MEMBAYANGKAN PAPUA LEPAS
By Asyari Usman
(Wartawan senior ex BBC)
Mudah-mudahan saja gerakan referendum Papua tidak membesar. Dan tidak sampai menjadi negara sendiri. Soalnya, saya belum pernah menginjakkan kaki di Bumi Cendrawasih. Maaf, malu sebetulnya mengatakan ini.
Sudah lama sekali ingin mendatangi saudara sebangsa di Pupua. Kunjungan ke sini selalu tertangguhkan karena dulu itu saya ingin keliling Pupua selama sebulan atau lebih.
Tapi, karena masa cuti kerja tak pernah cukup, saya pun bertekad datang ke sini setelah pensiun. Teorinya, pasti banyak waktu kalau sudah tak bekerja lagi.
Ternyata, muncul masalah baru. Setelah pensiun, yang kurang bukan waktu tapi biaya. Namun, tekad untuk berkunjung ke pedalaman Papua tidak surut. Bahkan, perkembangan terbaru ini semakin membuat saya penasaran.
Penasaran untuk bertanya langsung kepada orang Papua apakah mereka sudah tak suka lagi berada di NKRI. Kalau iya, mengapa mereka tak suka.
Apakah gara-gara rasisme monyet di Surabaya? Entahlah! Kelihatannya lebih dari itu. Saya sepakat dengan kesimpulan Pak Amien Rais bahwa rasisme monyet itu hanya pemantik kerusuhan. Benar seratus persen bahwa orang Papua sudah puluhan tahun ini menyimpan sakit hati terhadap perlakuan yang mereka alami. Ketidakadilan yang akut.
Kalau gara-gara rasime monyet itu orang Papua ingin lepas dari NKRI, sangatlah menyedihkan. Jangan-jangan nanti harus pakai paspor untuk masuk ke Papua. Itu pun kalau tak ditolak. Kalau ditolak karena orang Indonesia mereka masukkan kategori sadis, lebih sedih lagi.
Itulah bayangan saya bila Papua tak sudi lagi bersama NKRI. Semoga saja sebelum itu terjadi, saya bisa sampai ke Papua. Sehingga tidak harus memohon visa kunjungan dan masuk melewati meja imigrasi mereka.
Tak terkatakan sekiranya ini terjadi. Tapi, saya bisa membayangkan kalau orang Papua merasa semakin jauh dari Indonesia. Semakin tak betah di rumah NKRI. Wallahu a’lam.[]