[PORTAL-ISLAM.ID] Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) Slamet Maarif menantang pemerintah Joko Widodo untuk berdebat mengenai ideologi Pancasila.
Tantangan itu menyusul pernyataan Jokowi yang tak akan memberi perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) bagi FPI jika tak sesuai ideologi Pancasila.
"Kalau pun dengan kami ada yang dianggap tidak sesuai, ajak kami bicara, dialog. Kalau perlu ayo dialog terbuka, ditayangkan oleh stasiun televisi nasional, ayo, supaya umat bisa paham betul," kata Slamet di Hotel Lorin Sentul, Bogor, Senin (5/8).
Slamet menyampaikan perlakuan pemerintah Jokowi kepada FPI mirip kasus HTI beberapa tahun lalu. Kelompok yang dianggap berbeda, menurutnya, disudutkan tanpa diajak duduk bersama. Ia meminta pemerintah Jokowi mengakhiri kebiasaan ini. Sebab demokrasi menjamin orang untuk berbeda pendapat.
"Ini katanya negara demokrasi yang keran mengeluarkan pendapat dan sebagainya dijamin UU, tidak ada penghalang dan lain sebagainya, ya duduk bersama sajalah," tuturnya.
Slamet mengaku bingung saat FPI disebut ada kemungkinan tak sejalan dengan Pancasila. FPI, kata dia, sudah 21 tahun berdiri dan tak pernah dipermasalahkan soal ideologi.
Ditantang FPI, Pihak Istana Berkilah
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyarankan Front Pembela Islam (FPI) agar mendeklarasikan diri mengakui Pancasila sebagai ideologi. Menurutnya, itu lebih perlu dilakukan daripada mengajak pemerintah berdebat soal ideologi.
"Dilihat dari AD/ART, dilihat dari perilakunya. Satunya kata dan perbuatan. Lebih bagus lagi [deklarasi] saya Pancasila," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (6/8/2019), seperti dilansir CNNIndonesia.
Diskusi Ciri Negara Demokrasi
"Saya rasa bakal menarik kalau pemerintah menanggapi keingin FPI untuk diskusi dan disiarkan tv nasional. Bisa jadi justru rezim yang keliru memahami Pancasila dan nasionalisme. Kalau begitu maka rezim harus belajar pada FPI, karena dalam negara demokrasi rezim bisa saja salah," kata Hasmi Bakhtiat menanggapi.
"Dalam negara demokrasi, corong issue tidak boleh hanya di mulut rezim, tapi semua mulut rakyat dikasih corong untuk bicara. Itu sebabnya di negara yang demokrasinya maju adalah hal biasa ketika rezim dikoreksi oleh rakyat bahkan dalam hal paling esensial seperti memahami konstitusi," ujar mahasiswa S2 Hubungan Internasioanl Lille Prancis itu seperti dikutip portal-islam.id di akun twitternya, Rabu (7/8/2019).
"Saya khawatir rezim ini terlalu jauh memakai kebodohan sebagian dari rakyat untuk memonopoli kebenaran termasuk dalam menerjemahkan Pancasila. Tidak pernah ada dalam negara demokrasi pikiran yang seragam. Kalau ada usaha ke sana maka itu jelas jalan sesat," kata Alumni Al-Azhar Mesir itu.