[PORTAL-ISLAM.ID] Ada politisi yang beringas yang ingin menebas siapa saja, ada pejabat yang arogan untuk mempertahankan argumentasinya, ada wakil rakyat yang galak kepada rakyatnya, ada koruptor yang berdalil untuk melindungi kejahatannya.
Arogansi, galak, jahat dan beringas menjadi senjata untuk menutupi segala defisit akal dan etika. Memandang rendah kepakaran, menghina orang tua, untuk membenarkan sekaligus mempertahankan segala ucapannya. Itulah kebiasaan para politisi. Mencaci-maki didahulukan, berargumentasi adalah sambilan, percakapan publik pengap dengan kata-kata hinaan dan cemoohan.
Dalam panggung demokrasi perbedaan itu lumrah adanya, tetapi demokrasi tidak pernah mempersilahkan arogansi untuk mengendalikan kemauannya di atas kemauan orang banyak. Demokrasi pula tidak pernah menghapus etika dan tata krama dalam berdiskusi, karena prinsip demokrasi mengutip Voltaire "Saya tidak setuju dengan apa yang anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak anda untuk mengatakan itu".
Namun hari-hari ini, prinsip menghargai pendapat dalam perbedaan justru semakin memudar dalam kehidupan elit politik dan pejabat. Parahnya politisi yang dianggap sebagai representasi suara rakyat, hasil pilihan rakyat, justru memperlihatkan arogansi dan menolak perbedaan itu secara kasar.
Akhirnya, Gedung Parlemen diisi oleh orang-orang yang arogan. Arogansi adalah senjata untuk menutupi kekurangan pikiran dan etika. Fenomena ini menurut Rocky Gerung (2010) menjadikan sang politisi yang sebelumnya pengemis suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif.
Etika anggota DPR yang tidak mencerminkan kepribadian sebagai seorang pejabat hanya untuk membela mati-matian argumentasinya di hadapan publik merupakan sikap arogansi yang memalukan. Setajam apapun perbedaan di ruang publik, seorang pejabat harus mengedepankan etika jabatannya. Sayangnya, akhir-akhir ini, publik dibuat bingung dengan sikap arogansi pejabat dan politisi.
Anggota Dewan adalah anjing penggonggong kekuasaan, mereka berdiri bersama rakyat untuk membela kepentingan rakyat. Tetapi yang terlihat hari-hari ini, anggota parlemen menjadi perpaduan suara untuk menggonggongi rakyat (tuan) yang memilihnya. Ia justru membela mati-matian aspirasi partai politik. Setelah mengemis (mengelabui) pada rakyat dengan segala janji, kini pindah mengemis pada kekuasaan dan partai dengan segenap hati. Akhirnya politisi yang menjabat sebagai wakil rakyat bersikap arogan karena merasa sebagai representasi rakyat dan partai politik. Bagi mereka, inilah demokrasi.
Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, bukan kekuasaan partai politik. Partai politik adalah pilar demokrasi, sementara rakyat adalah pemilik sah negara. Dalam posisi sebagai "suruhan" rakyat itu Anggota dewan bekerja, mendengarkan aspirasi rakyat untuk diserap dan disampaikan ke kekuasaan. Bukan justru menerkam pendapat rakyat dan menuduhnya dengan tuduhan yang tidak benar.
Mencari pejabat yang berpihak kepada aspirasi politik rakyat agak langka dalam sistem politik feudalisme seperti di Indonesia ini. Partai Politik menjadi institusi feudal yang menciptakan arogansi politik, sehingga bukan aspirasi rakyat yang diperjuangkan, melainkan aspirasi partai politik. Itulah yang mendorong representasi partai politik berusaha mati-matian membela kemauan partai daripada mendengarkan masukan dan aspirasi rakyat.
Feudalisme yang tumbuh dalam partai politik menghasilkan irrasionalitas dalam demokrasi. Sebab partai tidak membutuhkan lagi akal, tetapi membutuhkan pemuja dan pembela yang bisa membela kepentingan partai secara membabi-buta. Pada akhirnya yang tercipta adalah kader "mulut besar" dengan segala arogansinya, ketimbang kader akal sehat dengan pikirannya.
