[PORTAL-ISLAM.ID] Presiden Joko Widodo diingatkan bahwa dirinya adalah presiden yang lahir untuk membenahi Indonesia yang terjangkiti virus korupsi yang menyebabkan kemiskinan merajalela, agar membangun pemerintahan yang bersih, memastikan kesejahteraan rakyat bisa terpenuhi. Juga tidak benar pejabat negara dan BUMN jadi takut kerja karena pemberantasan korupsi yang sangat trengginas oleh KPK sehingga UU KPK perlu direvisi yang tujuannya untuk melemahkan KPK saat ini.
Sepanjang mereka punya mental, jiwa, dan hati yang tulus ikhlas, serta menjalan aturan yang benar untuk membangun negara, mereka tidak akan pernah ditangkap KPK, juga mengingatkan agar Jokowi tidak menjadi Presiden yang pemerintahannya dicatat sebagai paling korup sepanjang sejarah.
Disampaikan oleh wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono kemarin, Kamis 12/9/2019, penulis sependapat dengan apa yang disampaikan Poyu pada media. Namun mengamati perkembangan yang terjadi baik beberapa bulan atau tepatnya satu setengah tahun yang lalu, keinginan untuk melakukan revisi UU KPK dengan substansi pelemahan sudah dilakukan dan mendapat perlawanan dari masyarakat sipil, sehingga dipending.
Namun sebulan pada akhir jabatan DPR RI oleh beberapa anggota partai koalisi pendukung Jokowi, revisi UU KPK dimunculkan kembali sebagai UU inisiatif DPR. Dari media kita saksikan rapat paripurna DPR-RI yang di hadiri tidak sampai 100 orang menyetujui secara cepat dengan substansi disampaikan secara tertulis oleh setiap fraksi.
Reaksi bermunculan setelah itu dan dari media juga kita lihat dan baca bahwa kader-kader PDI Perjuangan “pasang badan” untuk revisi tersebut harus diterima dan dikebut sesegera mungkin dalam waktu kerja efektif 2 minggu.
Semula memang ada harapan dari perjuangan para pekerja/pegawai KPK bereaksi secara kompak dan mendapat dukungan luas dari kalangan akademisi berbagai kampus dan masyarakat antikorupsi, begitu juga pimpinan KPK kompak (minus Alex Marwata /karena ada kepentingan dalam proses sebagai capim KPK yang baru) menulis surat kepada Presiden Jokowi agar tidak menyetujui revisi UU KPK memperlemah fungsi KPK.
Namun Presiden Jokowi yang juga petugas partai PDI Perjuangan, melalui Menkumham, Yasona Laoly yang juga kader partai PDI Perjuangan ternyata tidak terlalu lama untuk membahas dan berpikir yang seharusnya mempunyai waktu 60 hari, bak gayung bersambut langsung menyetujui revisi RUU KPK tersebut dalam hitungan hari.
Mengikuti perkembangan uji kelayakan dan kepatutan 10 capim KPK yang juga sedang berproses sampai pada malam dimana penulis mengamati sangat kental para angota DPR mengarahkan untuk pemilihan Capim satu paket dengan calon yang mendukung revisi, bahkan akan diikat dengan kesepakatan tertulis, artinya lengkap sudah bahwa rencana pelemahan KPK merupakan desain yang sudah diatur sedemikan rupa oleh pemerintah maupun oleh anggota DPR, penulis sampai pada kesimpulan bahwa DPR dan Pemerintahan Jokowi melakukan “akal-akalan” di balik pengguliran wacana revisi UU KPK yang sebenarnya tidak memiliki urgensi apapun, selain melakukan pelemahan/ pelumpuhan KPK.
Penulis pernah punya pengalaman mendatangi dalam kesempatan mempermasalahkan mafia pangan dan diterima oleh deputi dan beberapa staff/pekerja KPK yang masih muda, penulis sangat terkesan mereka adalah pekerja pilihan cerdas dan punya idealisme tinggi.
Saat itu, penulis punya keyakinan ke depan mereka akan semakin tajam dan berintegritas, ketika mereka kompak melakukan aksi menolak revisi UU KPK yang melemahkan dan juga menolak Capim yang diragukan integritasnya, penulis semakin yakin bahwa mereka memang sangat peduli terhadap nasib bangsa yang sangat korup, harus dilawan dengan keberanian, dan itu mereka buktikan dengan aksi turun ke jalan bahkan menutup tulisan KPK dengan kain hitam.
Sebagai pengamat, penulis memastikan suasana semangat dan idealisme mereka akan padam jika pemerintah dan DPR RI tetap memaksakan Capim yang bermasalah dengan menghadirkan UU yang jelas-jelas jika dibahas satu-persatu sangat membuat KPK lumpuh, walaupun dibanggakan oleh pemerintah dan DPR RI bahwa fungsi KPK harusnya sebagai pencegahan, bukan penindakan bahkan OTT juga sangat dibatasi.
Itu semua adalah sebagai lipstik, karena adalah tidak mungkin KPK masuk ke lingkungkan partai-partai melakukan pencegahan, padahal disitulah potensi kekuasaan untuk korupsi, adalah tidak mungkin KPK melakukan pecegahan di lingkungan DPR-RI karena sudah full power mengangkat Dewan Pengawas KPK yang kekuasaannya juga luar biasa dibandingkan dengan Komisioner KPK, adalah tidak mungkin KPK melakukan pencegahan korupsi ke instansi militer, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman, begitu juga di kementerian, yang selama ini adanya inspektorat di bawah menteri tidak mampu melakukan pencegahan. Bisa dipastikan betapa kesulitan KPK yang sudah dipreteli senjatanya tidak akan lebih berdaya dari pada inspektorat kementerian yang selama ini bertugas sebagai lembaga pencegahan.
Mengingat hal tersebut, sangat tepat jika sebaiknya KPK dibubarkan saja, karena akan menjadi beban bagi rakyat. Sementara harapan rakyat sangat tinggi terhadap KPK yang sudah tidak berdaya karena kewenangannya sudah dipreteli, demikian juga KPK ke depan akan menjadi lembaga legitimasi semata yang dimanfaatkan untuk pernyataan tidak adanya korupsi di suatu instansi, karena sudah berhasil “mencegah” tanpa diketahui apa upaya yang dilakukan untuk mencegah, karena mereka KPK memang sudah punya gigi untuk melakukan pencegahan.
Sebagai pengamat, penulis meyakini bahwa suasana semangat dan idealis dari para pegawai muda KPK selama ini akan merosot, walaupun beberapa “koboi” DPR menyampaikan bahwa Capim yang satu-satunya tersisa dari kepolisisan, dan sudah secara meyakinkan oleh pimpinan KPK dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat, dipaksakan menjadi pimpinan KPK yang baru. Sebaliknya, penulis mengamati akan terjadi gelombang pengunduran diri, karena mereka masih usia muda dan cerdas-cerdas untuk bekerja di tempat lain.
Jika demikian, tepat kiranya lonceng kematian KPK akan berdentang. Sayang seribu sayang, jika ini dikehendaki oleh anggota DPR tepatnya anggota perwakilan partai dan pemerintahan Jokowi, tentunya akan tercatat dalam sejarah.
Penulis: Syafril Sjofyan