Sahabat yang punya hutang tidak dishalati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal shalat beliau adalah syafaat
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar. Beliau bersabda,“Shalatlah untuk sahabat kalian.”[5]
Maksudnya adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam ingin menjelaskan kepada para sahabatnua bahwa, hutang sangat tidak layak ditunda dibayar sampai meninggal, padahal ia sudah mampu membayarnya.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah syafaat. Beliau berkata,
وَكَانَ إذَا قُدّمَ إلَيْهِ مَيّتٌ يُصَلّي عَلَيْهِ سَأَلَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَمْ لَا ؟ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ صَلّى عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ لَمْ يُصَلّ عَلَيْهِ وَأَذِنَ لِأَصْحَابِهِ أَنْ يُصَلّوا عَلَيْهِ فَإِنّ صَلَاتَهُ شَفَاعَةٌ وَشَفَاعَتَهُ مُوجَبَةٌ
“Jika didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seorang mayit, lalu dia hendak menshalatkan maka Beliau akan bertanya, apakah dia punya hutang atau tidak? Jika dia tidak punya hutang maka Beliau menshalatkannya, jika dia punya hutang maka Beliau tidak mau menshalatkannya, namun mengizinkan para sahabat menshalatkan mayit itu. Sesungguhnya shalat Beliau (untuk si mayit) adalah syafaat (penolong) dan syafaat Beliau adalah hal yang pasti.”[6]
4) Orang yang berhutang dan berniat tidak mau melunasi, akan bertemu dengan Allah dengan status sebagai pencuri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺃَﻳُّﻤَﺎ ﺭَﺟُﻞٍ ﻳَﺪَﻳَّﻦُ ﺩَﻳْﻨًﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﻣُﺠْﻤِﻊٌ ﺃَﻥْ ﻻَ ﻳُﻮَﻓِّﻴَﻪُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ ﻟَﻘِﻰَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺳَﺎﺭِﻗًﺎ
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.”[7]
5) Status berhutang membuat pelakunya mendapatkan kehinaan di siang hari dan kegelisahan di malam hari
Umar bin Abdul Aziz berkata,
ﻭﺃﻭﺻﻴﻜﻢ ﺃﻥ ﻻ ﺗُﺪﺍﻳﻨﻮﺍ ﻭﻟﻮ ﻟﺒﺴﺘﻢ ﺍﻟﻌﺒﺎﺀ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺪّﻳﻦ ﺫُﻝُّ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﻫﻢ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ، ﻓﺪﻋﻮﻩ ﺗﺴﻠﻢ ﻟﻜﻢ ﺃﻗﺪﺍﺭﻛﻢ ﻭﺃﻋﺮﺍﺿﻜﻢ ﻭﺗﺒﻖ ﻟﻜﻢ ﺍﻟﺤﺮﻣﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﺎ ﺑﻘﻴﺘﻢ
“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia, niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah- tengah manusia selama kalian hidup.” [8]
Bagi yang memang harus berhutang karena terpaksa dan darurat, tidak perlu terlalu khawatir karena jika memang terpaksa dan berniat benar-benar membayar, maka akan dibantu oleh Allah. Ancaman tersebut bagi orang yang punya harta dan berniat tidak membayarnya.
Al-Munawi menjelaskan,
والكلام فيمن عصى باستدانته أما من استدان حيث يجوز ولم يخلف وفاء فلا يحبس عن الجنة شهيدا أو غيره
“Pembicaraan mengenai hal ini berlaku pada siapa saja yang mengingkari hutangnya. Ada pun bagi orang yang berhutang dengan cara yang diperbolehkan dan dia tidak menyelisihi janjinya, maka dia tidaklah terhalang dari surga baik sebagai syahid atau lainnya.”[9]
Ash-Shan’ani juga menegaskan demikian, yaitu bagi mwreka yang berhutang tapi berniat tidak mau melunasinya. Beliau berkata
ويحتمل أن ذلك فيمن استدان ولم ينو الوفاء
“Yang demikian itu diartikan bagi siapa saja yang berhutang namun dia tidak berniat untuk melunasinya.”[10]
Semoga Allah menjauhkan kita sejauh-jauhnya dari hutang.
Catatan Kaki
[1] HR. Bukhari
[2] HR. Ahmad No. 22546, An Nasa’i No. 4684, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 556 Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’ No. 3600
[3] HR. At Tirmidzi No. 1079, Ibnu Majah No. 2413, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 10607
[4] Tuhfah Al Ahwadzi, 4/164, Darul Kutub Al-ilmiyah, Beirut, Syamilah
[5] HR. Abu Daud No. 3343, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalamShahih wa Dhaif Sunan Abi DaudNo. 3343
[6] Zaadul Ma’ad, 1/486, Mu’ssasah Risalah, Beirut, cet. XVII, 1415 H, Syamilah
[7] HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih
[8] Umar bin Abdul Aziz Ma’alim Al Ishlah wa At Tajdid, 2/71
[9] Faidhul Qadir, 6/463, Maktabah At-Tijariyah, Mesir, cet.I, 1356 H, syamilah
[10] Subulus Salam 2/71, Darul Hadits, syamilah
Sumber: Muslim.or.id