KPK MENANGKAP PRESIDEN
Oleh: Shohibul Anshor Siregar
(Dosen FISIP UMSU)
Sebagaimana diyakini banyak orang, pemandulan KPK berlangsung sistematis, mulai dari apa yang lazim disebut kriminalisasi sampai usaha menegakkan pembatasan peran dan fungsi KPK secara konstitusional.
Tetapi sejak awal di Indonesia banyak orang yakin bahwa ketidak-berdayaan KPK pasti inherent dengan berbagai faktor dalam tubuhnya sendiri. Faktor ini malah ditengarai berperan lebih besar.
Bukankah KPK dirancang oleh orang-orang yang merasa harus membuatnya sekadar memberi kesan kepada dunia bahwa Indonesia tidak suka lagi KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)?
Lagi pula, KPK itu kan lembaga yang selamanya akan diisi oleh orang-orang dengan sejarah dan latar belakang sosial, politik dan hukum yang amat inherent dengan keindonsiaan yang Anda sendiri tentu sudah tahu? Tak terlalu berlebihan jika seseorang kritis berkata "I never trust KPK" (aku tak pernah percaya KPK).
KPK Tidak Boleh Menangkap Presiden? Jika KPK sejak awal meniatkan dalam diri, visi dan misinya untuk memantangkan penangkapan Presiden dan pihak-pihak yang diinginkan aman oleh Presiden, maka KPK itu hanyalah lembaga remeh-temeh yang dalam totalitas kinerjanya hanya akan mempermainkan hukum untuk kepentingan kekuasaan belaka.
Status tidak boleh ditangkap oleh KPK dengan sendirinya adalah sebuah pengistimewaan luar biasa yang sekaligus meruntuhkan prinsip equal before the law. Karena dengan tanpa prinsip inilah fakta pemberantasan korupsi di Indonesia harus "memilih dulu sebelum memutuskan untuk menebang", maka hasilnyapun tak jauh dari urusan remeh-temeh. Menohok dan mempermalukan sesiapa yang dianggap bisa mengukir citra, dan meskipun mereka itu mungkin berada pada puncak gunung es dari sebuah sistem yang dibiarkan bobrok untuk menguntungkan penguasa belaka, jelas tidak akan menyelamatkan dari bahaya korupsi, dan Indonesia telah membuktikannya.
Kekuatan politik yang menginginkan KPK mandul memperlakukan hukum sebagai alat memperkaya diri melalui pelestarian kekuasaan. Mereka sedang memusuhi negaranya. Legitimasi dari mayoritas rakyat lemah di sebuah negeri yang mendahulukan kepentingan lain di luar kesejahteraan rakyatnya memang harus melakukan tindakan memusuhi negara itu sebagai keniscayaan belaka. Ini memang terkait dengan kadar kenegarawanan yang barang tentu tidak memiliki sangkut paut sama sekali dengan popularitas dan elektibilitas. Apalagi jika popularitas dan elektibilitas yang dimaksudkan adalah hasil pencitraan kosong di tengah proses prismatic society (masyarakat terpecah) yang canggung antara akan mengadopsi nilai-nilai baru yang belum dikenali dan bertahan pada nilai lama yang diketahui amat bobrok, yang akhirnya cuma bisa berayun di antara kedua ufuk itu.
Jika orang mengatakan rakyat miskin tidak mungkin melakukan pilihan objektif yang bermanfaat bagi nilai demokrasi, maka hal itu menjadi penjelasan terbaik tentang mengapa politik transaksional menjadi anutan dalam setiap pemilu yang menghasilkan rezim yang tidak pernah anti korupsi. Maka jika orang menginginkan KPK dengan keberanian dan kejujuran, muara dan prosesnya ada pada pemilu.
Indonesia memerlukan KPK model baru. Setidaknya ada dua hal yang menjadi prinsip dasar yang wajib diadopsi. Pertama, KPK itu bukanlah kepentingan sempit penguasa dan karena itu jika tidak mau memulai hidup sederhana yang membuatnya tak mengembangkan tradisis pemerintahan korupsional, maka target pertama KPK adalah penguasa itu sendiri.
Kekuasaan itu memiliki puncak pengendali yang dalam sistem pemerintahan Indonesia disebut Presiden. Tangkaplah orang pertama ini untuk pemberantasan korupsi jika dalam kerja pertama (KPK) ia tidak memberi dukungan politis dan moral dan bahkan dengan mudah terbuktikan korupsi.
Tentu kita tak lagi dalam posisi mempersoalkan kebenaran pendapat power tend to corrupt yang karena itu terimalah aksioma bahwa pengendali puncak kekuasaan pasti berpeluang menjadi koruptor terbesar. Tentu kita tak lagi dalam posisi ragu membuang jauh-jauh prinsip the king can do no wrong. Karena tujuannya adalah memperbaiki negara untuk kesejahteraan masyarakat, maka kejujurn dan keberanian diperlukan.
KPK model baru tidak mungkin tidak mendapat legitimasi dan dukungan moral kalangan terluas dari masyarakat untuk tugas ini. Banyak pemimpin negara yang dihancurkan oleh kepentingan politik Amerika diadili di negaranya untuk kasus korupsi. KPK model baru tidak usah menunggu momentum itu, terutama karena ia harus sadar bahwa ia lebih hebat (dari Amerika) dan lebih berkepentingan terhadap kebaikan Indonesia.
Kedua, KPK model baru tidak harus dan mungkin tidak boleh bercita-cita mengambil alih peran dan fungsi lembaga-lembaga penegakan hukum konvensional. Karena itu KPK model baru tidak boleh menganggap dirinya telah berhasil jika telah mendirikan sebuah peradilan tersendiri dan apalagi dengan cita-cita mengimbangi struktur lembaga-lembaga penegakan hukum konvensional yang hadir di setiap daerah. KPK model baru harus menyadari kehadirannya sebagai triger belaka dengan agenda utama bukan untuk mengumpul data statistik pejabat rendahan yang sudah dipenjarakan. KPK model baru juga harus tahu bahwa dengan mempermasalahkan kebersihan seorang pemimpin puncak di negara yang masyarakatanya masih amat paternalistik, pekerjaan menampari kroco-kroco bahkan tak perlu dilakukan lagi.
Penutup. Amat terpujilah orang yang hari ini masih berkeinginan untuk ikut dipilih sebagai komisioner KPK. Tetapi hari ini tak banyak orang yang percaya kepada siapapun di antara mereka. Dengan penuh keraguan pula masyarakat semakin pesimis antara lain dengan ungkapan “apakah betul masih ada orang jujur di Indonesia?”. Atau ungkapan lain yang lebih menyedihkan “korupsi tidak perlu dipersoalkan lagi karena hanya akan buang-buang waktu dan energi nasional”. Maka Presiden harus benar-benar tidak mau korupsi untuk memperbaiki bangsa ini. Karena kredo itu iapun tak perlu ditangkap KPK.[]