Terima Kasih, Bro Prabowo
Hasil sidang MK tahun ini nyaris tak jauh beda dengan sidang tahun 2014. Peristiwa pengulangan hasil ini sebenarnya tidak mengejutkan. Terlalu riskan MK mengabulkan permohonan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi.
Dampaknya dapat berlipat ganda dibandingkan menolak seluruh gugatan. Bagi kita yang di luar sidang, 'drama' MK bukan sesuatu yang baru. Demikianlah hasilnya dan terima atau tidak MK telah memutuskan.
Secara kronologis historis, pilpres kali ini lebih seru. Jika dibandingkan dengan pilpres 2014 maupun pilpres-pilpres pasca reformasi, pilpres kali ini yaris melibatkan seluruh warga negara bahkan yang belum memiliki hak pilih. Pesona Jokowi dan Prabowo memang luar biasa.
Sebagai pemenang, Jokowi memang hebat. Namun saya justru melihat Prabowo lebih hebat dan pantas kita ucapkan terima kasih kepadanya. Prabowo telah mampu membangkitkan semangat bernegara semua elemen, termasuk emak-emak. Dinamika yang dilakukan Prabowo cukup 'menghibur'.
Prabowo sudah jauh-jauh hari mendapat tawaran menjadi cawapres Jokowi. Luhut datang sebagai negosiator namun gagal. Prabowo tetap ingin tampil dengan segala risiko.
Selanjutnya, kejutan sekaligus dinamika yang dilakukan Prabowo ialah ketika ia menolak AHY dan memilih berpasangan dengan Sandiaga Uno. Langkah yang tak pernah dibaca para analis politik, termasuk parpol koalisi.
Akibatnya, Andi Arief mencak-mencak di media sosial. Sandiaga Uno dituduh menyuap, Prabowo dijuluki jenderal 'kardus'. Dinamika terjadi, perang di media sosial terjadi. Lagi-lagi Prabowo akhirnya mampu meredakan konflik setelah ia bertemu SBY di Cikeas.
Setelah masa kampanye datang, dinamika masih terjadi. Demokrat yang kecewa AHY tak menjadi cawapres tampak 'malas' mengampanyekan pasangan Prabowo-Sandi. Ucapan bahwa Demokrat 'main dua kaki' ditafsirkan berbeda. Demokrat beralasan, dua kaki yang mereka maksud ialah fokus pileg dan pilpres.
Faktanya, beberapa kader Demokrat di daerah juga dengan terang dukung Jokowi. Tapi Prabowo tetap berbaik sangka. Prabowo tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang mendiskreditkan Partai Demokrat. Bahkan sebuah satire sekalipun tidak pernah dilontarkan Prabowo.
Selanjutnya, Prabowo kembali membuat dinamika. Sore itu, dengan ditemani parpol koalisi, ia mengumumkan hasil exit-poll internal yang menyatakan dirinya menang. Hal itu berbeda jauh dengan hasil quick-count dari lembaga survei yang tayang di televisi. Gejolak mulai tampak, puncaknya ketika KPU mengumumkan hasil rekapitulasi.
Massa pendemo 21-22 Mei 2019 akhirnya bentrok dengan pihak kepolisian. Korban berjatuhan, bahkan Amnesty Internasional menyatakan Polri melanggar HAM.
Menurut mereka, Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga tak berdaya saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, usai kerusuhan 22 Mei.
Jika kita saksikan peristiwa 21-22 Mei, Prabowo bisa saja memanfaatkannya untuk melakukan tindakan di luar konstitusi. Ia didukung para purnawirawan yang loyal bahkan siap mati demi dirinya.
Namun Prabowo kembali menyelamatkan negara ini. Ia imbau pendukungnya untuk kembali ke rumah masing-masing. Menghentikan aksi karena ia akan menempuh jalur konstitusional.
Menurut saya, itu sikap negarawan, meski tahu hasil di MK ia bakal kalah. Prabowo tetap ingin menjaga stabilitas nasional. Barangkali kerusuhan akan mengakibatkan negara bangkrut. Krisis politik akan memengaruhi ekonomi kita. Prabowo paham itu sehingga ia memutuskan jalur konstitusional.
Padahal sidang MK bukan hanya sidang hukum. Sidang gugatan tersebut memaksa Prabowo mengeluarkan miliaran rupiah. Demikian menurut salah satu kuasa hukum BPN, Denny Indrayana.
Prabowo kembali menyadari bahwa massa militan pendukungnya akan hadir ke MK. Membaca gejala itu, ia kembali membatalkan rencana ke MK. Setidaknya massa yang hadir tak sebanyak perkiraan apabila ia menghadiri sidang-sidang MK.
Namun sikap tersebut ditafsirkan berbeda oleh massa yang hadir di sekitar gedung MK. Sikap itu dianggap gejala Prabowo akan mengkhianati pendukungnya. Tidak adil menurut saya. Ia ingin menghindari dampak seperti aksi 21-22 Mei, namun diancam sebagai pengkhianat.
Risiko yang memang harus ditanggungnya. Maju kena mundur kena. Bila ia hadir dan massa tidak bisa mengendalikan diri lalu terjadi konflik, siapa yang akan disalahkan? Jelas Prabowo yang akan disalahkan. Prabowo telah siap dianggap pengkhianat, namun para penghujatnya setidaknya selamat.
Prabowo lebih memikirkan keselamatan para pengunjuk rasa ketimbang nama baiknya. Sikap kepolisian yang terkadang di luar kendali menjadi salah satu alasan Prabowo mengimbau pendukungnya untuk tidak hadir ke MK.
Setelah dianggap pengkhianat dan kalah dalam pilpres, masihkah Prabowo akan berjalan tegak? Sebagai prajurit yang rela berkorban untuk negerinya, Prabowo akan selalu mendapat simpati dan empati dari orang-orang berakal sehat. Ia akan tetap tegak berjalan.
Jauh sebelum kontestasi, ia sudah paham risiko yang akan dihadapi. Ketika para mantan anggota HTI maupun FPI mendukungnya, ia sadar akan dianggap sebagai pendukung khilafah. Namun kini, silakan cerna sendiri, bagaimana Prabowo yang rela berkorban demi negara malah diancam sebagai pengkhianat.
Jika jabatan apa pun diberikan Jokowi kepada Prabowo, menurut saya, adalah wajar. Meski saya yakin Prabowo tidak akan meminta jabatan apa pun.
Terima kasih, Bro Prabowo. Anda telah memberi teladan menjadi oposisi yang tidak menghalalkan segala cara. Semoga kita bisa ngopi bersama suatu sore nanti.
(Penulis: Don Zakiyamani)
Sumber: Qureta
Prabowo: Kita Serahkan Kebenaran dan Keadilan Hakiki Kepada Allah SWT https://t.co/OTEHRL6IjF pic.twitter.com/tNfjaNMicP
— Mas Piyu ORI (@mas__piyuuu) 27 Juni 2019