[PORTAL-ISLAM.ID] Rumit dan berbelit-belit! Itulah kesan pemilihan wakil gubernur DKI, dan wakil kepala daerah pada umumnya. Pemilihan Wagub DKI hingga hari ini belum tuntas. Begitu juga Wabup di Kabupaten Bekasi.
Mengacu pada UU No 10 Tahun 2016 dan PP No 12 Tahun 2018, wakil kepala daerah akan dipilih oleh DPRD berdasarkan dua calon rekomendasi dari koalisi partai pengusung yang diajukan oleh kepala daerah. Itu jika Paslon diusung oleh partai. Kepala daerah ini bisa gubernur, bupati atau walikota.
Sistem pemilihan wakil kepala daerah sebagaimana diatur oleh UU No 10 Tahun 2016 yang secara teknis dijabarkan mekanismenya dalam PP No 12/2018 tersebut ada banyak kelemahan. Pertama, pemilihan wakil kepala daerah tidak lagi melibatkan rakyat. Yang terlibat tiga pihak: partai koalisi, kepala daerah dan DPRD. Suara rakyat terabaikan.
Jika mengacu pada demokrasi, suara rakyat mestinya jadi acuan. Tidak perlu pemilu lagi. Panjang prosesnya dan menelan banyak biaya. Mekanisme yang paling mudah, singkat dan tak memakan banyak biaya (besar) adalah mengangkat "calon kepala daerah yang dapat suara terbanyak urutan nomor dua saat pilkada" sebagai wakil. Lazimnya pilkada ada sejumlah Paslon. Calon kepala daerah yang kalah dan perolehan suaranya dapat urutan kedua inilah yang mestinya diangkat jadi wakil kepala daerah jika terjadi kekosongan wakil tersebut. Mereka dapat suara terbanyak kedua. Legitimed, karena hasil pilihan rakyat. Suara dan dukungannya dari rakyat Bukan pilihan DPRD.
Takut gak nyambung dengan kepala daerah karena tak dipasangkan dari awal dan malah jadi lawan politik? Apakah selama ini partai memasangkan Paslon karena faktor nyambung dan saling melengkapi diantara keduanya? Tidak! Rakyat tahu bukan itu pertimbangannya. Lebih karena faktor popularitas dan kemampuan logistik yang jadi pertimbangan utamanya. Bukan soal nyambung atau tidak. Gak ada urusannya dengan skill yang saling melengkapi.
Kriteria parpol mencari kandidat umumnya didasarkan pada dua hal yaitu kekuatan logistik dan popularitas. Calon kepala daerah punya duit banyak, didukung wakilnya yang populer. Maka, rakyat seringkali disuguhi calon kepala daerah seorang pengusaha dan wakilnya seorang artis. Yang penting bagi partai itu dapat duit dan menang. Tidak lebih dari itu. Ini terjadi karena cost politik sangat tinggi, partai butuh duit dan tak punya kader. Karena hampir tak ada pola dan mekanisme perkaderan yang terstruktur dan sistemik di dalam partai.
Kelemahan yang kedua, mekanisme pemilihan wakil kepala daerah berbelit dan rumit. Sejumlah parpol koalisi harus berdebat dulu di internal dengan membawa agenda masing-masing partai. Kasus di DKI mestinya membuat kita semua sadar dan melakukan evaluasi. Gerindra dan PKS sempat ribut dan memakan waktu cukup lama untuk menyudahi tarik menarik kepentingan kedua partai sebelum akhirnya reda setelah dua nama dari kader PKS diajukan. Di Bekasi, baru Golkar yang memberi rekomendasi kepada dua calon yaitu Tuti Nurkholisoh Yasin (Adik kandung terpidana Meikarta Neneng Hasanah Yasin) dan Ahmad Marzuki, pengusaha limbah industri yang 2017 kemarin gagal ketika nyabup di Karawang bersama Miing Bagito. Sementara PAN, Hanura dan Nasdem belum memberikan rekomendasi hingga hari dimana sidang paripurna DPRD sudah seharusnya dilaksanakan.
Tarik menarik antar parpol koalisi bisa memakan waktu lama, dan bahkan bisa jadi deadlock. Sudah hampir setahun Anies Baswedan sendirian memimpin DKI. Siapa yang dirugikan? Rakyat!
Belum lagi adanya peluang dan dugaan "undertable transaction" di DPRD. Seperti kasus di Bekasi, anggota partai oposisi berjumlah 34 orang dari 50 anggota DPRD Kabupaten Bekasi. Begitu juga yang ada di DKI. 88 dari 106 anggota DPRD dari partai oposisi. Mayoritas! Mereka harus memilih calon yang bukan dari partainya. Emang mau gratis? Enak aja!
Disini, peluang untuk bertransaksi sangat besar. Apalagi diantara para anggota DPRD banyak yang mau pensiun. Sekitar tiga bulan lagi masa jabatannya berakhir dan tak lagi terpilih jadi anggota dewan. Wajar kalau pingin uang pensiun dong... Wajar atau kurang ajar?
Jika para anggota DPRD tak setuju terhadap dua calon yang diajukan, cukup gak datang di sidang paripurna. Gak setuju atau gak deal? Nah, publik curiga kan?Dua kali sidang gak kuorum, calon harus dikembalikan ke partainya. Dan ini yang kemungkinan akan terjadi. Molor lagi! Sementara rakyat tak terlibat dan tak tahu apa-apa. Padahal, ini akan merugikan rakyat.
Di DKI, sidang paripurna DPRD belum diadakan hingga hari ini. Masih ribut soal tatib. Tatib selesai, baru paripurna. Syarat paripurna harus kuorum. Kalau di sidang paripurna dua kali nanti gak kuorum, patut rakyat mencurigai. Apakah karena para anggota DPRD gak terima dua calon yang diajukan PKS yaitu Ahmad Saikhu dan Agung Yulianto? Atau karena hasil komunikasi politik di meja belakang "No Deal"? Kalau faktor kedua yang jadi sebabnya, ini ujian buat kedua kader PKS ini. Larut dalam transaksi, atau tetap mempertahankan integritas moralnya dengan menolak transaksi apapun jika ada. Ini taruhan juga buat PKS yang sedang berupaya mengembalikan citranya sebagai partai yang bersih.
Dua hal di atas menunjukkan adanya kelemahan serius dalam mekanisme pemilihan wakil kepala daerah. Ini harus diatasi dan diperbaiki. Caranya? Lakukan revisi UU No 10 Tahun 2016 dan secara otomatis juga merevisi PP No 12 Tahun 2018. Perlu ada perubahan terhadap mekanisme pemilihan wakil kepala daerah. Tidak lagi di sidang paripurna DPRD, tetapi kembalikan kepada rakyat. Caranya mudah dan tak butuh waktu lama. Juga tak membuka peluang money politik. Yaitu, melantik "calon kepala daerah" yang saat pilkada mendapatkan jumlah suara terbanyak kedua sebagai wakil. Itu suara rakyat yang dipakai. Dan yang pasti tidak berbelit-belit, tidak berlama-lama dan tidak membuka peluang transaksi haram, baik di partai koalisi maupun ketika sidang paripurna di DPRD. Mekanisme ini juga bagus kalau diberlakukan untuk mingisi jabatan wakil presiden jika mengalami kekosongan. Prabowo bisa jadi wapres dong? Ini soal negara, gak ada urusannya dengan Prabowo!
Jakarta, 23/7/2019
Penulis: Tony Rosyid