Metro TV dan Media Indonesia, Media Propaganda
Oleh: Edy A Effendi
(Ketua Program Lauh Mahfuz Institute)
IDEALISME selalu saja jadi tameng kaum jurnalis. Seolah-olah dengan mengusung idealisme, ia bisa bicara apa saja soal kabar dunia. Tapi benarkah dalam arus hidup yang penuh gejolak saat ini, idealisme masih dipegang teguh kaum jurnalis?
Mari ambil contoh faktual terhadap dua media, Metro TV dan Media Indonesia. Menyedihkan sekali melihat realitas Metro TV dan Media Indonesia. Dua media mainstream milik Surya Paloh ini, sudah tak mampu berjalan pada titik rel sebuah media, yang seharusnya menjadi bagian dari wacana publik.
Melihat dan membaca dua media itu, publik tak lagi punya hak untuk menerima berita dengan benar. Semua suguhan beritanya menyodorkan aroma kebencian kepada pihak yang berseberangan bahkan menyerangnya dengan melampirkan berita-berita cenderung fitnah dan ghibah.
Pada titik ini, Metro TV dan Media Indonesia sudah masuk dalam perangkap media propaganda. Berita yang digulirkan selalu saja merayakan propaganda sang pemilik, Surya Paloh. Dengan kekuasaannya, dua media tersebut mendikte, membentuk opini dan menggiring publik masuk dalam perangkap berita yang disebar. Akibatnya, publik pun hanyut dalam perangkap berita dua media tersebut.
Sejatinya sudah lama, Metro TV dan Media Indonesia menjadi media propaganda. Propaganda yang sudah tak jadi rahasia, adalah kebiasaan dua media milik juragan asal Aceh itu, memojokkan Islam. Berita-berita Islam dikebiri. Fakta-fakta ditutup rapat.
Media Grup dan Kebencian ke Islam
Contoh kasus pada berita soal Rohis. Pada 5 September 2012, Metro TV mengadakan dialog dalam program Metro Hari Ini bersama narasumber Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta Profesor Dr Bambang Pranowo, mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono dan pengamat terorisme Taufik Andri.
Dalam dialog tersebut Profesor Bambang Pranowo menyampaikan hasil penelitiannya bahwa ada lima pola rekrutmen teroris muda. Salah satunya melalui ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah. Saat dialog berlangsung, ditayangkan info grafik berisi poin-poin lima pola rekrutmen versi Profesor Bambang Pranowo.
Metro TV dengan gagah berani membuat infografik dengan label Awas, Generasi Baru Teroris. Sebuah kalimat yang sangat menohok bagi generasi Islam. Pada pertemuan di rumah Profesor Fachry Ali, saya mempertanyakan soal label Awas, Generasi Baru Teroris kepada Prof Bambang Pranowo. Profesor Bambang mengurai bahwa Metro TV telah melakukan fitnah karena dirinya tak pernah menulis Awas, Generasi Baru Teroris.
Contoh di atas hanya bukti kecil, bagaimana Metro TV sarat kebencian ke Islam. Kebencian kepada Islam ini memang sangat beralasan jika melihat jejak rekam sejarah Pemimpin Redaksi Metro TV tak pernah diduduki dari kalangan Muslim.
Kebencian lain terhadap Islam yang diuar Metro TV ketika kasus Sandriana Malakiano. Metro TV dikecam publik karena melarang Sandrina Malakiano mengenakan jilbab pada saat siaran, meskipun Sandrina sudah memperjuangkannya selama berbulan-bulan dengan mengajak jajaran pimpinan level atas Metro TV berdiskusi panjang, tetap ditolak. Larangan inilah yang menyebabkan Sandrina keluar dari Metro TV pada Mei 2006.
Di tepi lain, Media Indonesia pun sama. Surat kabar ini pernah berkali-kali disomasi organisasi-organisasi Islam karena berita-berita yang disebar menguar kebencian terhadap Islam.
Media Indonesia memang sejak dulu dikuasai empat sekawan yang statusnya non Muslim, Saur Hutabarat (juga Tim Sukses Bidang Media, Pemenangan Jokowi-JK), Elman Saragih, Andy F Noya dan Laurens Tato. Empat sekawan ini menjadikan Media Indonesia sebagai corong kristenisasi dengan cara-cara samar tapi sangat terlihat jelas jejaknya. Sementara Metro TV dikendalikan pemimpin redaksinya Putra Nababan, putra tokoh senior PDIP Panda Nababan yang juga terpidana kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda S Goeltom.
Dan pada Pilpres 2014 (juga 2019), kembali Metro TV dan Media Indonesia jadi alat propaganda kampanye capres Joko Widodo. Partai politik sudah mengerangkeng begitu jauh program pemberitaan Metro TV dan Media Indonesia. Inilah risiko jika para pemodal, pemilik stasiun televisi sekaligus menjadi kamerad partai politik. Televisi menjadi banal karena berbagai kepentingan masuk di dalamnya. Kepentingan yang tak punya tali temali dengan segmen berita.
Lantas, apa yang bisa diharapkan dari Metro TV dan Media Indonesia jika sudah direduksi oleh kekuasaan di luar pagar dirinya? Reduksi selalu mengambil alih hak pribadi, ruang privat ke dalam ruang kolektif. Mungkinkah ruang kolektif itu masih bisa mengambil peran bersama soal hak publik?
*Sumber: Inilah