[PORTAL-ISLAM.ID] Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah menghabiskan waktunya beberapa hari kemarin di Medellin, Kolombia tanahnya Pablo Escobar, salah satu manusia yang pernah paling ditakuti di dunia.
Tahun 70-an samoai dengan 90-an Escobar, dari Medellin, mengendalikan bisnis narkoba senilai 60 juta dolar AS alias Rp 900 miliar perhari alias sekitar Rp 328 triliun pertahun. Hampir sama dengan anggaran infrastruktur di APBN kita selama ini. Pasar bisnis narkobanya meliputi lebih dari 50 persen wilayah Amerika dan berbagai penjuru dunia.
Dengan gambaran di atas, Medellin adalah tempat paling berbahaya di dunia, karena pusat kejahatan dan hampir semua pejabat pemerintahan dan kepolisian waktu itu adalah penjahat berseragam. Hingga akhirnya kejahatan itu harus berakhir ketika Negara Amerika meminta pemeritah Kolombia menangkap Escobar (War on Drugs).
Atas dukungan Amerika, perlawan Escobar, dapat dipatahkan Pemerintahan Kolombia. Escobar dipenjara kemudian ditembak mati polisi Kolombia, tahun 1993.
Dua puluhan tahun berlalu, Medellin, saat ini merupakan satu dari kota teraman di dunia. Bahkan, pada tahun 2013 mendapatkan "award" sebagai "The Most Innovative City in the world diberikan the Urban Land Institute". Inovasi itu a. l, "the eco-árbol, a tree-like structure that acts as an air-purifier, and the spectacular Orquideorama for growing orchid", (How Medellin went from murder capital to hipster holiday destination, Stanley Stewart, The Telegraph, 2018)
Dengan fakta baru ini, Anies mengapresiasi Medellin dalam sebuah kata: transformasi. Sebuah transformasi adalah sebuah perubahan, dari buruk ataupun sangat buruk menjadi "Liveable City", tema pertemuan pemimpin-pemimpin kota di Medellin itu.
Kehadiran Anies di acara WCSMF (World Cities Summit Major Forum) merupakan kehormatan bagi Anies, Jakarta maupun Indonesia untuk bertukar pikiran dengan berbagai pimpinan kota-kota besar di dunia tentang isu "Liveable and Sustainable Cities dan #Trust Building within the cities" (https://www.worldcitiessummit.com.sg/) - tahun lalu acara WCS di Singapore, Gubernur Sumatera Selatan berkesempatan jadi undangan.
Apakah transformasi sebuah kota merupakan kehendak rakyat dan pemimpinya ataukah merupakan kelanjutan sejarah? Fabian Wahl, (2015), University of Hoheinhem, Jerman, dalam "Participative Political Institutions and City Development 800–1800", menjelaskan bahwa sejarah masa lalu kota, khususnya pengaruh partisipasi dan institusi politik dalam perkembangan kota mempunyai dampak positif, tapi bersifat sesaat. Dengan analisa sejarah ini, maka, kota-kota baru yang tidak mempunyai sejarah panjang seperti di Eropa punya kesempatan untuk bertransformasi menjadi kota yang baik untuk dihuni. Singapura, misalnya, yang dulunya kota kotor, telah berkembang menjadi salah satu kota terbaik di dunia. Sebelumnya tadi tentu saja Medellin itu, bertransformasi.
Kota merupakan kata penting untuk dibicarakan. Sebentar lagi Indonesia akan mengalami urbanisasi total, di mana penduduknya akan lebih banyak di kota. Sedangkan negara-negara maju, sudah mengalaminya beberapa dekade lalu. Lalu, kota-kota ini akan bersaing di dunia dalam suasana globalitas yang kompetitif.
Gupta (International Jurnal of Sustainable Development, 2013 ) dalam "The Challanges of Cities Today for Future City Life Through Sustainable CHALLENGES OF CITIES Development", menegaskan bahwa "Kota paling kompetitif adalah kota yang mengantisipasi tantangan pertumbuhan dan keseimbangan pada 3 sasaran fundamental, yakni "economic competitiveness, quality of life, and environmental protection".
Dia melihat skenario masa depan sebagai berikut: "In the future, high-rise buildings will be like small towns, with homes, shops, workshops - even gardens and farms - all under one roof. The spaces around us will be flexible, changing to match our needs. Instead of owning things, we will pay to use a space or an item, then give it back, hand it off, or recycle after use. For example, we will invite friends to ride along in shared e-cars and rent space in community gardens. We may even order produce from our community gardens! Technology and fluidity will enable us to live efficient lives. Many people willwork from home, switching between business and leisure, the real and the virtual. Our new lifestyle will allow neighbors to join together in vibrant, dynamic communities."
