Polemik Simbol Iluminati dalam Arsitektur Masjid As-Shafar:
Antara Kreatifitas dan Sensitifitas
Oleh Dr. Eng. Bambang Setia Budi
(Arsitek dan Dosen Mata Kuliah Arsitektur Islam, SAPPK ITB)
Saya hanya ingat top manajemen di Perusahaan Toyota, bila ada masalah di satu bagian pabriknya, lalu pemimpin rapatnya bertanya kepada para direkturnya yang ikut rapat, adakah yang belum melihat kondisi di lapangannya? Walaupun hanya dua orang dari sekian puluh peserta rapatnya, ternyata ditunda rapat itu hingga dua orang yang belum melihat sampai mengamatinya sendiri. Itu mungkin supaya tidak bikin masalah menjadi tambah rumit dan bertele-tele karena kurang lengkap memahami persoalannya dan pembahasan rapatnya bisa lebih berorientasi pada solusi tidak hanya perang pendapat atau opini.
Tafsir atau Interpretasi Wujud dan Simbol Arsitektur
Bentuk dan wujud arsitektur memang bisa ditafsirkan apa saja oleh masyarakat atau pengamat tanpa harus meminta klarifikasi arsitek atau perancangannya. Tidak sepenuhnya benar bila masyarakat, pengamat atau bahkan kritikus arsitektur harus meminta penjelasan atau klarifikasi (tabayyun) kepada sang arsitek atau perancangnya dulu sebelum menafsirkannya atau menginterpretasikannya kemudian menyampaikan pendapatnya terkait suatu bangunan tertentu atau simbol tertentu.
Pertanyaannya, siapa yang boleh menginterpretasikan dan menafsirkan suatu bentuk karya arsitektur atau simbol dalam arsitektur tertentu itu? Apakah harus orang yang mendalam pengetahuannya tentang arsitektur? Apakah hanya para arsitek akademisi arsitektur atau sejarahwan dan kritikus arsitektur? Atau (!) bahkan hanya arsiteknya sendiri? Mungkin itu benar dan mungkin ada sebagian yang berpendapat demikian.
Namun dalam pandangan saya, siapa saja boleh dan berhak memandang, mengamati, atau menginterpretasikan sebuah karya arsitektur dengan caranya dan dengan pemahamannya. Apalagi arsitektur yang dimaksudkan itu adalah bangunan publik. Dan itu menurut saya, pandangan dan interpretasi itu harus dihargai dan jangan dilecehkan. Apalagi (bahkan) mereka itu pengguna bangunan itu sendiri juga, bila tidak maka yang tersisa dari arsitek hanyalah sikap ego dan arogansi. Padahal karya arsitektur, sehebat apapun arsiteknya tidak akan pernah ada yang sempurna dan pasti selalu saja ada celah kekurangannya.
Bila diseriusi, pendapat masyarakat umum juga bahkan bisa menjadi bahan penelitian tersendiri. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap suatu obyek karya arsitektur tertentu. Dan saya beberapa kali membimbing dan menguji topik tesis mahasiswa S2 atau disertasi S3 seperti itu. Misalnya bagaimana opini masyarakat terhadap bentuk Masjid Salman ITB karya arsitek seribu masjid Achmad Noe'man atau bagaimana respon pandangan masyarakat Sumbar terhadap bentuk Arsitektur Masjid Raya Sumatra Barat karya arsitek Rizal Muslimin.
Karena pada dasarnya, arsitektur itu memang sesuatu yang sangat dekat dengan masyarakat. Maka setiap karya arsitektur yang hadir memang sewajarnya perlu bersiap mendapatkan komentar, pendapat, intepretasi dan opini dari masyarakat apalagi pengguna arsitektur itu sendiri. Kalau tidak siap dengan opini atau interpretasi dari masyarakat penggunanya, ya mungkin lebih baik tidak perlu berkarya.
Dan dalam kasus ini, masjid itu sangat dekat dengan umatnya, maka wajar saja bila ada sebagian umatnya sebagai pengguna berpendapat dan beropini sesuatu tentang masjid itu sendiri. Terlepas dari perbedaan pandangan politik, atau soal suka dan benci kepada seseorang/tokoh tertentu/arsiteknya dan lain sebagainya. Dan menurut hemat saya jangan terburu-buru dibawa ke ranah itu supaya pembahasannya lebih jernih dan obyektif.
