(Setyono Djuandi Darmono bersama Presiden Jokowi)
[PORTAL-ISLAM.ID] Pernyataan konglomerat Founder PT Kawasan Industri Jababeka Tbk, Setyono Djuandi Darmono, menjadi kontroversi di masyarakat. Pasalnya, ia menyatakan pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah, namun cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.
Tak hanya itu, Darmono juga menganjurkan Presiden Jokowi untuk mengeluarkan pelajaran agama dari sekolah. Sebagai gantinya, mata pelajaran budi pekerti yang diperkuat, dengan demikian sikap toleransi siswa lebih menonjol dan rasa kebinekaan makin kuat.
"Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda," kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7/2019), seperti dilansir JPNN.
Tanpa disadari, lanjutnya, sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan.
Setelah heboh dan menimbulkan kontroversi, pihak Jababeka mengatakan bahwa pendapat itu telah menimbulkan salah penafsiran.
Klarifikasi disampaikan melalui Desk Komunikasi Jababeka, Ardiyansyah Djafar, pada Jumat (5/7/2019).
Namun klarifikasi tersebut, malah memunculkan tudingan baru masuknya faham keagamaan yang ekstrim di sekolah yang perlu diwaspadai.
"Masuknya faham keagamaan yang ekstrim ke sekolah dan universitas mesti menjadi perhatian kita semua, karena hal ini merusak kesatuan dsn harmoni sosial," demikian salah satu point isi klarifikasi.
Berikut selengkapnya klarifikasi Darmono yang disampaikan melalui Desk Komunikasi Jababeka, Ardiyansyah Djafar, Jumat (5/7/2019):
1. SD Darmono sangat peduli pada pendidikan karakter berbasis agama yang mempunyai akar kuat dan sudah mentradisi di Nusantara. Yang dia soroti dan prihatinkan adalah mengapa identitas agama ketika dikaitkan dengan politik malah mendorong munculnya konflik dan polarisasi sosial. Padahal semua agama mengajarkan persatuan dan akhlak mulia.
2. Masuknya faham keagamaan yang ekstrim ke sekolah dan universitas mesti menjadi perhatian kita semua, karena hal ini merusak kesatuan dan harmoni sosial. Oleh karena itu, materi pembelajaran dan kualitas guru-gurunya perlu ditinjau ulang. Hendaknya pelajaran agama itu lebih menekankan character building dan kemajuan bangsa. Terlebih lagi Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius.
3. Jika pelajaran agama dalam aspek-aspeknya yang dianggap kurang, itu tanggungjawab setiap orangtua dan komunitas umat beragama, bisa dilengkapi di masjid, gereja atau vihara.
4. Jadi, intinya bukan mengeluarkan pelajaran agama dari sekolah, tetapi sebuah koreksi dan renungan, apa yang salah dengan pendidikan agama kita di sekolah.
Dijelaskannya, buku Bringing Civilizations Together yang diluncurkan 4 Juli lalu penekanannya adalah pada pembentukan karakter demi kerukunan dan kemajuan bangsa.
“Demikianlah, semoga dapat meluruskan kesalahpahaman atas S.D Darmono,” ungkap Desk Komunikasi Jababeka, Ardiyansyah Djafar, seperti dikutip dari Indonesinside.