[PORTAL-ISLAM.ID] Saya mendapatkan informasi tentang wafatnya Presiden Indonesia Ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie kemarin sore, selepas Maghrib, ketika seorang kawan menunjukkan instagram Mbak Melanie Subono, cucu keponakan Pak Habibie, yang berisi tentang kabar wafatnya Pak Habibie. Saya lalu menghubungi sahabat saya, Anne, adik Mas Ruby Staf Pribadi Pak Habibie, via WA. “Iya, benar,” jawabnya pendek. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun… Akhirnya kabar itu saya teruskan ke redaksi dan kemudian diputuskan untuk breaking news.
Sebenarnya ada banyak kenangan tentang Pak Habibie yang ingin saya tuliskan. Termasuk beberapa hal lucu saat saya mewawancarai beliau dulu. Salah satunya ketika saya mewawancarai Pak Habibie di Sukabumi menjelang Pemilu 1997. Ketika itu saya mewawancarai Pak Habibie seusai acara di Pesantren Pulo Air. Saya memang sengaja datang ke sana karena ingin mendapat penjelasan beliau tentang situasi politik menjelang pemilu.
Saya semula masih ngobrol dengan Assospol Kassospol ABRI Mayjen Soewarno Adiwidjojo ketika Pak Habibie tiba di lokasi dengan naik Helikopter. Setelah menyampaikan amanat dan beramah tamah sekitar satu jam, Pak Habibie kemudian bersiap meninggalkan lokasi. Saya kemudian mendekat ketika beliau masih duduk santai. Pak Habibie lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya saat itu dengan antusias.
Ternyata, meski saya hanya berharap satu dua kutipan, beliau malah menjawab panjang lebar. Sementara saat itu ajudan beliau, Letkol CPM siapa saya lupa, sudah memberikan kode bahwa Pak Habibie harus segera cabut karena dijadwakan untuk bertemu Pak Harto. Maka saya pun sudah menghentikan pertanyaan saya. Justru Pak Habibie yang berkata,” Sebentar, saya harus menjelaskan ini supaya masyarakat tahu,” Beliau kemudian melanjutkan penjelasannya lagi secara panjang lebar.
Padahal, sebentarnya Habibie jika sedang berbicara bisa sampai beberapa belas menit. Akhirnya sang ajudan terpaksa menuntun Pak Habibie, yang berjalan mundur karena masih menghadap ke arah tape recorder saya yang masih teracung. Setelah beberapa belas langkah barulah beliau menghentikan penjelasannya kepada saya, dan kemudian baru menuju helikopter. Pak Warno sampai tertawa terbahak-bahak melihat kenekatan saya dan juga kenekatan sang ajudan.
Sayang sejak kemarin saya kurang sehat, sementara saya juga harus menyiapkan diri untuk test profiling dari sejak pagi hingga maghrib tadi. Sehingga selain belum sempat menulis, saya pun tak sempat takziyah ke Patra Kuningan, kediaman Pak Habibie, dan ke Makam Pahlawan Kalibata. Padahal beberapa kawan lama di masa awal reformasi sudah mengajak ketemu di sana.
Karena itu, dalam beberapa hari ini saya akan membagikan beberapa tulisan saya yang berkaitan dengan Pak Habibie, agar kawan-kawan yang masih muda usia bisa memahami situasi saat itu. Salah satunya, lawan-lawan politik Habibie selalu mengatakan bahwa pemerintahan Habibie adalah perpanjangan tangan Orde Baru dan kelanjutan pemerintahan Pak Harto. Padahal hingga wafatnya kemarin, keluarga Cendana masih tetap menyimpan ketidaksukaan kepada Pak Habibie.
Selamat jalan, Pak Habibie...
Penulis: Hanibal W Y Wijayanta