[PORTAL-ISLAM.ID] Terus terang saya terpaksa menulis kembali persoalan BPJS ini karena jalan keluar yang diambil pemerintah benar-benar sudah sangat mendzolimi rakyat. Sebelum mengurai lebih jauh soal BPJS, saya sertakan hasil liputan portal berita kompas tanggal 7 Agustus 2019 berjudul “Jangankan untuk Denda, Bayar Iuran BPJS Saja Kami Telat”.
Suparni (55), istri almarhum Sabbarudin, warga Desa Gondang Karang Rejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, mengaku tidak memiliki uang untuk membayar denda keterlambatan BPJS.
“Jangankan untuk membayar denda, untuk membayar iuran bulanan saja terlambat,” ujar Suparni, Rabu (7/8/2019).
Akhirnya Lilik Puryani, anak Suparni, terpaksa menjaminkan sepeda motor untuk mengambil jenazah ayahnya yang dirawat dan meninggal dunia di RSI Madiun.
Lilik Puryani mengatakan, saat itu pihak rumah sakit tiba-tiba menyodorkan pembayaran sebesar Rp 6.800.000 ketika keluarga akan membawa pulang jenazah Sabbarudin. Keluarga yang tidak memiliki uang untuk membayar akhirnya menjaminkan sepeda motor kepada pihak rumah sakit.
Kepala Bagian Keuangan RSI Siti Aisyiah Kota Madiun Fitri Saptaningrum didampingi Humas dan Pemasaran Syarif Hafiat mengatakan, prosedur di rumah sakit, biaya pasien harus dibayar lunas sebelum keluar dari rumah sakit.
Menurut Fitri, saat itu pasien tidak dibiayai BPJS. Sebab, masih ada denda keterlambatan pembayaran premi BPJS yang belum dibayar.
Dalam kasus diatas, seharusnya pemerintah yang turun tangan dengan membebaskan beban yang dialami keluarga Suparni. Derita yang dialami Suparni betul-betul sangat tragis. Suparni ditinggal suaminya meninggal, lalu keluarganya harus menanggung beban karena terpaksa harus menjaminkan sepeda motor pada pihak RSI Madiun agar bisa mengambil jenazah suaminya dari rumah sakit.
Penderitaan yang hampir sama dialami masyarakat perkotaan akibat BPJS ini. Tetangga saya di Kompleks Perumahan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan mengeluh:
“Saya sudah punya kartu berobat keluarga yang diberikan kantor. Eh saat anak saya diterima di perguruan tinggi pemerintah, diminta untuk membuat kartu BPJS untuk anak saya sebagai syarat kewajiban siswa. Saat mengurusnya, pihak BPJS menyatakan pembuatan kartu BPJS sesuai kartu keluarga dimana terdaftar nama ayah, ibu dan beberapa anak. Mereka bilang harus semua bikin BPJS dan setor dananya sesuai daftar nama di Kartu Keluarga. Jadi pemerintah mewajibkan semua orang untuk miliki BPJS, tidak peduli mereka yang sudah memiliki asuransi atau jaminan kesehatan dari kantor”.
Hal yang sama disampaikan salah satu pendengar Radio Dakta di Bekasi ketika saya menjadi nara sumber tetap di radio tersebut. Kini isu BPJS sudah menjadi masalah masyarakat akibat ketidakbecusan pemerintah khususnya Kementerian Keuangan terutama PT BPJS Kesehatan dalam mengola dana masyarakat untuk program perlindungan kesehatan.
Program BPJS Kesehatan diberlakukan 1 Januari 2014. Program ini mengganti asuransi kesehatan dari pemerintah yang dikenal dengan Askes. BPJS Kesehatan membagi pesertanya menjadi dua kategori yakni PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan peserta BPJS Kesehatan.
Peserta BPJS Kesehatan dibagi dalam tiga kelas yakni kelas tiga, kelas dua, dan kelas satu yang iurannya berbeda. Setelah dinaikkan per 1 April 2016, iuran BPJS Kesehatan untuk kelas satu Rp 80 ribu/bulan, kelas dua Rp 51 ribu/bulan, dan kelas tiga Rp 25.500/bulan. Tahun 2020, iuran BPJS kembali akan dinaikkan kecuali peserta BPJS mandiri kelas tiga.
