[PORTAL-ISLAM.ID] Mantan Menteri ESDM Sudirman Said punya analogi menarik tentang kerusuhan di Papua. Kerusuhan yang berbuntut kian menguatnya gerakan separatisme. Memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ibarat penyakit bisul, karena tidak dirawat dengan baik. Diabaikan, dianggap penyakit ringan. Penyakit berupa benjolan di kulit itu kini pecah. Bila terlambat penanganannya, bisa menular ke kulit di sekitarnya.
Benih disintegrasi itu menyebar kemana-mana. Mengancam keutuhan NKRI. Di Aceh para aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kembali mengibarkan bendera Bulan Sabit Merah. Di Medsos muncul seruan Melayu Merdeka!
Tanda-tanda bahwa “bisul” itu akan pecah sebenarnya sudah terlihat dengan nyata.
Akhir Juli lalu sistem IT Bank Mandiri error seharian penuh. Saldo ribuan nasabah berkurang. Ada yang pingsan karena saldo ratusan juta miliknya, tiba-tiba berubah menjadi nol. Sebaliknya banyak juga nasabah yang jumlah uang rekeningnya tiba-tiba menjadi bengkak.
Manajemen Mandiri mencoba menenangkan nasabah. Menjamin semua sistem akan kembali normal. Mereka menyebut error “hanya’ terjadi pada 10 persen nasabah.
Perlu diketahui jumlah nasabah Bank Mandiri pada tahun 2018 saja tercatat sebanyak 83,5 juta rekening. Artinya error “hanya,” sekali lagi “hanya” terjadi pada 8.3 juta rekening.
Awal Agustus listrik padam di DKI, Banten, dan Jabar lebih dari 10 jam. Moda transportasi publik, mulai dari kereta rel listrik (KRL), MRT, transportasi online lumpuh. ATM Bank tak dapat digunakan, jutaan orang kebingungan karena tak memegang uang cash.
Ekonomi digital yang sangat mengandalkan suplai listrik lumpuh. Bisnis UKM, restoran, minimarket, bahkan sampai warung pinggir jalan banyak yang tutup.
Di beberapa gedung sejumlah pengguna lift terjebak. Ratusan pompa bensin gelap gulita. Tidak ada hukuman terhadap direksi atau manajemen PLN dan Mandiri. Seolah semuanya peristiwa biasa saja.
Peristiwa terbaru Kamis (28/8) Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Suprajarto menolak penunjukkan dirinya sebagai Dirut Bank Tabungan Negara (BTN). Suprajarto mengaku tidak pernah diajak bicara. Tiba-tiba saja dicopot dari BRI dan dipindahkan ke BTN.
Pemindahan seorang petinggi Bank BUMN tidak bisa seenaknya begitu saja. Seperti memindahkan bidak di papan catur. Ada tahapan-tahapan yang harus ditempuh. Ada fit and proper dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Harus lolos Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin oleh Presiden.
Pengelolaan BUMN terkesan amburadul. Hal itu setidaknya tercermin dari pemalsuan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk. Piutang dimasukkan sebagai laba, sehingga neraca keuangan Garuda menjadi biru. Dari rugi menjadi laba.
Akibat skandal memalukan itu tidak ada direksi Garuda yang dicopot. Yang menjadi korban, disalahkan, dihukum malah kantor akuntan publik yang melakukan audit.
Menteri BUMN Rini M Soemarno menilai hal itu hanya kesalahan interpretasi. "Bukan pemalsuan, tidak ada pemalsuan sama sekali dan jangan lupa ini sudah diaudit oleh kantor akuntasi publik yang sudah mendapatkan sertifikasi, bahwa perintepretasinya dianggap salah harus diperbaiki iya kita perbaiki.”
Ringan sekali! (Tidak ada anak buah yang salah)
Berbagai rangkaian peristiwa di atas menunjukkan ada salah urus pada negara ini. Proses pembusukan sedang terjadi di seluruh sektor.
Puncaknya adalah kerusuhan di Papua. Bagaimana mungkin tiba-tiba peristiwa rasisme di Malang dan Surabaya terhadap mahasiswa Papua, memicu kerusuhan massif di dua provinsi: Papua Barat, dan Papua.
