[PORTAL-ISLAM.ID] Henk Schulte Nordhold pernah menawarkan argumen bahwa gelombang konflik sampai isu separatis merupakan indikasi geneology of violence yang dibentuk rezim teror yang melegitimasi penggunaan kekerasan oleh negara.
Pembangunan di Indonesia era Jokowi, yang sepi dari berita adalah masih digunakannya paksaan dan penyalahgunaan kekuasaan, terutama dalam pembangunan infrastruktur, konsesi tambang dan perkebunan, terutama sawit, kasus Kendeng, Tumpang Pitu, di Pulau Aru ada perkebunan tebu. Di Papua ada pembangunan infrastruktur dan perkebunan sawit, di Kalimantan ada tambang batu bara, perkebunan sawit, karet, dan ijin pemanfaatan hutan alam yang dulu dikenal HPH, dan pembangunan pabrik yang mengesampingkan dampak ekoogi dan sosial, di beberapa tempat ada reklamasi, bukan karena keterbatasan, namun lebih karena keserakahan yang mengabaikan isu sosial dan lingkungan.
Kenyataannya kita masih terus mengimajinasikan kebangsaan kita. Evolusi negara bangsa ini tidak bisa rapih dengan sendirinya, membangun dari pinggir dan desa lebih banyak berorientasi pada investasi, wajar karena pemikiran pembangunan masih berlandaskan paham neolib.
Setiap pembangunan tentu membutuhkan politik, karena negara sebesar Indonesia memiliki sejarah lokal yang berbeda dalam long duree, harapan bergabung dalam sebuah negara bangsa selain adanya kesamaan nasib pasca kolonial, tentu kemakmuran dan keadilan.
Isu yang dikumandangkan dari Aceh, jika kita cermati bukanlah isu separatis tanpa sebab, bukan pula isu identitas, menyeret isu yang dibicarakan Mualem sebagau isu konflik identitas salah alamat. Saya melihat kekecewaan Mualem lebih karena isu low politics, seperti masalah sumberdaya alam, lingkungan hidup, pengembangan daerah sesuai dengan geo-strategis, dan yang paling rendah dari semua ini adalah kecurangan Pemilu 2019 dan sistem politik yang dianggap menguntungkan penduduk di Pulau Jawa.
Kecurangan dalam Pemilu dengan demikian tidak bisa dianggap remeh. Elit politik yang masih berahi terhadap kekuasaan, feodalistik, mengesampingkan rule of law justru dari ketidakadilannya menangani masalah, konflik, dan beradu argumen dengan sehat, serta mempertontonkan ketidakbecusan lewat komunikasi yang disinformatif, masa bodo terhadap komplain adalah strategi low politic.
Kesetiaan setiap orang, niscaya pada keadilan, mempertontonkan kekuasaan semata kebalikan dari demokrasi, bedanya dengan Orde Baru, politik pasca Jokowi saya sebut sebagai politik fantasi.
Penulis: Widhyanto Muttaqien