Melihat Gerakan 212 Usai Elite Politik Bermanuver
Politisi dan praktisi hukum, Ahmad Yani, memiliki pandangan tersendiri terkait gerakan 212 yang dipelopori oleh umat Islam di Indonesia. Ini menyusul pertemuan ‘oposisi’ dan penguasa.
Usai pertemuan itu, koalisi Jokowi menjadi gundah gulana. Reaksi bermunculan, hingga Partai Nasdem mengadakan pertemuan dengan Anies Baswedan di Kantor DPP Nasdem Gondangdia.
Pengamat menilai, Surya Paloh memberikan reaksi atas pertemuan Prabowo Subianto dengan Jokowi dan Megawati. Dalam keadaan koalisi pemenang yang sedang gamang, kekuatan umat yang dikomando oleh ulama tetap bertahan menjadi oposisi.
“Pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati, tidak menggoyangkan semangat 212, dan tetap mengucapkan, rakyat dan umat bersama ulama mengambil jalan ‘kami oposisi’,” kata Ahmad Yani dalam keterangan tertulis, Jumat (2/8/2019).
Dia mengatakan, kekuatan civil society khususnya 212 begitu sangat besar untuk melakukan protes meskipun semua partai telah berada dibarisan koalisi pemerintah. Komitmen untuk menjadi mitra kritis kekuasaan, menempatkan 212 sebagai gerakan penentu perubahan sosial politik Indonesia.
“Dengan bertahannya 212 maka, muncul kata ‘kami oposisi’. Ini menandakan bahwa kekuatan Islam dengan logo 212 yang telah menjadi monumen penting, meminjam Rocky gerung, sebagai teks sosial bangsa Indonesia tidak bergerak hanya karena Prabowo, tetapi menjadi icon pejuang, khususnya dalam menengakkan amar ma’ruf nahi munkar,” ujarnya.
Menurut dia, gerakan 212 yang sampai hari ini masih berada dalam komando ulama, masih menjadi kekuatan independen dengan identitas gerakan politik Islam yang tidak membawa sekat-sekat organisasi dan sekat politik. Adapun dukungan kepada calon tertentu karena kesamaan cara pandang terhadap kondisi bangsa.
Gerakan 212 Adalah momen sejarah, yang menjadi reinkarnasi pertentangan ideologi dalam sejarah politik Indonesia. Pertentangan ideologi itu tidak mungkin berakhir dengan rekonsiliasi elit tertentu, ia akan tetap ada.
“Bagi ideolog, ideologi itu harus diperjuangkan menjadi cita-cita dan tujuan bersama. Hadirnya 212 mengakomodir ulang aspirasi umat Islam yang selama ini terbengkalai,” ujarnya.
Kehadiran 212 menambah kuat perdebatan Islam dan politik. Sejarah mencatat, bahwa Islam adalah bumbu yang memberikan penyedap rasa bagi perjalanan politik Indonesia. Tanpa Islam, politik Indonesia menjadi hampa, tanpa makna.
Maka, naif jika menganggap bahwa rekonsiliasi adalah mendamaikan pikiran, hal itu mustahil terjadi. Sulit bagi Jokowi untuk memperoleh legitimasi 212, karena ia tidak memiliki cara pandang yang sama dengan ide 212.
“Meskipun Prabowo menyatakan bergabung dengan pemerintah, 212 akan menjadi oposisi yang berjalan di atas roh kebenaran dan keadilan,” kata Ahmad Yani.
Untuk melanjutkan gerakan tersebut, 212 akan menggelar Ijtima’ Ulama untuk membicarakan agenda selanjutnya. Agenda itu tidak terlepas dari perkembangan politik yang terjadi pasca MK memenangkan Jokowi.
Dia memandang, ulama sedang mencari formula dan penerima mandat baru untuk meneruskan ide, konsep, dan cita-cita perjuangan umat Islam yang belum tercapai dalam konteks sosial politik kebangsaan sekarang ini. Oleh karena itu Ijtima Ulama IV akan mencari formula baru bagaimana menempatkan 212 sebagai kekuatan kontrol sosial bangsa ini.
Menurut dia, rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi serta Megawati bukan akhir dari perjuangan umat dan ulama. Namun, memberikan kesempatan baru bagi umat dan ulama untuk menyatakan sikap yang lebih terarah.
“Karena itulah maka 212 sebenarnya adalah kelompok penentu, bukan pengekor, 212 adalah wajah baru politik Islam yang menjadi awal mula bangkitnya solidaritas umat dalam membangun peradaban politik yang mengedepankan nilai-nilai profetik,” kata Ahmad Yani. (Muhajir/Inside)