Menanti Putusan MK: Bukti Berpihak Pada Bambang Widjojanto Cs
Politisi & Praktisi Hukum
KITA semua telah menyaksikan sidang gugatan Perkara Pilpres 2019 dengan seksama, dan masing-masing pihak bisa menilai menurut pandangan dan disiplin ilmunya masing-masing untuk memberikan "kesimpulan awal" sebelum keputusan final dari Mahkamah dibacakan pada hari Jumat 28 Juni 2019, bisa juga dipercepat.
Dalam tulisan ini, saya mencoba memberikan beberapa 'penilaian' yang menurut pandangan saya merupakan fakta sidang Mahkamah tersebut. Adapun beberapa hal yang perlu diperjelas akan saya jelaskan di bawah ini.
Pertama, menurut saya sidang Mahkamah yang telah berlangsung selama beberapa hari itu membuka mata kita bahwa Pemilu 2019 bukanlah merupakan sengketa hukum semata. Tetapi jauh dari itu, ada penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan ongkos politik yang tidak transparan, pengendalian sistem dan teknologi untuk yang dahsyat, membuat pemilu menjadi curang.
Dugaan terjadinya pelanggaran Terstruktur, sistematis dan Massif (TSM) pun mengerucut menjadi dalil pemohon untuk mensengketakan Pemilu 2019.
Titik berat pembuktian Tim Kuasa Hukum 02 adalah pada kejahatan pemilu di bidang IT, tidak terpenuhinya syarat administratif calon dan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Ketiga hal tersebut dibuktikan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif atau normatif dan subtantif serta tekstual dan kontekstual.
Kejahatan dengan menggunakan sistem tekhnologi dan Informasi memang sudah menjadi cara yang paling utama dilakukan oleh pelaku kejahatan. Kejahatan di bidang IT ini sangat beragam. Contoh: pembajakan, pornografi, pemalsuan dan pencurian kartu kredit, penipuan lewat e-mail, penipuan dan pembobolan rekening bank, perjudian online, terorisme, dan lain-lain.
Kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas IT sebagai sasaran seperti pencurian data pribadi, pembuatan dan penyebaran virus komputer, pembobolan situs, cyberwar dan lain-lain. Semua jenis kejahatan ini telah terjadi secara sistematis, bahkan bisa menembus batas negara.
Untuk membuktikannya tidak bisa hanya mengandalkan cara manual dan konvensional. Sebab cara kerja kecurangan, apalagi terdapat dugaan keterlibatan kekuasaan (Abuse of power) sangat sulit untuk membuktikannya.
Selain itu, dalam sistem teknologi, kecurangan dapat dikerjakan dengan menggunakan sistem IT yang canggih. Hal tersebut juga patut diduga bisa terjadi pemilu 2019.
Pemilu Indonesia 2014 juga terdapat indikasi penyedotan data dengan menggunakan sistem IT ini. Pengakuan Akbar Faisal dalam sebuah percakapan tertutup di Group WA, yang Akbar sendiri mengakui itu sebagai informasi terbatas, juga memperkuat bahwa penggunaan IT untuk melakukan sebuah kecurangan benar adanya.
Hal yang sama patut diduga bisa terjadi dalam pemilu 2019. Sebab, pengakuan Ketua Tim Kuasa Hukum 02, Bambang Widjojanto bahwa data DPT yang diperoleh dan kemudian divalidasi serta dilakukan penelitian oleh Tim 02 ternyata diperoleh dari data yang di-publish KPU di situsnya. Dengan ketekunan dan kerja keras Tim Hukum Prabowo-Sandi mengkaji, meneliti data itu, sehingga banyak menemukan data invalid, yang dipersoalkan sejak awal oleh BPN 02 maupun kelompok masyarakat sipil lainnya.
