[PORTAL-ISLAM.ID] Anies Baswedan memang beda. Dia pernah salah pilih “habitat” 5 tahun yang lalu. Anies yang mengatakan “orang baik akan berkumpul dengan orang baik”. Pernyataan Anies lainnya “pendukung mencerminkan yang didukung”. Apa yang dikatakan Anies benar, hanya saja saat itu Anies berada di tempat yang salah.
Namun seleksi alam tetap bekerja, waktulah yang menentukan kapan seseorang akan tersaring masuk, atau tersaring keluar. Dan saat itupun tibalah bagi Anies, Juli 2016 dia terpental dari Kabinet, sebelum genap 2 tahun dia geluti.
Tak butuh waktu lama bagi Sandiaga Uno untuk membiarkan orang secerdas Anies tidak dimanfaatkan kompetensinya agar berkontribusi bagi negeri ini.
Pun juga bagi Prabowo Subianto, sosok negarawan yang pada 2014 pernah disindir tajam oleh Anies ketika dia masih menjadi juru bicara capres Jokowi, rival Prabowo. September 2016, Prabowo yang tak pernah punya dendam kesumat, tak punya rasa permusuhan politik, dipikirannya dan hatinya hanya ada “apa yang terbaik untuk negeri ini”, tak ragu sedikitpun ia merelakan partainya dipakai sebagai kendaraan untuk mengusung Anies Baswedan sebagai cagub DKI. Sama seperti 2012 lalu ketika Prabowo mempersilakan Jokowi maju ke DKI-1 memakai kendaraan Gerindra. Bahkan Sandi yang kader Gerindra pun rela mengalah di posisi cawagub.
Tanpa mahar, Anies didorong meraih kursi DKI-1. Awalnya banyak yang skeptis bahkan apatis melihat langkah “gambling” Prabowo. Banyak ‘Prabowoers’ yang belum bisa menghilangkan rasa sakit hati pada Anies, meragukan kesetiaan dan komitmen Anies pada Prabowo dan partai pengusungnya. Apalagi awalnya hanya berdua dengan PKS, all out meyakinkan warga Jakarta bahwa mereka butuh pemimpin baru yang berbeda sama sekali dengan yang saat itu memimpin. Yang sanggup membuat Jakarta lebih maju kotanya dan lebih bahagia warganya.
Tak sia-sia perjuangan berat itu, karena di putaran pertama Anies – Sandi hanya ketinggalan 2% suara dari Ahok – Djarot sang petahana. Di putaran kedua ada tambahan partai yang ikut mendukung : PAN. Alhamdulillah, putaran kedua kemenangan telak dikantongi Anies – Sandi. Bahkan suara Ahok di putaran pertama sama sekali tak bertambah di putaran kedua.
Namun rupanya petahana saat itu tidak ikhlas melepas kursi DKI ke tangan Anies dan Sandi. Taktik yang dipakai adalah dengan “MENGUNCI APBD DKI” sedemikian rupa, sehingga tak tersedia alternatif ruang fiskal bagi Anies dan Sandi untuk mewujudkan program-program kerja mereka. Tentu harapannya agar Anies dan Sandi dianggap “gagal”, warga DKI kecewa, lalu merindukan kepemimpinan Ahok – Djarot.
Tapi bukan Anies dan Sandi kalau langsung menyerah hanya karena APBD dikunci. Mereka wujudkan dulu janji kampanye yang tak butuh anggaran ekstra. Menutup Alexis (tidak memperpanjang ijinnya) dan menghentikan reklamasi Teluk Jakarta, adalah point penting janji Anies – Sandi yang diwujudkan dalam waktu hanya beberapa bulan setelah dilantik.
Lalu, mulailah berbenah kota, mendandani DKI menjadi lebih cantik, terutama pedestriannya, agar lebih ramah bagi pejalan kaki dan penampilannya mirip di negara maju. Ruang-ruang terbuka bagi publik untuk berinteraksi juga dipercantik. Bahkan halte busway pun dipercantik dan dilengkapi dengan tempat sholat. Daerah yang dulu digusur Ahok dengan tidak manusiawi, di tangan Anies ditata dan diberikan kembali tempat untuk hidup layak.
*****
Ini lebaran kedua sejak Anies dilantik pada 15 Oktober 2017. Lebaran pertama Anies jadi Gubernur, Juni 2018, masih belum banyak yang bisa dilakukan Anies, sebab terkendala APBD yang “dikunci”. Tapi lebaran tahun ini Anies bisa leluasa mewujudkan ide-idenya. Pemanfaatan APBD sudah sepenuhnya di tangan Anies.
