[PORTAL-ISLAM.ID] Akankah aksi unjuk rasa di Indonesia berlarut seperti aksi massa di Hong Kong?
Pertanyaan tersebut mencuat, menyusul sejumlah cuitan demonstran di Hong Kong. Mereka menyatakan dukungan terhadap pengunjukrasa di Indonesia.
Di media sosial beredar foto-foto dukungan mereka tertempel di Tembok Lennon (Lennon Wall). Tembok berisi ribuan pesan kertas post it itu merupakan simbol pergerakan demonstran Hong Kong.
Salah satunya bertuliskan: Support Indonesian Protesters. Dukung para pemrotes di Indonesia.
Akun @alexhker menggunggah dua burung-burungan kertas, salah satunya berwarna merah putih dengan pesan: Hong Kong is standing with Indonesia.
Tanda-tanda bahwa unjuk rasa di Indonesia akan berlarut seperti di Hong Kong, sudah mulai nampak.
Pesan video seorang mahasiswa kepada Presiden Jokowi dan anggota DPR, viral di medsos.
Anak muda yang mengenakan jaket hijau army, dengan topi dan polesan odol di bawah mata, menyatakan aksi mereka ini hanyalah awal.
Mereka tidak akan menyerah dan melakukan perlawanan lebih keras. "Selain melakukan judicial review, kami akan terus turun ke jalan," tegasnya.
Video itu tampaknya diambil tak jauh dari Gedung DPR RI saat berlangsung unjuk rasa, Senin (30/9).
Sangat Mirip
Faktor penyebab dan ciri-ciri unjuk rasa di Indonesia memang mirip dengan Hong Kong. Bedanya skalanya lebih besar dan massif. Terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia.
Aksi protes di Hong Kong saat ini sudah memasuki pekan ke 14. Dipicu pemberlakuan UU ekstradisi oleh otoritas Hongkong. Di bawah UU itu seorang pelaku kejahatan di Hong Kong bisa diekstradisi ke Cina daratan.
Tak ada tanda-tanda aksi protes akan berhenti, kendati otoritas Hong Kong telah membatalkan UU tersebut.
Laman Financial Times (23/7) dalam artikel berjudul: Why Hong Kong's protesting youth are so angry menyebut, isu UU ekstradisi hanya kendaraan bagi berbagai persoalan lain.
Masa depan Hong Kong yang akan bersatu dengan Cina daratan, membuat anak muda frustrasi dan penuh tanda tanya.
Kemarahan pada sistem politik yang rusak; kurangnya peluang ekonomi; dan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap daratan Cina. Negara yang secara teknis bagian dari model "satu negara, dengan dua sistem".
Rasa frustrasi itu telah terbangun sejak gerakan protes 2014. Ketika itu puluhan ribu pemuda Hong Kong berkemah di jalan-jalan. Mereka menekan Beijing untuk sepenuhnya menjalankan pemilu yang demokratis di Hongkong.
Protes itu dihancurkan. Pemimpin Hong Kong memenjarakan para pemimpin gerakan. Menekan kebebasan, menghalangi politisi oposisi untuk bertarung dalam pemilu, dan mendiskualifikasi anggota parlemen pro-demokrasi terpilih karena dicurigai tidak loyal kepada Cina.
Analis politik Sonny Lo mengatakan, otoritas Hong Kong gagal memahami dan mengelola kebencian yang membara. "Mereka gagal sepenuhnya sebagai lembaga yang seharusnya menjembatani kesenjangan komunikasi antara elit yang berkuasa dan rakyat biasa," ujarnya.
"Orang-orang muda sangat tidak puas dengan sistem - mereka merasa tidak adil. Tidak memiliki masa depan," ujar Anthony Cheung, seorang profesor di Universitas Hong Kong.
Di Indonesia unjuk rasa juga dipicu oleh pengesahan UU KPK dan terpilihnya pimpinan KPK yang baru.
Mahasiswa turun ke jalan. Isunya cukup beragam. Mulai dari RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan Pertanahan. Juga ada RUU Penghapusan Kekerasan Sesksual (PKS) dan RUU Ketenagakerjaan.
Pemerintah memutuskan untuk menunda pengesahan lima RUU tersebut. Jokowi setelah bertemu sejumlah tokoh, juga tengah mempertimbangkan untuk membatalkan UU KPK. Sebagai gantinya menerbitkan Perppu.
Namun keputusan menerbitkan Perppu itu mendapat perlawanan partai-partai pengusung Jokowi, terutama dari PDIP. Undangan Jokowi untuk bertemu mahasiswa di istana ditolak.
Andaikata Jokowi menerbitkan Perppu pun, tampaknya tak akan meredakan aksi turun ke jalan. Sudah terlambat!
Mahasiswa sudah terlanjur marah terhadap perlakuan aparat kepolisian. Tewasnya beberapa orang pengunjukrasa di Kendari, Makassar, dan Jakarta membuat mereka sampai pada kesimpulan: Pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan zalim.
"Pemerintahan yang melindungi dan menafkahi para koruptor," seperti dikatakan mahasiswa berjaket hijau tadi.
Bila selama ini mahasiswa menjaga jarak dengan proses kontestasi kekuasaan, kini mereka bersentuhan, bahkan berhadapan langsung dengan kekuasaan.
Perlakuan brutal dari aparat kepolisian ketika mengamankan aksi unjukrasa, membuat mereka tersadar. Ada yang salah dengan rezim ini dalam mengelola negara.
Situasinya kian pelik karena pelajar, terutama anak-anak STM ikut turun ke jalan. Anak STM adalah representasi kelas marjinal. Mereka adalah kelompok underdog yang terpinggirkan. Orang tua mereka adalah kelas pekerja yang menjadi korban langsung berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi.
Beban hidup kian berat akibat harga-harga yang melambung, tarif listrik dan BBM yang terus naik, semakin meningkatnya pengangguran, adalah bagian hidup keseharian mereka.
Realitas hidup yang berat, ditambah masa depan yang tidak pasti, membuat mereka menemukan katarsis melalui aksi unjukrasa.
Jadilah seperti yang kita saksikan. Mereka seperti tak kenal rasa takut. Dengan penuh percaya diri berhadapan dengan polisi. Tak jarang kita menyaksikan adegan yang selama ini hanya bisa kita saksikan dalam gerakan Intifada di Palestina atau aksi protes di Hong Kong.
Anak-anak STM dengan bersenjata batu, kayu dan bambu berhadapan dengan anggota Brimob dengan persenjataan lengkap. Mereka menghadang water canon, adu berani menghadang gas air mata, dan melakukan tendangan salto ala jagoan kungfu menerjang barisan pasukan Brimob yang berlindung di balik tameng.
Mereka seperti menemukan arena bermain baru yang lebih menantang. Pamer nyali, menggantikan kegiatan tawuran. Suasananya penuh kegembiraan. Adrenalin mereka terpacu dan mendapat penyaluran.
Di medsos beredar video anak-anak STM ini membawa tameng hasil rampasan dari pasukan Brimob. Ada pula yang menggunakannya sebagai kereta luncur ditarik sepeda motor. Riang gembira.
Seperti generasi muda Hongkong, anak-anak muda ini juga sedang meluapkan rasa frustrasinya, akibat masa depan yang tak menentu.
Sayangnya pemerintah -seperti halnya otoritas Hong Kong- gagal memahami akar persoalan, dan tak mampu berkomunikasi dengan baik. Yang dikedepankan justru sikap represif. Mencari-cari justifikasi. Menyatakan ada kelompok yang menunggangi.
Mahasiswa yang kritis, kecewa dan tak puas terhadap elit politik dan pemerintah, anak-anak STM yang frustrasi, terpinggirkan, adalah kelompok-kelompok yang kini tengah dihadapi pemerintah.
Anak-anak muda dan remaja ini bukanlah para petualang politik, pencari rente dan remah-remah kekuasaan. Mudah ditaklukkan dengan cara diundang ke istana dan diberi janji-janji serta konsesi politik tertentu.
Mereka tidak silau oleh kekuasaan dan janji-janji manis penguasa. Mereka akan terus melawan selama pemerintah dianggap menyimpang.
Mereka akan terus turun ke jalan, selama pemerintah tidak menunjukkan langkah konkrit memperbaiki keadaan dan menegakkan keadilan.
Penulis: Hersubeno Arief