Kerusuhan yang menyebabkan sejumlah kantor pemerintah, pasar, bangunan publik dibakar. Beberapa prajurit TNI-Polri dan warga sipil menjadi korban. Beberapa orang tewas.
Berapa jumlah korban tewas, sampai saat ini masih simpang siur. Polisi menyebut dua warga sipil, dan seorang anggota TNI tewas. Namun beredar kabar jumlah tewas lebih banyak.
Menko Polhukam Wiranto menolak menyebut berapa jumlah pasti yang tewas. "Ya, terserah kita lah mau umumkan atau tidak. Kalau diumumkan, perlu diumumkan. Kalau tidak, ya, tidak," ujarnya ringan.
Bukan kali ini saja sesungguhnya aksi rasisme terjadi terhadap warga Papua. Tahun lalu (Alm) M Yamin Ketua Umum Seknas Jokowi menyamakan aktivis Papua Natalius Pigai seperti Gorila.
Posisi politik Pigai yang beroposisi dan kritis terhadap pemerintahan Jokowi menyebabkan dia sering menjadi serangan rasisme.
Di sejumlah akun medsos, banyak yang menyamakan Pigai seperti monyet. Namun perlakuan rasis itu hanya mendorong terjadinya unjukrasa di berbagai kota.
Kali ini reaksinya berbeda. Unjukrasa berubah menjadi amuk massa. Dimulai di Manokwari ibukota Papua Barat menjalar ke Sorong dan Fakfak. Kemudian ke Deyai, dan Jayapura di Papua.
Situasinya masih tidak menentu. Polisi mengerahkan sejumlah personil Brimob ke Papua. Begitu pula TNI. Dua Satuan Setingkat Kompi (SSK) Batalion 512 dari Brigif 18 Kostrad, dan 129 personel Marinir diberangkatkan ke Papua.
Kualifikasi mereka adalah prajurit tempur. Prinsipnya: Kill or to be kill, Membunuh atau dibunuh. Bukan mengendalikan huru-hara. Masalahnya sampai sekarang pengerahan pasukan TNI tidak jelas payung hukumnya.
Status hukum Papua adalah tertib sipil. Dengan begitu penanganan keamanannya berada di tangan polisi. TNI tidak berhak bertindak, apalagi menggunakan senjata.
Padahal mereka secara terbuka sudah menyatakan ingin memisahkan diri dari Indonesia, gerakan separatis. Bukan lagi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) seperti yang selama ini disebut polisi.
Status hukum yang tidak jelas, berdampak pada ketidakjelasan prosedur penanganannya. Akibatnya, seperti terjadi pada unjukrasa di Deyai. Anggota TNI diminta menyimpan senjatanya. Bermodal tangan kosong berhadapan dengan warga yang membawa parang dan panah.
“Mereka bisa menjadi sansak hidup. Mati konyol,” ujar seorang pensiunan perwira tinggi TNI dari korps baret merah dengan geram.
Seharusnya bila statusnya tertib sipil, tambah perwira tinggi itu, yang bertanggung jawab polisi. “ Persenjataan Brimob juga lebih canggih dibanding TNI,” sindirnya.
Bisul itu penyakit yang disebabkan infeksi, akumulasi dari kuman yang diabaikan. Bila kemudian berbagai soal yang rumit muncul, jangan-jangan itu akibat cara kerja kita yang tidak “higienis”.
Terlalu sering menyimpan sampah dan persoalan di bawah karpet. Mengabaikannya, atau mengerjakan segala sesuatu hanya di permukaan. Sehingga soal-soal besar yang mendasar disembunyikan, boro boro diselesaikan.
Akumulasi berbagai persoalan yang saat ini muncul, menimbulkan pertanyaan besar di publik. Is the leader in full control. or the leader is not in control?
Apakah sebagai presiden, Pak Jokowi mengontrol sepenuhnya semua persoalan, atau semua persoalan muncul karena keterbatasan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin?
Dalam militer dikenal sebuah kredo : Tidak ada prajurit yang salah!
Penulis: Hersubeno Arief