[PORTAL-ISLAM.ID] Kasus “salah input” ini mengingatkan kita pada sebuah adagium no perfect crime. Tidak ada kejahatan yang sempurna. Petunjuk kecil bisa menuntun kita pada hal-hal yang besar.
SALAH INPUT Dana Kampanye Jokowi, No Perfect Crime?
Anggota tim kuasa hukum paslon 01 Luhut Pangaribuan menyebut sumbangan pribadi Jokowi untuk dana kampanye pilpres, salah input.
Jokowi maupun Ma’ruf tidak pernah menyumbang. Dana itu berasal dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf.
Jawaban salah input merupakan opsi yang paling mudah dan “logis.” Bagaimana harus menjawab fakta yang diajukan oleh tim Kuasa hukum paslon 02, hanya dalam waktu 13 hari kepemilikan uang tunai Jokowi bisa meningkat lebih dari Rp 13 milyar.
Sebagai presiden, Jokowi jelas tidak boleh berbisnis. Besarnya penghasilannya sebagai presiden juga sudah menjadi rahasia publik.
Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi Negara dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2001 menyebutkan bahwa tunjangan untuk Presiden dan gajinya adalah Rp 62,740 juta per bulan.
Dengan gaji sebesar itu, kalau toh selama 5 tahun menjabat, dan semua gajinya ditabung, jumlahnya juga tak akan mencapai Rp 19,5 milyar.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublikasikan pada tanggal 12 April 2019 harta kekayaan Jokowi kas dan setara kas sebesar Rp 6,1 milyar. Utang Rp 1.2 milyar.
Ketika tiba-tiba pada pengumuman dana kampanye pada tanggal 25 April tercantum nama Jokowi menyumbang sebesar Rp 19,5 milyar, bagaimana harus menjelaskannya.
https://youtu.be/38tCcCfcAy0
Kalau dana tersebut berasal dari utang, harus dijelaskan siapa yang memberi piutang. Atas dasar apa dia memberi piutang. Kalau dasarnya jual beli, katakanlah aset, harusnya dijelaskan aset apa yang dijual. Siapa pembelinya? Atas dasar apa dia membelinya. Apakah harga yang dia bayarkan wajar?
Kalau sumbangan itu atas pemberian orang lain, siapa penyumbang itu? Ada kaitannya dengan gratifikasi? Dan seterusnya.
Pendek kata, paling mudah dijelaskan, salah input. Case closed.
Kok jadi mengingatkan kita pada Situng KPU ya? Tapi sekali lagi itu adalah jawaban yang naif, terkesan bodoh, tapi paling mudah dan “logis.” Itulah kelebihan seorang pengacara.
Coba tempatkan diri kita sebagai tim kuasa hukum paslon 01. Laporan dana kampanye ini posisinya sangat krusial. Bendahara tim kampanye akan menyusunnya dengan sangat hati-hati.
Sudah menjadi rahasia umum, tidak pernah ada laporan kampanye yang menyampaikan data benar dan apa adanya. Banyak dana-dana politik yang tidak Mungkin dilaporkan. Sebut lah salah satunya operasi money politics.
Sebutlah mulai dari dana kampanye pilkada tingkat kabupaten/kota, gubernur, parpol, sampai pilpres. Tidak ada satupun, ya benar tidak ada satupun yang melaporkan jumlahnya secara benar.
Jumlahnya yang dilaporkan pasti jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran dana kampanye sesungguhnya.
Hanya tim kampanye bodoh dan dungu yang melaporkan dana kampanye apa adanya. Apalagi mencantumkan data, sang kandidat—yang juga presiden inkumben— ikut menyumbang dalam jumlah yang lebih besar dari harta kekayaannya, dan kemudian dinyatakan salah input. Kok bisa?
Apalagi seperti dikatakan Luhut, laporan dana kampanye itu sudah dilakukan audit oleh akuntan publik. Semakin aneh khan?
Benar bahwa setiap laporan dana kampanye disertai dengan audit dari akuntan publik. Namun Anda tahulah sendiri seperti apa itu?
Sudah jadi semacam kesepakatan bahwa KPU juga menerima begitu saja semua laporan. Tidak pernah ada upaya untuk melakukan audit secara independen.
Kasus “salah input” ini mengingatkan kita pada sebuah adagium no perfect crime. Tidak ada kejahatan yang sempurna. Petunjuk kecil bisa menuntun kita pada hal-hal yang besar.
Kita bisa memahami “bangunan besar” kecurangan paslon 01 seperti diungkap oleh tim kuasa hukum paslon 02, melalui kasus “salah input” dana kampanye ini. end.
(Oleh: Hersubeno Arief)