Tolak Relokasi Ibu Kota
Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tak mendukung rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Relokasi ibu kota bukanlah cara jitu untuk menyelesaikan masalah pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi, juga bukan obat manjur untuk mengatasi problem lingkungan di Jakarta.
Presiden Joko Widodo kembali menyampaikan rencana pemindahan Ibu Kota pada Jumat lalu dalam pidatonya di Sidang Tahunan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Menurut Presiden, relokasi ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan ekonomi, serta demi visi "Indonesia Maju". Dalam pidatonya itu, Presiden sekaligus meminta izin Dewan untuk merealisasi rencana tersebut.
Urusan merelokasi ibu kota memang akan melibatkan DPR. Selain berkaitan dengan soal anggaran dan penerbitan berbagai undang-undang baru, paling tidak ada sembilan undang-undang yang harus diubah. Misalnya, UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang DKI Jakarta, UU Pemerintahan Daerah, UU Tata Ruang, dan UU Lingkungan. Namun tentu saja bukan hal-hal itu saja yang membuat rencana relokasi ibu kota tidak realistis.
Rencana relokasi harus ditolak karena langkah ini sama sekali bukan solusi untuk pemerataan dan keadilan ekonomi. Memang kita bermasalah dalam dua hal tersebut, tapi relokasi paling banter hanya akan memajukan pembangunan di ibu kota baru. Wilayah lainnya tak akan mengalami perubahan. Soalnya penyebab kesenjangan pembangunan bukanlah letak ibu kota di Jakarta, melainkan model pembangunan ibu kota-sentris.
Jadi, ketimbang dihamburkan untuk membangun ibu kota baru, lebih baik anggaran negara digunakan untuk menghidupkan perekonomian di daerah. Caranya, antara lain, dengan menggeser sentra usaha dan bisnis ke luar Jakarta serta mendorong perusahaan-perusahaan untuk mendirikan kantornya di daerah, bisa dimulai dari perusahaan milik negara.
Jika perekonomian di daerah membaik, arus urbanisasi yang menjadi penyakit kronis Jakarta dengan sendirinya akan berkurang. Aneka masalah Jakarta lainnya yang merupakan dampak dari kepadatan penduduk, seperti polusi, sampah, dan kemacetan, pun akan lebih mudah diatasi.
Pertimbangkan pula bahwa pemindahan ibu kota tidak berarti hanya memindahkan kantor, tapi juga banyak orang. Para penghuninya nanti tak hanya tinggal untuk bekerja, tapi juga menjalani hidup baru. Mereka butuh sekolah, rumah sakit, transportasi, dan berbagai fasilitas lain yang bisa membuat ongkos pemindahan ibu kota jauh lebih besar daripada perkiraan. Tanpa fasilitas-fasilitas tersebut, ibu kota akan menjadi kota mati. Dalam skala kecil, hal inilah yang terjadi di ibu kota baru Maluku Utara, Sofifi. Sudah sejak 2010 menjadi ibu kota menggantikan Ternate, Sofifi sepi, terutama pada hari libur, karena sering ditinggal mudik penghuninya.
Presiden Joko Widodo lebih baik memanfaatkan periode kedua kepemimpinannya untuk memperbaiki perekonomian, membenahi layanan publik, memperkecil kesenjangan, hingga memberantas korupsi. Hal-hal tersebut jauh lebih penting bagi masyarakat ketimbang sebuah ibu kota baru.
*Tajuk Rencana Tempo
Link: https://kolom.tempo.co/read/1237550/tolak-relokasi-ibu-kota/full&view=ok