[PORTAL-ISLAM.ID] Tim Riset CNBC Indonesia menyampaikan temuan fakta:
[22 Juli 2019]
Sederet Bukti e-Commerce Bakal Jadi 'Tol' Barang Impor
Kekhawatiran sejumlah pihak akan derasnya aliran barang impor semakin membuncah dalam beberapa pekan terakhir. Hal tersebut tak terlepas dari maraknya layanan aplikasi e-commerce untuk mengimpor langsung barang dari China.
Contohnya di Lazada, dimana pelanggan dapat membeli beberapa barang yang dikirim langsung dari China. Bahkan untuk beberapa kasus, ongkos kirim ke Jakarta hanya Rp 10.000 atau mirip dengan ongkos kirim dalam kota.
Sebenarnya, fenomena impor melalui e-commerce bukan hal yang benar-benar baru. Sudah ada layanan sejenis seperti yang diberikan Alibaba dan Aliexpress. Blanja.com yang merupakan platform e-commerce milik salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Telkom Indonesia Tbk sejak dulu sudah bekerjasama dengan ebay dan dapat langsung membeli barang dari luar Indonesia.
Fenomena impor tidak selamanya buruk. Ada impor bahan baku atau barang modal yang dapat mendorong aktivitas industri. Beberapa bahan baku dan barang modal memang tidak dibuat oleh produsen lokal. Setidaknya kalau impor barang modal atau bahan baku, ada pemanfaatan tenaga kerja lokal untuk menghasilkan nilai tambah.
Namun, perlu diingat bahwa sebagian besar impor dari e-commerce kemungkinan adalah barang konsumsi. Berbeda dengan barang modal dan bahan baku, impor barang konsumsi menunjukkan ketidakmampuan industri lokal dalam menjawab kebutuhan konsumen.
Gudang E-Commerce 'Menggeser' Industri Manufaktur
Ada beberapa fakta lapangan yang mengindikasikan bahwa gelombang impor barang konsumsi masih akan berdatangan, bahkan dengan jumlah yang semakin tak terbendung.
Salah satunya adalah data pergudangan tanah air yang diwakili oleh PT Mega Manunggal Property Tbk (MMLP). Perusahaan ini merupakan pemain terbesar sektor pergudangan di era logistik modern.
Tahun 2016, MMLP memiliki total lahan yang disewakan (Net Leasable Area/NLA) sebesar 163.911 meter persegi. Pangsa pasar MMLP saat itu adalah gudang untuk industri manufaktur (62%), logistik (21%), e-commerce (8%). Bila ditotal, NLA untuk e-commerce sebesar 13.112 meter persegi pada saat itu.
Setahun berselang, yaitu pada 2017, total lahan yang disewakan MMLP naik menjadi 230.370 meter persegi. Namun di tahun 2017 pangsa pasar pergudangan untuk industri manufaktur terpangkas hingga tinggal 43%. Sementara pangsa pergudangan e-commerce naik hingga 19%.
Bila ditotal, NLA e-commerce naik hingga 233,8% di tahun 2017 menjadi 43.770 meter persegi. Kenaikan tersebut disebabkan masuknya Lazada sebagai tenant MMLP. Luas NLA Lazada sendiri pada tahun 2017 sudah mencapai 31.500 meter persegi.
Pada saat yang sama NLA gudang industri manufaktur turun 2,5% dari 101.624 meter persegi menjadi 99.059 meter persegi. Pola ini terus berlanjut ke tahun 2018, dimana NLA e-commerce naik 30,5% sementara manufaktur hanya naik 12,3%.
Dari data pergudangan dapat dilihat bahwa perdagangan barang berkembang jauh lebih pesat ketimbang industri manufaktur di Indonesia. Berbeda dengan industri manufaktur, e-commerce tidak menyematkan nilai tambah pada sebuah produk. E-commerce membutuhkan gudang yang besar hanya untuk menampung barang sebelum dikirimkan pada pelanggan.
Sayangnya barang-barang yang dijual di e-commerce sebagian besar, bahkan 90%, merupakan produk impor, seperti yang pernah diungkapkan Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih, seperti dilansir dari CNNIndonesia, Senin (22/7/2019).
Semakin besar kebutuhan gudang e-commerce, merupakan pertanda kebutuhan impor barang konsumsi semakin menjadi-jadi.
Pertumbuhan Impor Barang Konsumsi Semakin Pesat
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah menangkap sinyal-sinyal aliran deras impor barang konsumsi ke depan.
Setidaknya sejak 2016, angka pertumbuhan nilai impor barang konsumsi hampir selalu menjadi yang tertinggi dibanding golongan barang lainnya (barang modal dan bahan baku).
Bahkan pada tahun 2018, pertumbuhan impor barang konsumsi tercatat sebesar 22,03%. Sementara pertumbuhan impor bahan baku dan barang modal masing-masing sebesar 20,06% dan 19,54%.
Hal itu menyebabkan porsi barang konsumsi terhadap total impor Indonesia di tahun 2018 naik menjadi 9,11% dari 9,03%.
Bila tren ini terus berlanjut, maka bauran barang impor akan semakin deras. Semakin banyak pula valas keluar dan memberi beban pada neraca transaksi berjalan .
Tanpa adanya 'perlawanan' yang setimpal dari industri manufaktur dalam negeri, produk-produk impor akan semakin mendominasi sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Sumber: CNBCIndonesia