[PORTAL-ISLAM.ID] Sejak awal KPU mengumumkan "kemenangan" pasangan Jokowi Maruf, dilakukan pendekatan dengan menawarkan jabatan kepada kubu koalisi Prabowo Sandi. Setelah MK menolak permohonan gugatan maka isu tawaran ini semakin gencar. Kubu Prabowo Sandi pun nampak ada yang goyah. Statemen pimpinan atau kader mengindikasi kegoyahan tersebut. Pembubaran koalisi Prabowo Sandi menguatkan sinyalemen bebasnya masing masing partai melangkah demi kepentingan partainya dan menimbang tawaran jabatan untuk bergabung tersebut. Jika sebagian besar, apalagi seluruhnya, partai koalisi Prabowo Sandi masuk dalam kabinet Jokowi Ma"ruf maka terancamlah demokrasi di negeri ini.
Dua bahaya terhadap demokrasi pertama, pemerintahan otokrasi atau oligarkhi yakni kekuasaan berada di satu atau sekelompok orang dimana masyarakat atau rakyat terkooptasi dan hanya berkedudukan sebagai penerima alokasi kekuasaan. Partisipasi relatif tidak ada.
Kedua, hilangnya oposisi atau penyeimbang kekuasaan. Semua elemen berkumpul mengitari penguasa termasuk kekuatan parlemen. Dalam posisi ini rakyat kehilangan saluran politik. Aspirasi benar benar tersumbat.
Keterlibatan semua partai di kabinet menjadikan partai politik sekedar alat kepentingan pemerintah. Ini artinya terjadi disfungsi kepartaian dalam sistem politik. Iklim politik menjadi tidak sehat. Rakyat akan bergerak mencari saluran politik sendiri. Partai politik bukan sekedar diabaikan tetapi juga dikesampingkan bahkan dijadikan musuh publik. Kepercayaan akan hilang. Jangan harap pemilu dapat suara signifikan.
Apalagi jika ternyata pemerintahan yang didukung ternyata gagal menjalankan roda amanatnya. Akhirnya demokrasi hanya diwujudkan rakyat dengan satu mekanisme yaitu demonstrasi.
Sebaiknya partai partai koalisi Prabowo Sandi tetap berada di luar pemerintahan untuk menjamin berjalannya roda demokrasi. Biarlah kini "kalah", apalagi diyakini kekalahan atas dasar kecurangan, namun dengan sikap kritis pro rakyat, maka pada Pemilu ke depan justru partai partai ini akan mendapat kepercayaan dan mandat rakyat. Sebaliknya jika saat ini hanya karena satu dua jabatan Menteri lalu tidak bisa lagi kritis pada Pemerintah, maka dipastikan berat nantinya untuk mendongkrak suara rakyat. Belum lagi karena dianggap oleh rezim sebagai partai "tak berkeringat" maka tempatnya tak mungkin berada pada posisi sentral. Hanya pinggiran saja. Menteri "abal abal" diberikan dan inilah kiprah yang percuma.
Jika partai koalisi Jokowi Ma"ruf menjadi kekuatan yang mendukung otoritarian atau tidak lagi merakyat, maka itu sama saja bahwa partai-partai ini telah menjadi "pembunuh demokrasi". Sementara jika partai koalisi Prabowo Sandi kemudian ikut dalam pemerintahan rezim Jokowi Ma"ruf yang otoriter itu maka posisinya adalah "bunuh diri demokrasi".
Keduanya sama sama melakukan hal yang sama yaitu "kejahatan demokrasi".
Bandung 4 Juli 2019 (*)
Penulis: M Rizal Fadillah