Di sisi lain, kita juga meyakini bahwa yang sering terjadi, arsitek saat merancang tidak berpandangan atau tidak bermaksud tertentu sebagaimana yang ditafsirkan masyarakat, pengguna atau pengamat, atau juga bahkan kritikus arsitektur. Karena ianya bisa jadi merupakan bagian proses kreatif semata, tetapi mereka dalam hal ini masyarakat, pengamat, kritikus atau sejarahwan arsitektur bisa menafsirkannya dan memasukkannya dalam kategori dan/atau maksud yang berbeda atau bertolak belakang. Yang terjadi, belakangan arsitek bisa menolaknya atau menyangkal atau membantahnya, namun bisa juga mengakuinya atau membenarkannya karena mungkin baru menyadarinya. Yang jelas, cukup banyak terjadi adalah maksud arsitek tidak selalu sama sebagaimana yang ditafsirkan oleh pengamat.
Saya coba berikan contoh-contoh sekilas. Arsitektur Aula Barat dan Timur ITB, khususnya pada atap, banyak yang menafsirkan diturunkan dari atap Sunda Besar, ada pula yang mengatakan diturunkan dari atap Bagonjong Minang. Apakah arsiteknya memang berfikir demikian? Tentu bisa iya bisa tidak. Dan arsitek sepanjang pengetahuan saya tidak pernah menjelaskannya. Tetapi karya arsitektur yang membuka interpretasi yang beragam ini juga justru menariknya.
Bentuk dan wujud Arsitektur Gereja di Ronchamp karya Le Corbusier, diinterpretasikan oleh pengamat malah lebih banyak lagi. Dari bentuk seperti topi, tangan berdoa, binatang swan, atau seseorang yang memeluk anaknya dan sebagainya. Tentu ini membentang dari yang bersifat serius atau hanya mengada-ada. Tetapi keragaman interpretasinya oleh pengamat itu sah-sah saja.
Atau atap tumpuk tiga masjid tradisional Jawa yang mentradisi itu, apa dan siapa yang pernah menginterpretasikannya? Ulama besar Buya Hamka pernah menafsirkannya sebagai tiga tingkatan yakni Iman, Islam dan Ihsan. Salahkah beliau? Tidak. Bolehkah menafsirkan hal demikian? Boleh saja.
Yang terdekat dalam bahasan ini yakni misalnya Arsitektur Masjid Salman, yang oleh sebagian masyarakat atau pengamat beropini bila atapnya yang seperti mangkuk terbuka seperti tangan yang menengadah atau sedang berdoa, atau juga seperti huruf "ba" yang artinya singkatan dari "bait" atau rumah, sementara menaranya sebagai "alif" dari singkatan Allah, yang kesemuanya berarti Rumah Allah. Salah atau tidakkah interpretasi ini. Tidak ada yang salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar.
Lalu, apakah sang arsitek memang berpikiran demikian waktu merancangnya, sepanjang saya berinteraksi dengan beliau (Bpk Achmad Noe'man), beliau hanya tertawa dan kemudian menjawab perlahan tidak pernah berpikir seperti demikian itu dulunya. Itu istilah beliau hanya menggunakan "ilmu gathuk", atau dicocok-cocokkan. Namun belakangan beliau juga menjelaskan menggunakan ilmu gathuk itu sendiri juga dengan mengatakan bahwa atap Masjid Salman adalah inversi (bentuk negatif) dari atap Aula Barat dan Timur ITB. Apakah itu kebetulan atau hanya justifikasi semata, itu hanya Tuhan dan arsiteknya yang tahu.
Dalam kasus Masjid Salman, bahkan ada seorang Profesor Sejarah Islam di Bandung yang menginterpretasikan dan mengkritik bahwa kolom dan balok di interior Masjid Salman pada sebelah dinding kanan dan kiri (Utara-Selatan) sebagai bentuk-bentuk salib dalam masjid. Lebih parah lagi adalah mimbarnya, yang apabila ada khatibnya sedang naik mimbar maka proporsinya menjadi sama persis dengan bentukan salib. Bagaimana respon Pak Noe'man? Sepanjang saya ketahui beliau diam dan tenang saja, bahkan tersenyum saja tanpa perlu direspon apalagi berlebihan.
Saya sendiri tentu menghargai keduanya, tetapi saya juga tentu tidak sama pendapatnya dengan Profesor itu karena itu bagaimana pun suatu konsekwensi logis dari struktur kolom dan balok. Kecuali kita membuatnya dalam bentuk arches atau lengkungan-lengkungan dengan menghindari kolom dan balok. Begitu pula dengan mimbarnya. Intrepretasinya ini mungkin terlalu berlebihan.
Bukan (hanya) Persoalan Bentuk Segitiga
Sama dengan Masjid As-Shafar karya Ridwan Kamil dari Urbane yang sedang menjadi polemik itu. Menginterpretasikan bentuk-bentuk segitiga sebagai simbol-simbol derivat dari Iluminati, menurut saya memang agak berlebihan karena bentuk-bentuk itu biasa dalam arsitektur dan bentuk segitiga adalah bentukan yang paling kokoh dalam struktur bangunan.
Saya pun juga sangat percaya bahwa sang arsitek dalam hal ini Ridwan Kamil, hampir tidak mungkin melakukan itu dengan maksud untuk memperkenalkan simbol-simbol segitiga Iluminati itu secara halus dan sembrono. Terlalu berani dan gegabah untuk menampilkan gagasan-gagasan itu dalam bentuk arsitektur khususnya Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam itu sendiri.
Karena bagaimanapun simbol Iluminati itu memang wujud dari simbol musuh bebuyutan Umat Islam akhir zaman, dialah Dajjal yang diyakini dan diberitakan akan hadir menjelang kiamat. Ia bermata satu karena satunya buta. Ianya memang kerap bermain simbol, dan simbolnya segitiga dengan satu mata di tengahnya. Bagi Umat Islam, saking besarnya fitnah itu, dalam setiap Shalat dan diakhir duduk At-Tahiyat sebelum salam, berdoa supaya dihindarkan dari fitnah Dajjal itu. Dan tanda-tandanya adalah kerusakan di berbagai bidang yang sebagian besarnya memang sudah nampak dari sekarang. Ia mengaku dirinya Tuhan dan nantinya banyak sekali orang yang akan tersihir, mengikuti dan tunduk patuh kepadanya, kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah SWT.
Namun kembali lagi, persoalannya apakah hanya soal bentukan segitiga? Tentu saja tidak. Bagi saya yang sudah mencoba mengamati dan merasakan bangunan ini baik dari luar dan dalam, bentukan segitiga di berbagai sudut dan tempat tidak terlalu merisaukan kecuali hanya di bagian Mihrab. Karena bentukan segitiga di bagian Mihrab ini bukan hanya segitiganya tetapi adanya bulatan yang bila diamati maksudnya arsitek adalah untuk hiasan dengan kaligrafi di bagian lingkaran di tengah segitiga itu. Namun dengan desain seperti itu, rupanya menjadi semakin memperjelas dan mendekatkan/memiripkan bentuk atau simbol dari iluminati itu sendiri yang berupa segitiga dengan mata satu di tengahnya.
Sekali lagi, saya sangat percaya kalau arsitek Ridwan Kamil tidak mungkin melakukan itu dengan sengaja apalagi sebagai bagian dari konspirasi, namun kenyataan di lapangan memang secara nyata dan jelas, khusus untuk bagian Mihrab ini bagaimanapun, cukup atau juga sangat mengganggu bila seorang Muslim atau pengguna yang sholat didalamnya seperti menghadap simbolnya Dajjal yang itu berarti Tuhan lain selain Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Dajjal itu sendiri.
Kreatifitas Tetap Perlu Sensitifitas
Pelajaran dari kasus Masjid As-Shafar ini menurut saya, arsitek memang harus dan perlu dan secara bebas melakukan kreatifitas secara maksimal dalam desain bentuk dan wujud arsitektur masjid. Itu memang dikehendaki dalam arsitektur Islam khususnya membangun masjid, dimana tidak adanya patokan-patokan yang terlalu ketat.
Arsitektur Masjid merupakan bangunan umat Islam yang bagi setiap arsitek adalah makanan paling empuk, tinggal sejauh mana pengetahuan, wawasan, ketrampilan, penguasaan teknologi dan lain sebagainya bisa diterapkan di dalamnya. Sebagaimana dalam kaidah Ushul Fiqih, ibadah Ghairu Mahdhoh ini semuanya boleh kecuali yang dilarang saja. Ia bebas menggunakan bentuk apa saja, material aja saja, dan lain sebagainya namun ia harus tetap berfungsi dengan baik sebagai tempat ibadah Umat, menghadapkan dirinya/shafnya ke kiblat, kejelasan batas suci dan tidak suci, dan tentu arsitekturnya harus menyesuaikannya dengan kondisi iklim setempat.
Namun demikian, kebebasan berkreatifitas tentu itu tentu tetap perlu memperhatikan dan hal-hal sensitif di masyarakat dan lingkungannya supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Dalam kaitan dengan bentuk dan simbol ini, memang ada baiknya arsitek dan siapapun itu yang merancang masjid, perlu lebih sensitif.
Kasus Masjid As-Shafar ini dalam pandangan saya cukup kreatif, dengan bentukan masjid yang tidak biasa bahkan mungkin belum pernah ada, namun kurang sensitif dalam mengelaborasikan bentuk-bentuk bidang sehingga khususnya pada Mihrab seakan menghadirkan sebuah bentukan dan simbol segitiga Iluminati dengan bulatan di tengahnya yang menjadi musuh utama Umat Islam akhir zaman dan itu berada di depan orang sedang berdiri, ruku dan sujud.
Masukan saya di luar bentuk dan wujud simbolisme itu dalam kasus rancangan masjid ini, dan setelah merasakan sendiri di lapangan, arsitektur masjid ini juga kurang sensitif terhadap iklim tropis yang padahal itu merupakan salah satu ciri Arsitektur Islam. Yang paling terasa adalah di ruang mezanin lantai dua untuk sholat para wanita, ketika saya hadir pukul 13.30 siang hari, sungguh ruangan sangat panas sehingga hampir tidak mungkin itu dipakai sholat dengan tenang dan nyaman.
Menurut pandangan saya, arsitek dan teman-teman Urbane terlalu fokus pada eksplorasi dalam bentuk-bentuk dan bermain bidang, namun kurang sensitif kalau tidak dikatakan lemah dalam merespon iklim tropis lokal kita yang panas dan lembab. Terlalu berlebihan dalam mengeksplorasi bentuk dengan kurang responsif atau sensitif terhadap simbolisme dan iklim tropis lembab setempat ini menurut saya catatan yang perlu dan bisa menjadi hikmah dan pembelajaran ke depannya.
Berbeda dengan Masjid Salman yang walaupun beratap datar, namun dengan adanya koridor dan cross ventilation-nya yang sangat mendekati sempurna sehingga tidak pernah terasa panas walaupun penuh sesak jemaah saat sholat Jumat di siang hari. Atau juga Arsitektur Masjid Istiqlal karya Friedrich Silaban yang semua dindingnya bisa bernafas, atau bahkan karya Kang Ridwan Kamil sendiri di Masjid Al-Irsyad di Kota Baru Parahyangan Bandung yang dinding-dindingnya juga bernafas.
Solusi
Sebagaimana pembuka tulisan ini, saya lebih berorientasi pada solusi dibandingkan mengembangkan polemik atau perang opini yang berkelanjutan. Saya lebih mengajukan beberapa usulan solusi yang singkat dan jelas:
Pertama, untuk bagian Mihrab sebaiknya bisa diredesain sehingga kemiripannya dengan simbol iluminati bisa direduksi. Isu sensitif ini perlu direspon tanpa harus defensif karena menyangkut kenyamanan pengguna. Serahkan pada arsitek/tim arsiteknya karena mereka pasti lebih tahu bagaimana menyelesaikannya.
Kedua, perlu beberapa solusi desain tambahan untuk aspek responsif dan sensitifitasnya terhadap iklim tropis lembab ini agar masjid lebih nyaman digunakan.
Demikian pendapat saya, dan dari lubuk yang paling dalam kurang lebihnya mohon maaf lahir dan batin. Taqaballahu minna wa minkum. Selamat Berhari Raya Iedul Fitri 1 Syawal 1440 H.
Mudik di Kampung Halaman,
Sragen - Jawa Tengah, 3 Juni 2019
(Sumber: fb penulis)
Polemik Simbol Iluminati dalam Arsitektur Masjid As-Shafar: Antara Kreatifitas dan Sensitifitas Oleh Dr. Eng. Bambang...
Dikirim oleh Bambang Setia Budi pada Senin, 03 Juni 2019