[PORTAL-ISLAM.ID] Aku mau to the point saja. Sri, sebenarnya kamu kerja untuk siapa? Sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia, bukankah semestinya kamu kerja untuk rakyat Indonesia? Bukankah gaji dan seabrek fasilitas serbawah yang kamu nikmati itu dibayari oleh rakyat Indonesia? Bukankah dalam sumpah yang kamu ucapkan waktu dilantik sebagai menteri antara lain berbunyi:
“Saya bersumpah, bahwa saya, setia kepada UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Bahwa saya, dengan sekuat tenaga akan mengusahakan kesejahteraan Republik Indonesia.”
Sri, sumpahmu itu berat, lho. Apalagi kalau tidak salah, sebelum bersumpah, kalian para menteri yang muslim, termasuk kamu, mengatakan “demi Allah aku bersumpah...” Sumpah itu menyebut-nyebut asma Allah Yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Sumpah itu berimplikasi kepada tanggungjawab dunia dan akhirat. Allah pasti akan mintai pertanggungjawabannya. Maksudku, itu kalau kamu percaya adanya kehidupan setelah mati, di akhirat.
Tapi, terlepas kamu percaya atau tidak dengan balasan di akhirat kelak atas segala perbuatan di dunia, yang pasti kamu sudah bersumpah. Kamu juga sudah menikmati gaji dan bergelimang fasilitas sebagai menteri yang dibayari semuanya oleh rakyat Indonesia. Secara etik, mestinya kamu harusnya merasa punya utang budi kepada rakyat Indonesia. Kamu punya tanggungjawab moral untuk memenuhi sumpah kamu itu.
Tapi Sri, kenapa justru perilakumu menabrak sumpah suci itu? Kenapa segala kebijakanmu justru banyak menyusahkan rakyat?
Aku tidak mau membahas bagaimana kamu gigih memperjuangkan dan mengusung ekonomi neolib yang terbukti di banyak negara, juga di negeri kita, gagal mensejahterakan rayat. Aku juga tidak berminat menyoal hobimu membuat utang ribuan triliun dengan bunga supertinggi. Aku pun tidak mau singgung soal dari tahun ke tahun kamu alokasikan sebagian besar dana di APBN untuk membayar utang.
Aku juga ogah ngomongin kenapa kamu justru rajin memangkas belanja sosial (subsidi) Pemerintah untuk rakyat Indonesia yang berakibatnya naiknya harga-harga kebutuhan dasar. Aku pula tidak ingin bicara tentang kepanikanmu dalam menggenjot penerimaan pajak, dengan cara sibuk memajaki aneka hal remeh-temeh yang membebani UMKM dan rakyat kecil. Padahal, pada saat yang sama kamu justru mengurangi bahkan membebaskan bermacam pajak (tax holiday) barang-barang mewah dan bagi pengusaha dan asing dengan dalih investasi.
Kenapa kali ini aku tidak berminat membahas itu semua? Karena kamu orang yang kopeg, ndableg. Tidak mempan masukan, apa lagi kritik. Berapa banyak orang dan pihak yang berteriak soal-soal tersebut? Tapi kan kamu selalu ngeles dengan berbagai dalih. Utang terkendali, lah. Mengelola APBN secara prudent, lah. Dan serenceng jurus berkelit lainnnya yang jadi andalanmu. Kamu abaikan semua kekhawatiran dan ketakutan akan kebijakanmu yang lebih banyak menyenangkan ‘pasar’ sekaligus pada saat yang sama justru menyusahkan rakyat Indonesia sendiri.
Jadi, pertanyaan di pembuka surat ini sekali lagi aku ajukan kepadamu. Pertanyaan ini makin menemukan konteksnya, ketika kamu mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus SIM dan sekolah anaknya. Sadarkah kamu ketika mengucapkan usul ini? Sehatkah kamu saat mulutmu berucap seperti ini?
