[PORTAL-ISLAM.ID] Media ternama AS The Washington Post mengangkat topik menarik tentang kiprah FPI (Front Pembela Islam) yang dipuji karena terdepan dalam setiap bencana yang melanda berbagai daerah di Indonesia.
"When disaster hits, Indonesia’s Islamists are first to help"
(Ketika Bencana Melanda, Kelompok Islamis Indonesia Yang Pertama Membantu)
Demikian judul artikel di The Washington Post edisi 11 Juni 2019.
Artikel yang ditulis Stephen Wright ini dibuka dengan narasi kisah nyata korban bencana gempa dan tsunami di Palu Sulteng beberapa waktu lalu, seorang ibu tua bernama Anwar Ragaua (50 tahun), yang tak mau menurunkan bendera FPI meski sudah diperingatkan polisi. Anwar Ragaua, korban bencana, tetap bersikukuh mempertahankan bendera FPI, karena FPI lah yang pertama menolong para korban bencana.
The flags hanging outside Anwar Ragaua’s house have drawn warnings from police, but the wiry 50-year-old vows he’s not taking them down.
After all, the police weren’t there to help when he was the sole fisherman in his village to survive the tsunami that inundated the Indonesian city of Palu at dusk on Sept. 28. Nor was the government. Nor were the aid organizations that swept into the stricken region in remote central Sulawesi.
Instead, the first people to offer him hope — and a new boat — were deployed by a hardline Islamic group notorious for vigilante violence such as storming the offices of Playboy magazine, smashing up stores selling alcohol and attacking minority Muslim sects.
When the wind picks up, it’s the Islamic Defenders Front’s white-and-green flag that flutters outside Ragaua’s house, alongside a much bigger black flag with white Arabic script. The words are a well-known declaration of Muslim faith; similar flags have become associated with violent extremists.
(Bendera yang tergantung di luar rumah Anwar Ragaua telah menarik peringatan dari polisi, tetapi perempuan berusia 50 tahun itu berikrar tidak akan menurunkannya.
Lagi pula, polisi tidak ada di sana untuk membantu ketika ia adalah satu-satunya nelayan di desanya yang selamat dari tsunami yang menggenangi kota Palu di Indonesia pada sore hari pada 28 September. Juga bukan pemerintah. Organisasi-organisasi bantuan juga tidak sampai kesitu yang merupakan daerah terpencil.
Sebaliknya, orang-orang pertama yang memberikan bantuan kepadanya - dan memberikan sebuah kapal baru - dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (FPI) yang terkenal karena kekerasan main hakim sendiri seperti menyerbu kantor majalah Playboy, menghancurkan toko-toko yang menjual miras dan menyerang sekte-sekte (menyimpang) Muslim minoritas.
Ketika angin bertiup kencang, bendera putih-hijau Front Pembela Islam berkibar di luar rumah Ragaua, di samping bendera hitam yang jauh lebih besar dengan tulisan Arab putih yang bertuliskan Kalimat Tauhid (bendera Tauhid); bendera serupa telah dikaitkan dengan ekstremis brutal.)
***
Artikel Washington Post juga mengangkat kiprah kemanusiaan FPI di berbagai tempat. Juga sekilas sejarah berdirinya FPI dengan segenap kontroversinya.
Selengkapnya artikel: https://www.washingtonpost.com/world/asia_pacific/when-disaster-hits-indonesias-islamists-are-first-to-help/2019/06/11/ab0110ea-8cae-11e9-b6f4-033356502dce_story.html?utm_term=.e47c14d8070e
***
Kiprah kemanusiaan FPI ini membuat aktivis buruh non-muslim menyatakan keinginannya untuk masuk menjadi bagian dari Laskar FPI.
"...Merinding gua baca ini (artikel Washington Post -red). FPI buka pendaftaran anggota khusus nonmuslim ga sih? Daftar nih gua kalo ada, serius," kata Iyut VB di akun twitternya (@kafiradikal).
...Merinding gua baca ini.— K.H. Iyut~Kafir Hybrid Iyut (@kafiradikal) 13 Juni 2019
FPI buka pendaftaran anggota khusus nonmuslim ga sih? Daftar nih gua kalo ada, serius. (``,)https://t.co/CvzPsN6gKq