[PORTAL-ISLAM.ID] Hanya dalam hukumlah, begitu postulat rule of law, hak dan kewenangan ditemukan, didefenisikan. Rule of law tak mengenal, menyediakan kesempatan seluas lubang jarum sekalipun untuk mengakui etika dan moral sebagai sumber hak dan wewenang. Hak dan kewenangan, dalam perspektif rule of law, sekali lagi, hanya ada dalam hukum. Titik.
Batalnya sebuah hak dan hilangnya kewenangan hanya bisa dilakukan dengan cara yang didedefnisikan dalam hukum. Tidak di luar itu. Itu sebabnya orang-orang yang mengetahui konsekuensi tersembunyi ini, dengan cara yang selalu terlihat demokratis, akan mati-matian berusaha menguasai hukum.
Kecerdasan kapitais mengenal konsekuensi teknis rule of law, bukan rule of man dan mengandalkannya dalam kehidupan bernegara, terlihat cukup jelas di Amerika awal abad ke-20. Contoh paling spektakuler dalam kasus ini, tetapi sering diterima sebagai satu temuan paling mengagumkan dalam memacu kehidupan ekonomi nasional adalah pembentukan The Federal Reserve Act 1912.
Melegalkan Kepentingan
Bank tipikal ini telah ditolak oleh Thomas Jefferson, presiden Amerika ke-3, pria yang dalam kampanye menuju kursi presiden dituduh kafir, karena pembelaannya yang berani dan terbuka terhadap hak-hak manusia non kulit putih. Penolakannya terhadap kehadiran bank sentral, dalam kenyataan didukung secara bergantian dan fanatik oleh Andrew Jackson dan terakhir oleh William Howard Taft, presiden Amerika periode 1908-1912. Presiden-presiden ini cukup yakin terhadap tesis Thomas Jefferson bahwa Bank tipikal ini pasti merepotkan pemerintahan dan rakyat, karena memiliki inflasi, deflasi dan sejenisnya sebagai anak kandungnya.
Tetapi para bankir tak patah arang. Akhirnya mereka berhasil pada waktunya. Tahun 1912 Bank yang begitu ditakuti Thomas Jefferson dan beberapa presiden sesudahnya itu akhirnya diciptakan. Kongres membuat The Federal Reserve Act. UU ini ditandatangani oleh Woodrow Wilson, presiden terpilih yang mengalahkan William Horward Taft, professor hukum yang juga kandidat incumbent dalam pilpres yang menghasilkan Woodrow Wilson sebagai pemenangnya itu.
Mengandalkan hukum –rule of law- bukan -rule of man atau rule by man- juga menggema di politik Indonesia. Di awal orde baru politisi-politisi, atas dasar itu, merekayasa tatanan investasi asing. Mereka lalu membuat UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Hukum itu disambut Freeport yang telah lama mengintip dengan seksama sumberdaya alam, khususnya di Papua. Kapitalis globalpun segera memuji Indonesia berhasil membangun hukum modern.
Waktu berjalan. Demokrasi yang datang sekali lagi di tahun 1998 mengharuskan bangsa ini mereinstitusionalisasi rule of law. Perlahan tapi pasti UU Penanam bentukan orde baru segera terlihat kehilangan daya adaptif terhadap perkembangan mutakhir. Hukum ini terlihat payah, tak dapat diandalkan untuk membawa Indonesia ke arus kompetisi global.
UU Penanaman modal; asing dan dalam negeri segera ditenggelamkan. Kedua UU ini diganti dengan UU Nomor 20 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Hukum ini segera terlihat hebat. Itu karena hukum ini menyediakan sejumlah hal, yang memungkinkan kapitalis di panggung kapitalisme global tergiur membawa uangnya ke Indonesia. Di antara hal-hal hebat itu adalah investor dapat menguasai tanah dalam jumlah luas. Jangka waktu penguasaannya dapat diperpanjang hingga mendekati satu abad. Hebat. Inilah rule of law khas kapitalis global.
Sebentar lagi, menurut Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 pemegang PKP2B akan menemukan akhir haknya. Pada waktu bersamaan pemegang IUP yang tidak memenuhi kewajiban membangun Smelter, mesin pemurnian oor, menemukan akhir haknya. Bila sampai tanggal 31 Desember 2019 smelter tak kunjung dibangun, sanksi administratif akan menjemput mereka. Akankah hukum ini mengakhiri secara memilukan konsesi mereka atau akan muncul hukum lain yang memberi dispensasi kecil untuk mereka? Sulit diprediksi.
Hukum yang tak berkepastian, sama dengan menyediakan berbagai pilihan tindakan, yang satu dan lainnya tak dapat diprediksi. Menariknya rule of law mengharuskan setiap orang melihat tindakan itu sebagai tindakan sah. Sah, karena tindakan itu dilakukan berdasarkan hukum oleh aparatur yang diberi wewenang untuk melakukan tindakan itu.
Menyamakan dan Membedakan
Harus dikatakan dengan keyakinan yang tak tersangsikan bahwa rule of law, tak selalu sama dan sebangun dengan keadilan. Rule of law tak sama dengan, misalnya kesamaan-derajat, betapapun kesamaan derajat selalu diterima oleh pengagum rule of law sebagai elemen kuncinya. Adil tak selalu dapat dicapai dengan cara menyamakan status semua orang. Begitu sebaliknya tidak adil tidak selalu sama dengan membedakan status orang.