Sri, kamu kan menteri. Mosok kamu tidak tahu, bahwa perpanjangan SIM itu penting banget, khususnya bagi para sopir dan pengendara motor, termasuk tukang ojek. Kamu bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada mereka kalau saat bekerja di atas roda tanpa mengantongi SIM yang masih berlaku? Jika lagi apes, mereka akan ketanggor polisi. Mereka bisa kena tilang atau memberi ‘uang damai’ kepada Polantas. Mereka harus keluar uang tambahan, Sri.
Kamu tahu, kan, bahwa mereka adalah orang-orang kecil yang mengandalkan duit receh agar bisa menghidupi anak, istri, dan keluarganya. Dengan uang recehan itu mereka membeli beras, membayar tagihan dan atau pulsa listrik, membeli gas ukuran 3 kg, membayar uang sekolah anak-anak, membayar belanjaan di pasar-pasar tradisional, dan membayar segala kebutuhan dasar mereka.
Jadi, kalau rakyat telat atau tidak sanggup membayar iuran BPJS, karena uang mereka sudah habis untuk berbagai kebutuhan dasar tadi. Jangankan membayar denda, untuk membayar iuran rutin bulanan saja mereka tidak sanggup. Mereka tidak punya duit, Sri!
Kamu tahu konsekuensi bagi para penunggak iuran BPJS? Pasti kamu baca berita, ada yang tidak bisa membawa pulang jenazah keluarganya dari rumah sakit karena menunggak iuran BPJS seperti yang dialami Lilik Puryani, anak Suparni. Dia terpaksa menjaminkan sepeda motor untuk mengambil jenazah ayahnya yang dirawat dan meninggal dunia di RSI Madiun yang menyodorkan pembayaran sebesar Rp 6,8 juta. Padahal, sangat boleh jadi, sepeda motor itu menjadi tulang punggung keluarga tadi dalam mengais nafkah yang receh-receh.
Kamu pasti tahu persis, rakyat kecil tidak sama dengan kamu yang menteri. Buat kamu, Rp 6,8 juta pasti tidak berarti, bahkan jika deretan nolnya ditambah beberapa lagi. Rakyat harus berjuang ekstra keras agar bisa sekadar bertahan hidup di tengah gempuran harga-harga yang terus merangkak naik. Sedangkan kamu, gajimu besar. Kekuasaan dan kewenanganmu lebih besar lagi.
Listrik dan kebutuhanmu yang lainnya ditanggung oleh negara. Supirmu dibayari negara. BBM mobil supermewahmu dibayari negara. Baju dinas di kementerinmu yang mentereng itu, juga dibeli dengan uang rakyat. Perjalanan dinasmu yang terbang dengan kelas eksekutif, kamar hotel mewahmu, kartu kreditmu semua dibayari negara. Kamu hidup dengan serbagratisan, Sri. Dan semua itu dibayari oleh rakyat. Kamu tahu persis, kan, Sri?
Satu lagi. Sri, kamu kan intelektual. Gelar akademismu doktor lulusan luar negeri, Amerika Serikat pula. Keren sekali. Sebagai intelektual, kamu pasti paham betul pentingnya pendidikan. Kamu pasti tahu persis, bahwa dengan pendidikan peluang seseorang memperbaiki nasibnya lebih terbuka lebar ketimbang orang yang tidak atau kurang berpendidikan.
Tapi, Sri, sebagai intelektual dan menteri kenapa kamu tega mengusulkan agar penunggak iuran BPJS dikenai sanksi tidak bisa mengurus sekolah anaknya. Jahat sekali kamu! Kalau dulu penjajah Belanda melarang rakyat Indonesia yang mereka sebut inlander untuk bersekolah, aku masih bisa memahami alasannya. Belanda tidak ingin rakyat Indonesia pintar, agar mereka bisa melestarikan penjajahannya atas negeri yang berjuluk rangkaian Jamrud Khatulistiwa.
