ASU
Gara-gara ada seorang ibu-ibu yang membawa anjing masuk mesjid, sampai hari ini, warganet di medsos banyak yang membahas tentang anjing. Sampai temen saya bilang, "mbuka facebook, isine asu kabeeh". Woke, mari kita diskusi tentang dunia anjing dengan nyante.
Anjing. Bahasa Jawanya Asu. Kalau sampeyan di Yogya hati-hati menggunakan kata "asu". Orang yang yang "misuh" (mengumpat) pada orang lain biasanya menggunakan kata ini. Pisuhan "asu ki...." adalah umpatan paling kasar bagi orang Yogya. Namun jika sampeyan mengumpat di Amerika: "Woooo....you are a dog", jelas nggak ngefek. Mungkin yang Anda umpat malah bingung. Cara misuh orang Amerika tentu beda dengan orang Jawa. Kata-kata "pisuhan" itu "culturally bound". Terkait dengan budaya. Bagi orang Jawa Timur, umpatan " Jangkrik" mungkin lebih kasar dari "asu".
Namun, bagi dua teman yang akrab, kata "asu" bisa berarti pujian. Contoh, ada dua orang main tenis. Yang satu melakukan "smash" dengan bagus. Yang dismes bilang, "asu, smesane apik tenan".
***
Bagi orang Islam anjing adalah binatang yang najis. Ini diakui oleh mazhab yang sebagian besar dianut muslim Indonesia. Artinya kotor. Jika sampeyan dijilat anjing, sampeyan harus cuci dengan pasir. Kalau belum dicuci shalatnya nggak sah.
Jadi kalau ada orang bawa anjing masuk mesjid, orang itu nggak punya sensitifitas budaya. Cultural sensitivity. Nggak punya kesadaran multikultural. Sama persis dengan orang yang misuh "asu" pada orang yang nggak dikenal di Yogya.
Jadi masalah si pembawa anjing ke mesjid itu sebenarnya adalah buta budaya orang lain. Sehingga dia gagal menghargai. Diskusinya ini saja. Nggak usah dibawa ke perdebatan fikih. Anehnya, banyak orang yang mengklaim pluralis kemudian membahas fikih. Mereka bilang ada mazhab yang memperbolehkan bawa anjing ke mesjid. Biasanya yang bilang-bilang beginilah yang hobi beretorika toleransi dan pancasilais sejati. Gagal melihat subtansi persoalan. Ra mutu babar blas.
Udahlah, wanita itu memang ora "empan papan" (nggak pada tempatnya) bawa anjing ke mesjid. Artinya memang ada persoalan serius tentang sensitifitas budaya dalam masyarakat kita. Ini gawat. Kesadaran multikultural itu fondasi untuk membangun sikap toleransi. Tanpa kesadaran ini kita nggak akan bisa menghargai orang lain yang beda dengan kita. Kita akan susah membangun "persatuan Indonesia".
Dulu, ada seorang wali atau sunan di Kudus yang melarang orang untuk menyembelih sapi. Gara-garanya, di daerah Kudus masih banyak orang yang beragama Hindu. Orang Hindu sangat menghormati sapi. Langkah sang wali untuk melarang menyembelih sapi adalah bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi orang-orang Hindu. Inilah contoh sensitifitas budaya. Ngomong toleransi tanpa menghargai nilai-nilai yang dimiliki orang lain itu ndobos. Asss.....sem!
(Endro Dwi Hatmanto)