Apa yang diulas Gupta di atas, sebagiannya sudah dialami masyarakat Jakarta, seperti "small town" pada perumahan-perumahan besar, baik di Jakarta, maupun di Bodetabek. Meskipun tantangan efisiensi belum terwujud, baik dibidang energi, air maupun transportasi.
Namun, tantangan Jakarta dengan lebih 10 juta penduduknya adalah masalah besar. Lebih besar dari Medellin? Anies mungkin mendapatkan inspirasi tentang kota sadis dan kejam Medellin bertransformasi. Tapi bagaimana keamanan di Jakarta? Di mana menurut Kepala Staf Presiden tempo hari akan diserbu 30 teroris? Atau menurut kepala polisi juga akan dibom teroris pada 22 Mei lalu saat pengumuman pilpres.
Mercer, lembaga survei yang juga dirujuk WCSMF untuk mengukur "Quality of Living Ranking", menekankan isu keamanan personal menjadi faktor penting dalam dimensi "political and social environment". Ancaman keamanan personal baik isu kriminal, apalagi terorisme, akan memperburuk ranking kota tersebut.
Buruknya sisi keamanan kita di Jakarta diperlihatkan dari penjagaan-penjagaan mal-mal, hotel, perumahan mewah, club-club dan tempat rekreasi, yang berbiaya mahal. Padahal, jika di Kuala Lumpur, misalnya, di KLCC (Kuala Lumpur Central Stasiun), kawasan terminal, kereta api, metro dan mal yang terintegrasi, tidak satupun satpam atau sekuriti yang dibiayai konsumen terlihat.
Tantangan kedua yang mencuat saat ini adalah masalah polusi udara. Greenpeace telah mentweets Jakarta sebagai kota terpolusi di dunia. Sebagai advis, Greenpeace meminta masyarakat Jakarta menggunakan masker sehari-harinya.
Polusi ini disumbangkan oleh belasan juta kendaraan bermotor. Anies telah meminta distributor mobil dan motor menyediakan fasilitas uji emisi. Namun, sistem transportasi yang tidak efisien menjadi penyebab besar dan akan memakan waktu lama. Di negara-negara maju, misalnya, stasiun kereta api menyediakan parkir luas dan murah buat pemilik kenderaan untuk berganti moda transportasi. Begitu juga di sana, kereta api bertingkat sudah berlangsung lama. Di Jakarta, prioritas untuk parkir kelihatannya dikalahkan dengan pembangunan gedung, apartmen atau mall. Jika parkir tersedia, maka harga parkir sama mahalnya dengan parkir di mal. Tanpa fasilitas moda transportasi yang mudah di switch, kendaraan bermotor akan tetap memberi polusi yang sama. Medellin tidak termasuk dalam daftar negara polutif di dunia.
Bahkan, beberapa catatan tentang Medellin antara lain 56 persen penurunan level kemiskinan selama 11 tahun dan 10 persen penurunan kesenjangan kaya miskin (2003-2013), serta HDI 87,79 (2012), menunjukkan keberhasilan Medellin bertransformasi. (sumber: https://aqtr.com/association/actualites/medellin-road-becoming-knowledge-economy).
Penutup
Tantangan sebuah kota sebesar Jakarta tidak akan habis-habisnya jika dibahas. Apa yang penting pada tulisan ini adalah Anies telah mendapatkan satu kata dari perjalanannya ke Medellin: Transformasi. Sebuah perubahan adalah sebuah kehendak warganya dan pemimpinya.
Sebuah kota mafioso terjahat di dunia telah bertransformasi menjadi kota tujuan turis dan the city of ethernal springs.
Jakarta adalah kota sasaran teroris, kata elit pemerintah. Entah seberapa benar ada terorisnya. Tapi, ini akan menjadi beban untuk menjadikan Jakarta sebagai kota kompetitif.
Sudah puluhan tahun Jakarta distigma isu teroris. Selama itu pula rakyat membiayai perusahaan-perusahaan sekuriti dan polisi. Jika isu ini terus ada, kita akan semakin tertinggal jauh dibanding negara Islam Malaysia, yang tidak ada isu terorisme.
Tantangan polusi Jakarta harus dilakukan dengan cerdas dan terintegrasi. Khususnya moda transportasi terintegrasi dan terjangkau disegerakan.
Tantang-tantangan lain, seperti kemiskinan dan keadilan sosial serta pluralitas akan kita bahas lagi nantinya. Sementara isu keamanan dan polusi mungkin sesuai antara Jakarta dan Medellin ini.
Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan