Hidayah itu memang hak prerogatifnya Allah. Tak ada yang bisa berkuasa atasnya, meskipun Nabi Muhammad. Bahkan kekasih Allah tak bisa menunjuki yang dia kasihi.
Begitu yang kita tahu dari Abu Thalib yang wafat tanpa bersyahadat. Rasulullah yang pengajar terbaik, dengan materi ajar terbaik, tak berkuasa atas hidayah.
Tapi apakah lantas kita membiarkan begitu saja bila ada orang yang kita kasihi belum mendapatkan hidayah? Tidak. Allah berkata hidayah itu kuasa Allah, dakwah itu perintah juga.
Allah hanya ingin menghibur kita, bahwa bila kita sudah berdakwah dengan sebaik-baiknya, maka bila seseorang itu tak kunjung Muslim, bukan berarti kita yang gagal.
Bagaimana dengan mereka yang sudah mendapatkan hidayah itu, lalu kehilangannya? Apakah itu juga sudah ketentuan Allah? Itu pertanyaannya.
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan Allah memberi kebebasan pada manusia untuk memilih, Allah tegaskan dalam surah Al-Kahfi dengan jelas.
Allah berfirman, "Siapa yang ingin beriman, berimanlah. Siapa yang ingin kafir, kafirlah". Inilah keadilan Allah, Dia takkan memberi hidayah, pada mereka yang enggan menerima.
Lalu mengapa bisa seseorang meninggalkan Islam? Ada banyak hal. Yang paling harus memeriksa diri tentu orangtua, sebab inilah modal utama, ini yang paling penting.
Kuncinya ada di referensi. Tak ada referensi lebih utama dibanding orangtua, baru ke teman-teman pergaulan, lalu ke sekolah, atau bisa memungkinkan ditarget oleh agama lain.
Referensi ini yang kelak menjadikan aqidah, benteng dan prinsip hidup manusia. Yang menentukan bagaimana cara berpikir, berlisan, dan juga bertindak.
Lalu bagaimana kita bersikap pada mereka yang melepas hidayah? Kita doakan, kita bantu, sebaik-baiknya. Jangan makin dijauhkan dengan caci, maki dan hinaan.
Kita tak tahu, andai kita yang berada dalam situasi yang sama, apakah kita masih tetap beriman pada Allah? Ingatlah, dan bersyukurlah atas kemudahan kita tetap beriman.
(Felix Siauw)