[PORTAL-ISLAM.ID] Isu kenaikan tarif listrik dan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai kembali mencuat. Dua kebijakan ini digadang-gadang akan diambil Jokowi sebagai 'kebijakan gila' untuk menyelamatkan kondisi ekonomi dan BUMN negeri ini.
Kantor Staf Presiden (KSP) angkat bicara tentang kebijakan gebrakan yang siap untuk diambil Jokowi. "Kita tahu bahwa Pak Jokowi mengatakan kalau itu 'gila' tapi bermanfaat buat masyarakat, ini dikaitkan dengan tidak adanya periode ketiga, yang tidak populis pun diambil. Tapi ini untuk masyarakat," ujar Deni Puspa Purbasari, Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP.
Deni mencontohkan, salah satu kebijakan non-populis yang sempat diambil oleh Jokowi adalah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), pada 2014 lalu. Tidak sampai dua bulan setelah dilantik, Jokowi langsung menaikkan harga bensin jenis Premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter.
Soal BBM memang belum terdengar kencang, meskipun harga BBM tak naik sejak 2016 lalu. Namun tidak begitu soal tarif listrik yang tidak naik sejak 2017 untuk pelanggan non subsidi.
Indikasi kenaikan tarif terbaca dari paparan Kementerian Keuagan saat rapat bersama DPR RI. Pada Selasa (25/6/2019), ada indikasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana untuk mengurangi atau bahkan menyetop pemberian kompensasi tarif listrik kepada PLN.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menjelaskan bahwa dua tahun lalu, terdapat kebijakan pemerintah untuk tidak ada kenaikan tarif listrik sampai saat ini. Alhasil ada pemberian kompensasi yang dikucurkan pemerintah ke PLN untuk menutupi selisih biaya.
Selisih tarif dan harga keekonomian ini kemudian ditanggung oleh pemerintah lewat kompensasi tarif listrik yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jumlahnya Rp 23,17 triliun.
Nah, apabila pemberian kompensasi ini dikurangi atau bahkan dihentikan, Plt Direktur Utama PLN Djoko Abumanan mengatakan, maka mau tidak mau konsekuensinya adalah dilakukan penyesuaian tarif listrik agar PLN tetap bisa menjamin keandalan pasokan listrik. Atau, dengan kata lain, tarif listrik untuk golongan tertentu bisa mengalami kenaikan.
"Ya iya, mau tidak mau PLN lakukan penyesuaian tarif, kalau tidak nanti mati listriknya," ujar Djoko saat dijumpai di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Pembayaran kompensasi ini juga salah satu yang menyelamatkan keuangan BUMN, baik PLN maupun Pertamina. Mencapai puluhan triliun rupiah, tanpa adanya catatan kompensasi ini bisa jadi dua BUMN raksasa itu malah mencetak rugi.
Andai saja tidak ada pembayaran kompensasi dan pembayaran piutang pemerintah, alih-alih mencatatkan keuntungan, PLN justru akan tekor dan membukukan kerugian sebelum pajak hingga Rp 10,73 triliun.
Hal ini disebabkan, sepanjang tahun lalu biaya bahan bakar terutama bahan bakar minyak (BBM) dan gas alam naik signifikan. Biaya BBM melonjak 36,12% secara tahunan, dari Rp 23,32 triliun menjadi Rp 31,74 triliun. Sedangkan biaya gas alam naik 16,46% menjadi Rp 55,44 triliun dari sebelumnya senilai Rp 47,6 triliun.
Harga BBM Masih Malu-Malu
Terkait harga BBM, Pertamina masih malu-malu mengakui butuh kenaikan harga terutama untuk bensin Premium dan Solar. Perlu dicatat, harga Pertalite juga lama tak naik karena pertimbangan kekhawatiran adanya migrasi konsumen kembali ke bensin dengan RON oktan rendah jika bensin RON 90 itu dinaikkan.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, dampak kenaikan harga terhadap Pertamina akan cukup signifikan, karena hal itu akan membuat pendapatan perusahaan dari sektor hilir akan mengalami kenaikan dan disparitas harga antar produk tidak terlalu jauh.
"Secara bisnis ini akan jauh lebih baik dan menguntungkan bagi Pertamina. Pastinya, karena ini yang mereka inginkan selama ini. BBM sesuai dengan harga keekonomian," pungkas Mamit.
VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menuturkan, pada dasarnya perusahaan mendukung kebijakan pemerintah, karena pastinya, kebijakan tersebut sudah memikirkan kepentingan masyarakat.
"Intinya, Pertamina akan terus konsisten melakukan perannya untuk menjaga ketahanan energi, itu yang utama. Kebijakan pemerintah kami dukung, karena pastinya sudah memikirkan kepentingan masyarakat," ujar Fajriyah saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (1/7/2019).
Sumber: CNBCIndonesia