Anti Rasionalitas
Fenomena anti rasionalits itu ditandai dengan meningkatnya emosi di atas nalar sehat dalam debat publik, pengaburan garis antara fakta, pendapat, dan hoaks, serta penolakan terhadap temua ilmiah dan kepakaran.
Contoh yang paling segar dan terbaru tentang fenomena anti rasionalitas ini adalah perdebatan antara Arteria Dahlan dan Prof. Emil Salim dalam sebuah acara talkshow televisi swasta. Perdebatan itu dipenuhi dengan sikap arogansi dan lontaran tuduhan yang disampaikan secara sarkas oleh Arteria terhadap Emil.
Emil Salim yang merupakan tokoh senior dan ahli ekonomi berusaha untuk menjelaskan permasalahan korupsi, proses politik utamanya tentang KPK. Namun Arteria yang juga merupakan politisi PDIP dan juga anggota DPR RI menuduh Emil sebagai penyesat dan tidak menerima penjelasan Emil. Debat itu emosional dan arogan.
Penjelasan pihak lain dalam debat seharusnya didengarkan. Tidak begitu dalam ruang diskursus yang defisit akal, semua penjelasan orang lain dicurigai, salah dan tidak boleh diucapkan, sementara memaksakan pendapatnya untuk menjadi pembenaran dan dengan sekuat "urat leher" mengharapkan applaus dari penonton.
Dalam diskusi yang seperti itu, rasionalitas tidak dibutuhkan, penalaran akal sehat tidak diperlukan. Cukup memiliki suara yang besar dan "ngotot" sebagai "bekal" untuk tampil dalam mimbar publik. Kepakaran bukan lagi menjadi legitimasi, tetapi kekuasaan dan arogansi yang melegitimasi segala argumentasi.
Inilah akhir dari ķebenaran. Di mana kita telah memasuki dunia pasca-kebenaran. Di dalam dunia ini, kebenaran bisa berubah tiap jam dan menit, bahkan menurut George Orwell sejarah bangsa pun dapat dirubah dalam tiap jam dan hari. Donald Trump adalah contoh "terburuk" dari hilangnya rasionalitas Dalam era post-truth. Ungkapan kasar dan tuduhan-tuduhan yang memungkinkan bisa menarik perhatian media dan menimbulkan kontroversi di publik mampu menghilangkan rasionalitas bahkan menguburkan penjelasan para pakar.
Menyebarkan tuduhan atau menyerang lawan debat tanpa nalar dan tanpa argumentasi yang rasional lebih seksi dari penalaran ilmu. Sehingga publik dihebohkan dengan fantasi kata-kata daripada kedalaman argumentasi. Cara ini justru menjadi jalan kematian akal sehat. Karena debat tidak lagi membahas substansi, tetapi siapa yang memiliki "mulut besar" maka ia menjadi bahan perbincangan semua orang. Tidak peduli apakah dia benar atau salah, tetapi dia mampu mengelabui substansi dengan sensasi.
Dalam dialog seperti ini arogansi dan merasa berkuasa menjadi modal untuk menghajar lawan, tidak peduli etika dalam perdebatan. Tidak ada kepakaran, bahwa itu hanya semacam pengakuan, bahwa kepakaran bukanlah alat ukur, bahwa yang menjadi penentu penguasaan dialog adalah pembicaraan dengan suara yang nyaring dan emosi yang membara, membuat lawan diam dan ciut nyalinya dengan suara dan amarah itu.
Hasil akhir dari semua tingkah laku amoral itu adalah untuk menguburkan substansi dalan riuhnya sensasi. Dan ketika itulah penghargaan terhadap keahlian, penghormatan terhadap orang tua, memperjuangkan aspirasi rakyat, menghargai etika publik tidak lagi penting, yang dipentingkan adalah sensasi.
Penulis: Furqan Jurdi