Alih-alih pemerintah bisa memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan secara gratis kepada masyarakat miskin, yang terjadi sekarang pemerintah justru merampok uang rakyat melalui kewajiban membayar iuran BPJS. Kalau membandel, pengurusan surat-surat akan dipersulit. Bahkan yang lebih serem lagi pemerintah melalui PT BPJS akan menagih iuran BPJS secara door to door ke rumah-rumah penduduk.
Sebenarnya selama ini masyarakat ditipu oleh BPJS Kesehatan. BPJS bukanlah jaminan kesehatan bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa BPJS adalah jaminan kesehatan dari pemerintah, padahal BPJS itu fungsinya tidak lebih dari asuransi.
BPJS didanai dari uang pribadi masyarakat. Pemerintah meminta masyarakat menyetor sejumlah uang untuk dikumpulkan dan nantinya digunakan untuk biaya pengobatan.
Seluruh uang yang disetorkan masyarakat kemudian dihimpun oleh PT BPJS Kesehatan. Lalu uang tersebut dialokasikan untuk membiayai pengobatan anggota BPJS yang sedang sakit.
Sekali lagi, dana ini sebenarnya berasal dari masyarakat dan bukan dana APBN. Sekarang pemerintah telah mewajibkan seluruh masyarakat untuk membayar iuran BPJS. Sementara dana yang dikumpulkan secara massif tersebut hanya digunakan sebagian saja yakni hanya untuk anggota masyarakyat yang sedang sakit.
BPJS adalah kamuflase pemerintah untuk menutupi penyelewengan dana subsidi BBM. Banyak diantara masyarakat yang mengira BPJS didanai dari pengalihan subsidi dari BBM ke bidang kesehatan.
Masyarakat lupa bahwa setiap bulannya mereka harus menyetor dana minimal Rp 25.000 per bulan. Saat ini
peserta BPJS berjumlah sekitar 168 juta orang. Dengan demikian, jumlah dana BPJS yang dihimpun dari masyarakat oleh pemerintah mencapai lebih dari Rp.4,2 tilyun per bulan atau lebih dari Rp 50,4 trilyun per tahun.
Itu uang yang dikumpulkan langsung dari masyarakat, bukan dari sektor pajak atau pengalihan subsidi BBM. Kok sekarang tiba-tiba PT BPJS kesehatan mengalami defisit keuangan sebesar Rp 32 trilyun. Jadi semakin jelas bahwa BPJS merupakan sebuah badan usaha yang fungsinya sebagai pengeruk keuntungan bagi pemerintah. BPJS Kesehatan bukan mengelola dana khusus dari APBN untuk jaminan kesehatan.
Dengan adanya BPJS, pemerintah sama sekali tidak pernah memberikan jaminan kesehatan gratis kepada masyarakat. Padahal selama ini pemerintah selalu menyebarkan propaganda bahwa BPJS adalah subsidi kesehatan gratis dari pemerintah. Padahal pemerintah tidak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk BPJS. Dan BPJS itu murni seribu persen berasal dari dana masyarakat.
Dengan biaya iuran BPJS sebesar Rp 25.000 per bulan, seharusnya masyarakat memperoleh kualitas pelayanan kesehatan maksimum di rumah sakit yakni di kelas VIP.
Namun karena PT BPJS Kesehatan kini didaulat untuk menjadi Badan Usaha yang bertugas memberikan keuntungan sebesar-besarnya terhadap pemerintah, maka tidak heran bila pasien peserta BPJS banyak yang dibatasi penggunaan obatnya di RS.
BPJS tidak mengcover obat-obatan yang bermutu bagus. Alhasil pasien cuma mendapatkan obat-obatan ala kadarnya. BPJS adalah pesan nyata dari Pemerintah yang artinya “Masyarakat miskin tidak boleh sakit”.
Wajar bila kita berpendapat demikian, sebab tidak bisa kita pungkiri bahwa pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS sangat jauh dari kelayakan.
Bayangkan saja bila pasien tidak ada uang untuk menebus resep obat yang tidak dicover oleh BPJS, mungkin bukan malah jadi sehat, pasien justru cuma bisa pasrah menahan sakit. Apakah ini yang disebut dengan Jaminan Kesehatan ?
BPJS adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 1945 Perubahan, Pasal 34 ayat 2 yang menyebutkan bahwa negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Tjahja Gunawan