Tapi Sri, usul yang berimplikasi menghalangi rakyat Indonesia bersekolah dan menjadi pintar kali ini datang dari kamu. Seorang menteri, intelektual, sekaligus WNI asli keturunan Indonesia.
Aku harus bilang apa dengan fakta seperti ini? Kamu benar-benar jahat. Kamu sadis terhadap rakyat Indonesia yang sudah menanggung gaji dan bermacam fasilitasmu sebagai menteri.
Atau, barangkali kamu mau mengelak, bahwa tidak semua kebutuhan hidupmu dibayari rakyat? Mungkin kamu juga dapat penghasilan dari jasa atau sebagai pembicara di aneka forum bergengsi karena intelektulitas dan atau pengalamanmu. Tapi Sri, biarkan aku mengingatkanmu, bahwa betapapun dan bagaimanapun, kamu tetaplah WNI. Kamu tetap rakyat Indonesia asli, bukan keturunan. Mosok kamu tega dan jahat kepada saudara-saudaramu sesamat rakyat Indonesia?
Sri, sebagai menteri dan intelektual, kamu pasti tahu, bahwa ada amanat konstitusi yang mewajibkan negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau kamu lupa, aku kutipkan sebagian dari paragraf empat UUD 1945:
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,..”
Cetak miring dan bold sengaja kulakukan untuk memberi penekanan, barangkali kamu luput memperhatikan. Pertanyaannya, bagaimana rakyat bisa cerdas jika kamu yang jadi menteri justru menghalang-halangi mereka bersekolah hanya karena mengunggak iuran BPJS? Di mana hati nuranimu? Masih adakah? Kalaupun ada, masihkah hati nuranimu itu hidup?
Tidakkah cukup penderitaan rakyat saat bosmu yang presiden itu akan menaikkan iuran BPJS dua kali lipat? Di mana juga hatimu, ketika dengan enteng kamu bermaksud menaikkan gaji direksi BPJS? Padahal, fakta dan bukti menunjukkan mereka tidak becus mengelola perusahaan asuransi yang di back-up kekuasaan.
Terakhir, sebagai menteri keuangan, tentu kamu paham betul bahwa BPJS bukanlah pajak atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Tidak ada secuil pun aturan apalagi UU yang mewajibkan rakyat membayar iuran BPJS. Kalau sekarang rakyat dipaksa ikut dan membayar iuran BPJS, dengan segala sanksinya yang tidak masuk akal dan kejam, itu karena kalian para pejabat publik telah berlaku sangat zalim kepada rakyatnya sendiri.
Bagaimana mungkin menteri keuangan dan intelektual seperti kamu tidak paham perbedaan antara pajak, PNBP, dan iuran? Namanya saja iuran, mana bisa dijadikan kewajiban. Iuran itu hanya berlaku bagi yang terlibat. Iuran RT, misalnya, hanya wajib bagi warga lingkungan RT yang bersangkutan.
Lagi pula, BPJS sejatinya adalah manipulasi negara terhadap rakyat. BPJS bukanlah jaminan kesehatan oleh negara kepada rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945. Di situ disebutkan, “Negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.”
BPJS hanyalah perusahaan asuransi yang berlindung di balik ketiak penguasa, ya di antaranya kamu. BPJS adalah bentuk kesewenang-wenangan negara yang amat luar biasa terhadap rakyatnya. Tolong tunjukkan kepadaku, di belahan bumi mana ada negara yang mewajibkan rakyatnya untuk menjadi peserta asuransi?
Sudahlah Sri, bertobatlah. Jabatan yang kamu banggakan itu sama sekali tidak abadi. Cepat atau lambat akan selesai. Berakhir. Dan, yang lebih penting lagi, kalau kamu orang yang beragama, tentu kamu yakin adanya akhirat. Kelak, kamu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan mahkamah yang antisuap dan KKN. Ngeri, lho Sri!
Jakarta, 6 September 2019
Penulis: Edy Mulyadi