[PORTAL-ISLAM.ID] Sebagian publik meragukan kemauan dan kemampuan Mahkamah Konstitusi untuk dengan adil menegakkan hukum dalam sengketa Pilpres. Keraguan yang semestinya tak terjadi mengingat MK adalah lembaga amanat Konstitusi dan sengketa diperiksa oleh jumlah tim majelis yang beranggotakan banyak yakni 9 (sembilan) Hakim. Akan tetapi jaminan itu rupanya belum cukup karena MK bukan lembaga hukum murni. Khusus Pemilu, MK menjadi bagian dari proses politik. Sehingga konstelasi politik dapat memberi pengaruh.
Ada beberapa alasan yang wajar untuk meragukan kinerja MK meski Ketua MK Anwar Usman telah menyatakan MK independen dan "hanya takut pada Allah SWT".
Pertama, MK adalah lembaga hukum tata negara "satu satu" nya yang mengadili sengketa Pemilu. Peradilan "pertama" dan "terakhir" dengan Putusan bersifat "final". Tidak ada proses hukum yang mendahului dan tak ada upaya hukum lanjutan. Berbeda dengan perkara pengujian UU yang lebih "murni hukum" maka sengketa Pemilu lebih bernuansa politik. Sulit menjamin steril dari pengaruh politik.
Kedua, belum ada dalam sejarah sengketa hasil Pemilu Presiden Majelis mengabulkan gugatan. Hal ini menunjukkan betapi sulitnya pembuktian yang mampu membalikkan putusan KPU. Kontaineran alat bukti tidak mudah dipelajari dan dipertimbangkan. Apalagi alat bukti untuk mengalahkan mesti signifikan khususnya dalam perhitungan angka suara. Parameter senantiasa kuantitatif. Meski penggelembungan, selisih angka 17 juta spektakuler.
Ketiga, tafsir kebenaran hukum dari peradilan bisa luas. Sebagai contoh soal kecurangan yang bersifat "kualitatif" dapat saja ditafsirkan beragam. Semestinya kompetensi pemeriksaan jelas. Atau ketika tak ada pengaturan tegas itulah tantangan keberanian membuat interprestasi dan konstruksi hukum yang lebih maju dan adil. Sejauh mana MK siap membuat terobosan untuk sebuah "yurisprudensi" keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ?
Keempat, jumlah Hakim yang banyak lebih sulit membangun "musyawarah untuk mufakat" sangat mungkin berujung voting. Ruang "dissenting opinion" lebar. Jika lebih dari setengah Hakim "masuk angin" maka menghasilkan putusan tak obyektif yang merugikan salah satu fihak. Petahana selalu lebih kuat fasilitas dan pengaruhnya.
Kelima, tidak ada lembaga yang mengawasi Hakim MK. Komisi Yudisial (KY) tidak berwenang mengawasi Hakim MK dengan alasan Hakim MK bukan Hakim profesional sebagaimana Hakim Peradilan di bawah MA. Mahkamah Konstitusi menyatakan demikian sesuai dengan Putusan No 005/PUU-IV/2006. Tak ada sanksi perilaku Hakim kecuali jika terjerat kasus korupsi yang diperiksa KPK.
MK harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa keraguan tersebut tak perlu dan keliru. Ada sesuatu yang berbeda dengan Tim Sembilan yang sekarang ini. Ketuanya meski berfose didepan mobil mewah namun siap menyerap aspirasi rakyat. Tim nya kuat. Menghormati ayat-ayat serta menjaga harkat dan martabat. Menghukum pemain politik yang jahat. Mengganti Presiden yang tak peduli pada urusan umat. Ketukan palunya bermashlahat bagi seluruh rakyat.
Di tengah keraguan masih ada secercah harapan. Untuk kebaikan bangsa di masa depan. Semoga saja.
Bandung, 18 Juni 2019
Penulis: M. Rizal Fadillah