Namun, sikap KPU terhadap persoalan data invalid, DPT siluman dan lain sebagainya tidak berusaha untuk memperbaiki. Apa yang dipersoalkan oleh BPN 02 sejak awal tidak pernah tuntas.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah teguran hakim MK kepada KPU karena hanya mencari alasan yang tidak jelas ketika ditanya. Kejadian yang berurutan, mulai dari penyusunan DPT dan alasan KPU tidak menyelesaikan DPT yang dipersoalkan oleh Tim Hukum 02 dan teguran hakim MK kepada KPU karena "ngeles" dapat disebut sebagai istilah kasarnya, "menyembunyikan persekongkolan" sehingga merugikan pihak 02.
Kesaksian dari Saksi dan Ahli Bisa Batalkan Pemilu
Pengakuan mengejutkan datang dari Ketua Tim Kuasa Hukum TKN Jokowi-Maruf, Yusril Ihza Mahendra menyebut hasil kajian dari ahli IT yang dihadirkam oleh kubu Prabowo-Sandi bisa saja membatalkan hasil Pilpres yang memenangkan pasangan Jokowi-Maruf.
Hal itu ia sampaikan saat menanggapi hasil audit forensik dari ahli IT, Prof Jaswar Koto yang menyebut klaim kemenangan Prabowo-Sandi. "Apa yang Bapak tulis dalam laporan yang dipresentasikan itu, ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Dampak dari hasil kajian Bapak bisa membatalkan keputusan KPU dan bisa menentukan Presiden RI yang penduduknya 250 juta ini, siapa yang akan jadi presiden dan siapa yang tidak," Yusril saat sidang, Rabu 21 Juni 2019.
Pengakuan tersebut tidak dibantah, Yusril hanya mempersoalkan tentang prosedur dan otoritas untuk melakukan audit forensik. Apa yang dipersoalkan oleh Kuasa Hukum 01 merupakan otoritas, meskipun keahlian dari Ahli Prof. Jaswar Koto tidak diragukan lagi.
Padahal untuk membuktikan terjadinya kecurangan yang TSM tidak perlu dengan otoritas, karena kewenangan untuk melakukan itu berada di institusi tertentu.
Pertanyaannya adalah apakah tanpa otoritas kita tidak bisa mengungkapkan kejahatan? Saya kira tidak. Karena mengungkapkan kejahatan adalah bagian dari tugas bersama sebagai warga negara dengan memanfaatkan bidang dan keahlian yang kita miliki.
Mempertanyakan otoritas jelas menurut saya tidak akan mematahkan alat bukti dan penjelasan yang disampaikan oleh ahli yang dihadirkan Tim Hukum 02.
Untuk mematahkan penjelasan dan bukti yang disampaikan oleh Prof. Jaswar tersebut, Termohon (KPU) harus menghadirkan saksi atau ahli pembanding.
Begitu juga dengan pihak Terkait, harus menghadirkan saksi atau ahli yang bisa mematahkan argumentasi tersebut. Namun sepanjang sidang perkara justru apa yang diungkapkan oleh saksi maupun ahli 02 Prabowo-Sandi tidak dibantah sama sekali.
Bahkan kesaksian Hairul Anas Suardi yang membongkar adanya Training of Training (ToT) kubu 01 yang membahas kecurangan adalah bagian dari demokrasi terkonfirmasi dengan kesaksian Anas Nasikin yang dihadirkan oleh kubu 01.
Yang lebih mengherankan ia bahkan membeberkan kehadiran Jokowi pada jam kerja itu, dan membuka agenda termasuk kehadiran seluruh pejabat yang mendukung 01, seperti Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) dan lain-lain. Termasuk juga hadirnya KPU dalam kegiatan paslon 01 tersebut.
Secara tidak langsung, apa yang dijelaskan Hairul Anas (saksi 02) dibenarkan oleh Anas Nasikin (saksi 01). Dengan demikian dugaan terjadinya pelanggaran yang Terstruktur (melibatkan struktur kekuasaan dalam negara dengan menggunakan "perintah komandan") dan Sistematis (modus operandi, perencanaan yang matang) terpenuhi, sehingga melahirkan dampak yang luar biasa, baik dari perolehan suara hingga merambat pada persoalan hukum dan sosial (Massif).
Dan yang lebih mengagetkan KPU juga hadir dalam kegiatan ToT yang diadakan oleh pihak TKN tersebut. Jelas ini perlu untuk Mahkamah menelaah lebih jauh bahwa ada semacam kerja struktural yang rapi untuk memenangkan paslon 01, yang dilakukan oleh termohon. Tentu hal tersebut sangat merugikan bagi 02 dan dampaknya sangat besar.
Menanti Putusan MK
Agenda sidang PHPU telah selesai, tinggal bagaimana Rapat Permusyawaratan hakim dan keyakinan para hakim dalam melihat bukti, keterangan saksi, dan keterangan ahli yang telah terucapkan dalam sidang MK.
MK harus menelaah dugaan kecurangan pemilu ini berdasarkan pada keadilan yang substansial, bukan keadilan yang semata-mata hanya bersifat numerik.
Kalau hanya melihat dugaan kecurangan ini sebagai sengketa angka, maka MK akan memutuskan sengketa berdasarkan pada hitung-hitungan saja. Kasarnya MK melegalkan kecurangan atau boleh curang, asalkan kecurangan itu mampu ditutupi dengan angka perolehan suara.
Kalau hal itu terjadi, maka kita mengkhianati kedaulatan rakyat yang disebutkan dalam pasal 1 Ayat 2 UUD 1945. Salah satu pengejawantahan kedaulatan rakyat itu adalah dengan melaksanakan pemilu secara periodik untuk mengganti kekuasaan secara Demokratis. Maka supaya kedaulatan rakyat itu terjamin, muncul pasal 22E ayat 1, "Pemilu dilaksanakan secara Langsung, Bebas, Umum, Rahasia, Jujur dan Adil".
Asas dalam Pasal 22E UUD tersebut adalah merupakan norma dasar bagi pelaksanaan pemilu. Dengan norma konstitusi inilah MK memeriksa Sengketa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019.
Kalau MK benar-benar sebagai the "Guardian Of The Constitution", yang menjadi benteng terakhir konstitusi, maka para hakim akan memeriksa sengketa ini dalam kerangka norma dasar.
Konstitusi Indonesia mengandung meta-norma yang didalamnya terdapat nilai ketuhanan, nilai keagamaan, dan nilai-nilai budaya yang menjadi landasan disusunnya konstitusi oleh para pendiri bangsa ini.
Dengan pandangan Meta norma itulah para pendiri bangsa merumuskan Filosofichegroundslaag Indonesia merdeka. Di dalamnya terdapat meta norma atau meta-yuris yang menjadi spiritnya. Hal-hal fundamental inilah yang harus dilihat oleh MK untuk menilai perkara konstitusionalitas pemilu 2019.
Apabila terdapat kecurangan dan terbukti secara sah dan meyakinkan, maka MK wajib menyatakan bahwa Pemilu 2019 tidak konstitusional. Tidak lagi mengacu pada Angka, tetapi mengacu pada persoalan konstitusionalitas pemilu.
Oleh karena itu, dalam mengambil putusan ini MK harus lebih teliti dengan menggunakan segala sisa waktu yang ada untuk membedah permohonan pemohon, bukti yang diajukan, keterangan saksi dan ahli yang disampaikan di dalam sidang dicermati dengan seksama, sehingga MK menghasilkan putusan yang benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Sebagai penutup, hakim MK itu adalah jabatan negarawan dengan kedudukan yang mulia. Sebagai negarawan, hakim MK adalah jabatan paripurna dibidang peradilan, dan capaian yang tertinggi, tentu orang yang bisa melewati tahap itu adalah manusia-manusia pilihan dengan kemampuan yang baik dan akhlah yang menjadi teladan.
Karena itu putusan harus menjadi cermin kepribadian, dan cermin dari konstitusi.
Wallahualam bis shawab.
*sumber: RMOL