[PORTAL-ISLAM.ID] MENCARI "BAKAT" PEMIMPIN
Imam Malik rahimahullah berkata: "Sesungguhnya Allah telah membagi-bagi potensi amal (yang berbeda-beda) diantara hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia-pun telah membagi-bagi potensi rezeki (yang berbeda-beda pula) di antara mereka".
Dan potensi-potensi yang dibagi-bagi tersebut, tentu saja berbeda-beda sesuai perbedaan bidang amal dan bentuk peran yang disiapkan bagi masing-masing orang dalam kehidupan.
Intinya, untuk setiap peran dan tugas dalam hidup ini, sebenarnya Allah selalu menyiapkan orang-orang tertentu yang telah dibekali dengan potensi-potensi spesial, dan diarahkan, langsung atau tidak langsung, untuk bisa memiliki sejumlah kemampuan khusus, yang sesuai dengan tuntutan peran dan kebutuhan tugas tersebut.
Sebagaimana setiap amanah dan tugas dalam kehidupan ini, memang menuntut kapasitas, potensi, kompetensi dan kemampuan khusus yang memadai pada orang yang mengemban amanah dan tugas tersebut. Hal itu agar amanah dan tugas bisa ditunaikan dengan sebaik-baiknya.
Sementara bila suatu amanah atau tugas diserahkan kepada orang yang tidak mampu dan tidak kompeten untuknya, maka tidak hanya tak tertunaikannya amanah dan tak tuntasnya tugas, yang terjadi. Melainkan justru dampak kontra produktif lebih buruklah yang mungkin bakal jadi hasil akhirnya.
Dan amanah kepemimpinan pada level serta di bidang apapun, menuntut terpenuhinya sejumlah muwashafat (kompetensi) tertentu yang paling spesial sebagai syarat mutlak bagi siapapun yang diharapkan mampu mengemban amanah yang paling berbahaya tersebut.
Dimana diantara muwashafat khusus yang wajib dimiliki oleh seorang calon pemimpin, selain sifat amanah yang memang sudah merupakan syarat aksiomatik umum, adalah misalnya: kekuatan, kecerdasan, keberanian dan kewibawaan (kharisma). Sehingga dalam upaya pencarian dan penyiapan SDM-SDM kader calon pemimpin, perhatian besar haruslah selalu difokuskan pada aspek muwashafat-muwashafat khusus tersebut.
Namun hal sangat mendasar yang tidak boleh diabaikan disini adalah bahwa, bagian terbesar dari muwashafat calon pemimpin itu, mungkin justru tidak didapat melalui program pembekalan, pelatihan dan penyiapan misalnya. Melainkan merupakan hasil "bawaan" yang sudah dikaruniakan Allah dalam diri orang yang sepertinya memang telah "disiapkan" oleh-Nya untuk mengemban peran besar sebagai pemimpin.
Maka salah satu bagian terpenting dari proyek penyiapan calon pemimpin adalah tahapan "pencarian bakat". Karena orang yang betapapun tinggi keimanan, ketaqwaan dan kesalehannya, namun jika tidak diberi dan tidak dibekali dengan "bakat bawaan" sebagai pemimpin, maka tetaplah sulit diharapkan akan mampu menjadi pemimpin handal, seistimewa apapun program penyiapan, pelatihan dan pembekalan yang diberikan untuknya.
Dan salah satu contoh paling vulgar untuk sosok yang luar biasa istimewa dalam keimanan, ketaqwaan dan kesalehan, namun tidak punya "bakat" dan tidak berkemampuan sama sekali untuk menjadi pemimpin, adalah seperti sahabat agung Abu Dzar Al Ghifari ra. Dimana saking lemahnya bakat dan kemampuan beliau dalam bidang kepemimpinan, sampai-sampai Rasulullah saw. melarang beliau sekadar memjadi amir/pemimpin atas dua orang saja (seperti dalam sebuah safar/perjalanan misalnya).
Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Dzar ra (yang artinya): "Janganlah sekali-kali engkau menjadi amir meskipun atas dua orang saja, dan janganlah pula sekali-kali engkau menjadi penanggung jawab atas harta seorang anak yatim" (HR. Muslim).
[Oleh: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri]