[PORTAL-ISLAM.ID] Betul Anda tidak salah baca. Judul di atas diambil dari keterangan seorang saksi dari paslon 02, Hairul Anas Suaidi.
“Doktrin” itu disampaikan oleh Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf ketika memberikan pembekalan para calon saksi di sebuah hotel di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur.
Anas adalah salah satu peserta pembekalan itu. Sebagai caleg dari Partai Bulan Bintang (PBB), bersama 9 orang lainnya dia diutus mewakili partainya. Saat itu PBB di bawah Yusril Ihza Mahendra mendukung paslon 01.
Karena hal itu disampaikan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), maka dapat disebut sebagai fakta persidangan.
Sebagai saksi sebelum menyampaikan keterangan, Anas telah disumpah. Artinya dia menyampaikan keterangan secara benar. Dia harus menyampaikan fakta yang dia dengar, dia lihat dan dia alami sendiri. Bukan ngarang-ngarang. Bukan opini.
Kalau meminjam istilah dalam hadits, ini jenis hadits yang sahih. Perawinya (periwayatnya) muttawatir. Titik koma, sampai lafaznya juga tepat.
Dia mendengar langsung, masih mencatat, masih mengingat, bahkan bisa menunjukkan slide, ketika Moeldoko menyampaikan pemaparan.
“Kecurangan adalah bagian dalam demokrasi” itu berada di slide kedua dan ditunjukkan oleh Anas kepada majelis hakim.
Kesaksian yang disampaikan Anas, seorang ahli IT lulusan ITB setidaknya membawa kita mendapat gambaran bagaimana strategi pemenangan pemilu yang dilakukan oleh paslon 01.
Ada lima strategi/cara yang diajarkan kepada para saksi untuk memenangkan paslon 01.
Pertama, doktrin kecurangan adalah bagian dari demokrasi. Silakan tafsirkan sendiri dan hubungkan dengan praktik-praktik kecurangan yang terjadi sebelum, saat dan sesudah pilpres.
Dengan posisi Moeldoko sebagai wakil ketua TKN, maka hal itu bisa diartikan sebagai “perintah” atau setidaknya merupakan pembiaran adanya kecurangan.
Bila dikaitkan dengan posisi Moeldoko sebagai kepala staf presiden (KSP), seorang pejabat tinggi negara dan pembantu dekat Jokowi, “perintah” ini bisa berimplikasi lebih luas lagi.
Kita bisa mendapat gambaran bagaimana cara dan strategi pemerintahan Jokowi untuk mempertahankan kekuasaannya.
Moeldoko baik sebagai wakil ketua TKN dan pejabat publik harus segera menjelaskan kepada publik, soal “doktrin” kecurangan ini.
Apa maksud dari pemaparan pada slide Kedua itu. Apalagi di media secara luas Moeldoko juga pernah dikutip menyatakan Pilpres sebagai “Perang Total.” Apakah hal itu ada kaitannya?
Jika dibiarkan tanpa penjelasan yang masuk akal, akan semakin menggerus kepercayaan publik tehadap pemerintah dan membahayakan legitimasi Jokowi seandainya dia tetap dimenangkan MK.
Mudah-mudahan tidak muncul jawaban yang sedang menjadi trend, “salah input” dari operator.
Kedua, kapitalisasi semua kebijakan inkumben. Dalam batas-batas tertentu secara positif hal ini bisa dibenarkan. Disitulah keuntungan seorang inkumben.
Dalam marketing politik praktik semacam ini disebut sebagai permanent campaign. Seorang inkumben memanfaatkan semua kebijakan dan sumber daya dalam pemerintahan untuk tetap mempertahankan citranya.
Tujuannya adalah tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah ( presidential approval rating ).
Yang jadi masalah bila yang dimaksud kapitalisasi kebijakan inkumben adalah penyalahgunaan anggaran pemerintah. Penggelontoran dana bansos besar-besaran, penyaluran dana desa, penyaluran dana-dana CSR dari BUMN yang tidak sesuai aturan dan berbagai kebijakan lain dengan target untuk memenangkan inkumben.
Sangat mudah membedakan apakah kapitalisasi kebijakan pemerintah yang dimaksud dalam konotasi positif, atau dengan tujuan melakukan “kecurangan.”
Dalam cara yang positif pemerintah membuat program kerja yang benar-benar berorientasi pada kebijakan mensejahterakan rakyat. Dilakukan secara terencana sepanjang lima tahun.
Sementara dengan tujuan melakukan “kecurangan,” program dan kebijakan itu dilakukan hanya menjelang pelaksanaan pilpres. Misalnya selama empat tahun gaji PNS, TNI dan Polri tidak pernah naik. Tiba-tiba menjelang pilpres, gaji dinaikkan.
Ketiga, penggunaan aparat untuk kemenangan. Untuk poin ini tidak perlu diskusi panjang lebar, jelas merupakan kecurangan. Abuse of power. Hal ini bila bisa dibuktikan di persidangan akan menjadi dasar majelis MK memutuskan telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).
Anas menyebut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang menjadi salah satu pemateri dengan tegas menyatakan, “secara statistik, kalau mau memenangkan paslon 01, aparat harus tidak netral. Kalau aparat netral untuk apa.”
Dalam pelatihan selama dua hari, dua malam itu dijelaskan bahwa untuk memenangkan paslon 01 di Sumatera, maka para kepala daerah harus dilibatkan dengan dukungan logistik, sampai lurah dan para petugas KPPS.
Keempat, mendorong swing voter menjadi golput. Poin keempat ini kendati tidak bisa disebut sebagai pelanggaran, namun menunjukkan sebuah ironi.
Untuk menang inkumben menggunakan segala cara : halal, haram, hantam (3H), termasuk yang makruh dan mubah.
Secara netral langkah timses paslon 01 itu sebenarnya bisa dipahami. Swing voter atau pemilih mengambang, biasanya tidak akan memilih inkumben.
Kalau toh mereka akhirnya memutuskan untuk memilih, kecenderungannya akan memilih lawan inkumben dalam hal ini paslon 02. Jadi agar tidak berisiko, pilihan paling aman bagi TKN adalah mendorong mereka golput.
Yang menjadi ironi tingkat partisipasi peserta pemilu adalah satu satu keberhasilan pemerintah, di luar KPU. Ketika inkumben yang juga kontestan justru mendorong pemilih untuk golput, jelas sangat menyedihkan.
Tak ada satu pun dalam pemerintahan demokrasi ( yang benar) di dunia ini yang mendorong rakyatnya untuk golput. Fenomena ini bisa kita masukkan dalam catatan “believe it, or not.” Aneh tapi nyata.
Kelima, menyebar isu kelompok Islam radikal dan khilafah. Materi ini menurut Anas disampaikan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Dari penjelasan Anas kita jadi paham bahwa isu Islam radikal dan soal khilafah adalah hantu yang sengaja diciptakan dan disebarkan, untuk mendiskreditkan paslon 02.
Ini adalah politik pecah belah, adu domba menggunakan isu agama. Wajar bila kemudian sentimen berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan meningkat, karena itu adalah bagian dari strategi. Jadi paham khan?
Menyaksikan jalan persidangan di MK, menyimak keterangan para saksi, publik jadi lebih paham bagaimana kualitas demokrasi Indonesia. Bagaimana seorang penguasa menggunakan berbagai cara agar dapat tetap mempertahankan kekuasaan.
Dalam situasi semacam ini kita jadi teringat ucapan Presiden AS (1809-1865) Abraham Lincoln : You can fool all the people some of the time and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time.
Anda bisa membohongi semua orang beberapa waktu. Anda dapat membohongi beberapa orang sepanjang waktu. Tapi Anda tidak akan bisa membohongi semua orang sepanjang waktu.
Orang Jawa punya ungkapan pendek soal ini ”Gusti Allah Mboten Sare”. end.
Penulis: Hersubeno Arief