[PORTAL-ISLAM.ID] Dua kata yang populer didengungkan khususnya oleh pejabat pemerintahan adalah "terpapar" dan "radikalisme". Mewanti-wanti agar mewaspadai, mendata, melaporkan, bahkan menindak. Adalah yang terakhir mengemukakan yakni Bapak Menristekdikti Mohammad Nasir yang meminta kampus mewaspadai terpaparnya radikalisme. Akun dosen, staf, dan mahasiswa harus didata. BNPT mengindikasi tujuh Perguruan Tinggi Negeri terpapar radikalisme. Kepala BNPT secara spesifik menyebut Fakultas Eksakta dan Kedokteran. Terpapar radikalisme seolah menjadi nyanyian kebangsaan baru.
Ada tiga hal yang penting agar tidak menjadi "bola liar" dari kampanye radikalisme dan terpaparnya lingkungan Perguruan Tinggi, yaitu :
Pertama, harus jelasnya definisi dan makna radikalisme dimaksud. Apalagi di lingkungan Perguruan Tinggi. Berfikir akademis itu bercirikan di samping jelas akan batasan juga harus obyektif. Radikalisme tidak boleh menjadi kata bersayap yang dapat ditarik kesana sini.
Kedua, harus dapat dibedakan radikalisme sebagai cara dan sebagai ideologi. Sekedar cara dapat "merusak" maka itu memasuki domein pelanggaran hukum yang diatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan. Sebagai ideologi radikalisme menjadi keyakinan yang mungkin saja menjadi perjuangan mengganti ideologi negara. Ini yang melanggar kesepakatan bernegara. Radikalisme disini identik dengan ideologi terlarang Komunisme.
Ketiga, jangan membawa sentimen politik ke ruang akademik. Ada kebebasan akademik yang tak bisa diacak acak oleh kepentingan politik. Radikalisme sebagai isu kepentingan politik adalah penumpasan sikap kritis kepada penguasa. Semata sebagai alat kampanye untuk mempertahankan status quo. Jika ini yang terjadi, maka iklim dibuat menjadi tidak sehat.
Sayangnya sentimen isu terpapar radikalisme ditujukan atau semata berkaitan dengan aspek keagamaan. Ini yang tidak fair dan bias. (Umat) Islam yang selalu jadi sasaran. Bahasa sederhananya di HTI kan dan di FPI kan. Ini tidak benar, tendensius, dan mengada ada. Pendukung sekularisme, liberalisme, dan komunisme sangat suka dengan isu dan gaya politik seperti ini. Umat Islam, aktivis, tokoh serta ulama yang berprinsip kuat keagamaan, senantiasa mengaji dan rajin di Masjid tidak bisa dikategorikan terpapar atau menjadi pemapar. Begitu juga dengan dosen dan mahasiswa.
Jika dosen mengajarkan kepada mahasiswa muslim bahwa tiada tuhan selain Allah, meyakini agama Islam yang benar, harus patuh pada syari"at Allah, berjihad itu mulia, serta hanya muslim yang masuk surga, intoleran dan radikal kah ? Tentu tidak. Dosen dan mahasiswa berjanggut, mahasiswi bercadar, staf administrasi berkening hitam lalu dikategorikan terpapar radikalisme ? Tentu tidak juga. Demikian juga mahasiswa yang gemar berhalaqoh dan mengadakan program mentoring di masjid masjid kampus juga tidak bisa begitu saja diindikasi terpapar.
Mendata akun dosen staf dan mahasiswa bisa bagus bisa juga menjadi pelanggaran hak hak privasi. Hanya kepentingan hukum yang bisa memantau detail akun. Dosen bertanggungjawab utama pada kepentingan akademik. Atau pada dharma perguruan tinggi yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Soal keamanan dan perilaku politik diawasi dalam batas kompetensi. Tidak menjadi intel atau kepanjangan tangan polisi.
Rezim yang radikalisme dijadikan kendaraan politik untuk mempertahankan status quo maka itu adalah rezim radikal atau rezim yang terpapar radikalisme. Menteri Ristekdikti yang tidak fokus pada tugas dan fungsinya tapi menjadi "aparat keamanan" maka ia telah terpapar radikalisme. Ada bahaya kampanye intensif radikalisme yang tak terkendali karena justru dapat menumbuhkan radikalisme. Seperti orang yang tak maling tapi diributkan bahwa ia maling, akhirnya ia bisa bersikap daripada dituduh maling, padahal tidak, lebih baik maling sekalian. Janganlah kampanye anti-terorisme dan terpapar radikalisme menjadi teror dan tindakan radikal itu sendiri. Senjata akan memakan tuan.
28 Juli 2019
Penulis: Rizal M. Fadillah