Sayangnya menyamakan status –eguality- terlanjur diterima begitu saja sebagai cara satu-satunya mewujudkan keadilan. Padahal postulat ini mengenyampingkan secara serampangan postulat-postulat alamiah lainnya. Alam tidak pernah menyamakan semua hal dan semua keadaan untuk semua urusan. Tidak. Nalar ini terlihat mewarnai RUU PKS dan pasal-pasal RUU KUHP, yang gagal disahkan DPR.
Membenarkan hubungan seksual di luar nikah, sukar untuk membingkainya dengan konsep kesamaan status. Menghukum perkosaan hanya bila terdapat kekerasan didalamnya juga susah dibingkai dengan konsep penyamaan status. Konsep dasar penyamaan status tiak pernah lain selain memuliakan kehidupan, memuliakan diri, harkat dan martabat setiap orang. Harus diketahui konsep penyamaan status tertakdir dan berasal dari tatanan alamiah.
Para kapitalis perencana perubahan sosial, ekonomi dan hukum tahu kaidah alam tak bisa dipaksakan. Yang bisa dipaksakan adalah kaidah hukum bentukan negara. Dan mereka cukup canggih membolak-balik nalar. Bermaksud membedakan tetapi dibalik sehingga terlihat dan diterima sebagai menyamakan. Menyamakan dikonsepkan dengan nalar yang rumit sehingga terlihat sebagai membedakan.
Menghukum suami atau istri, karena hukum mengualifikasi tindakannya sebabagi kekerasan seksual, akan terlihat sebagai cara menyamakan status keduanya. Padahal dalam sifat esensialnya adalah membedakan. Itu karena menghukum dalam konteks ini bernilai, pada level konseptual sebagai menciptakan perbedaan identitas sosiologis dan politis keduanya dalam satu ikatan rumah tangga.
Menghukum karena itu, dalam konteks ini, sama dengan menciptakan dan membangun kebencian serta menyemai permusuhan. Mengukum, dalam konteks ini juga sama dengan membangun nilai strukural dalam rumah tangga. Sebagai konsekuensinya mereka akan saling mengasingkan dan menjauhkan. Tidak mungkin tidak terbangun streotipe tertentu di dalamnya. Tidak ada streotipe yang bebas dari saling intip, curiga.
Kaidah alamiah tidak pernah, untuk alasan apapun menakdirkan isteri sebagai lawan atas suaminya. Dan suami juga tak tertakdir sebagai lawan atas istrinya. Anak bukan tandingan ayah ibunya. Tidak. Begitu sebaliknya Ibu dan ayah tak ditakdirkan sebagai lawan atas-anak-anaknya. Tidak. laki-laki tak pernah tertakdir sebagai penindas perempuan. Tidak. Perempuan juga tak ditakdirkan alam sebagai penentang laki-laki. Tidak.
Alam tak membawa takdir anak menjadi beban ibu dan ayahnya. Sebaliknya ibu dan ayahnya tak ditakdirkan alam menjadi beban bagi anak-anaknya. Tidak. Rumah tangga tak tertakdir, untuk alasan apapun, sebagai ajang pertarungan antarkelas, antar identitas di dalamnya. Norma alamiah tentang rumah tangga mengharuskan semua orang didalamnya dilihat dan diperlakukan dengan rasa kasih sayang, saling membimbing dalam bingkai ikatan cinta khas satu keluarga.
Dalam norma ini anak dan orang tua, ayah ibu, suami dan istri, semuanya menjadi jembatan saling menyayangi, memandu dan berjalan menjemput masa depan. Kehidupan rumah adalah fondasi terbesar membangun moralitas. Kekuatan benteng ini tidak dapat digantikan dengan cara apapun.
Rasa alamiah ini membawa mereka ke saling menyayangi, membesarkan, mengingatkan, memikul bersama hal-ihwal dalam keluarga itu. Rasa ini membawa mereka ke merindukan, bukan saling memusuhi, menjaga identitas, mengasingkan dan menjauh khas marxis. Rasa ini tak memerlukan hukuman negara untuk membangunnya.
Itu berbeda dengan rasa khas marxis. Rasa tipikal ini, karena bertentangan dengan norma alamiah, jelas memerlukan rekayasa. Sarana rekayasa paling canggih adalah menggunakan hukum. Dan hukum, seperti tabiat dasarnya mengandalkan hukuman untuk menjaga eksistensinya. Rasa khas marxis ini, tak tersangsikan membawa anak, laki dan perempuan, ayah dan ibu saling berhadapan, mengasingkan, berlawanan dan saling menjauh.
Menyuntikan hukuman untuk memastikan terpeliharanya identitas ini, untuk alasan secanggih apapun, tidak pernah bernilai sebagai menyamakan status. Ini adalah cara perencana social dan ekonomi politik menghancurkan institusi rumah tangga, merontokan secara total nilai alamiah hebat. Ini tipuan penghancuran khas marxis, tetapi berbingkai rule of law.
Untuk hal-hal yang telah dikemukakan di atas itulah, rule of law, tak disangsikan mengandung jebakan mematikan. Tetapi, dan ini sangat menggelikan, gagal dikenali secara tepat. Karena tak dikenali itulah, maka rule of law terlihat indah di semua level; filosofis, konseptual dan empiris. Padahal tidak. Sisi manipulatifnya tersembunyi, karena polesannya rapi. Bila tak dikenali secara tepat maka rule of law membawa malapetaka ke dalam kehidupan sebuah bangsa.
Jakarta, 25 September 2019
Penulis: Margarito Kamis