Ada 2 pihak yang di”angkat” oleh Anies : kaum pendatang dan warga Jakarta asli.
Semua orang tahu, DKI sebagai ibukota negara sudah lama jadi kota tujuan kaum urban dari berbagai daerah. Sebagian besar penduduk Jakarta atau mereka yang mengais rejeki di Jakarta, bergantung pada kaum pendatang yang umumnya warga kelas menengah atau menengah bawah. Tanpa kehadiran mereka, siapa yang akan menyediakan makanan dan minuman bagi puluhan ribu karyawan yang sehari-hari bekerja di kawasan bisnis Jakarta?! Banyak sektor informal yang digeluti kaum pendatang. Tak ubahnya dengan “orang kantoran” yang setiap hari hilir mudik dari Bodetabek untuk bekerja di pusat-pusat bisnis Jakarta, kaum pendatang itu urusannya ke Jakarta juga numpang cari makan. Cuma beda status saja, beda ID card, beda pula penghasilannya.
Di tangan Anies, APBD DKI dikembalikan untuk kemaslahatan warga DKI. Lewat moment lebaran Anies menggelar program “Mudik Bersama Gratis” ke 10 kota tujuan. Mudik pertama kali yang sepenuhnya dibiayai dengan APBD DKI, tanpa bantuan pihak sponsor. Belasan ribu kaum pendatang yang sehari-hari bekerja di DKI, bisa pulang bersama keluarga dengan aman, nyaman dan jelas lebih bahagia. Dalam sambutannya Anies berpesan agar warga sejenak meletakkan gadgetnya, memanfaatkan waktu dalam perjalanan untuk ngobrol dan silaturahmi dengan sesama warga sedaerah asal. Inilah bagian dari slogan kampanye : BAHAGIA WARGANYA.
Inilah ketupat lebaran pertama dari Anies Baswedan.
Ketupat lebaran kedua : Anies MENOLAK untuk melakukan operasi yustisi terhadap para pendatang dari luar DKI ketika arus balik pasca libur lebaran. Alasannya : kita harus ADIL, kalau kita membuka pintu selebar-lebarnya bagi orang luar Jakarta untuk mencari kerja bahkan berebut jabatan strategis di Jakarta, kenapa kita harus bersikap DISKRIMINATIF terhadap kaum pendatang?!
Yes, makjleb!!
Ini adalah perubahan paradigma berpikir, PERUBAHAN MINDSET pemimpin DKI dalam memandang kaum pendatang. Ini yang TIDAK PERNAH digagas oleh gubernur sebelum Anies.
Anies mencontohkan Jokowi sebagai seorang pendatang yang sukses mengadu nasib di Jakarta. Banyak profesi “berkelas” lainnya yang menghasilkan uang puluhan juta bahkan milyaran, terbuka bagi orang luar Jakarta. Ada pengacara, artis, dokter, arsitek, bahkan politisi karbitan. Jakarta welcome untuk mereka.
Lalu kenapa harus menutup pintu bagi “kelas” dibawahnya?!
Lewat tekadnya untuk tidak menggelar operasi yustisi, Anies menghapuskan diskriminasi kelas sosial bagi kaum pendatang. Anies mencontohkan bahwa sebagai pemimpin harus mampu berlaku ADIL BAGI SEMUA. Jakarta untuk semua.
Terakhir, Anies memuliakan warga Jakarta asli. Mereka yang sudah tinggal di Jakarta sejak lahir hingga dewasa, menikah dan punya anak-anak di Jakarta. Mereka tak punya kampung halaman untuk mudik. Lihatlah ketika H-2 dan H-1 lebaran, komplek-komplek perumahan sepi ditinggal penghuninya, perkampungan pun tinggal sebagian saja, yaitu mereka yang warga asli, yang memang tak akan mudik kemana-mana.
Bagi mereka, Anies membebaskan warga Jakarta untuk melanjutkan tradisi yang sudah berjalan sejak berpuluh tahun lalu : TAKBIR KELILING!
Apa lagi kebahagiaan sederhana di malam lebaran bagi orang yang tidak mudik? Anak-anak senang, orang tua bahagia. Kenapa pula harus dilarang?!
Kalau alasannya keselamatan, bukankah justru faktor keselamatan dan keamananlah yang harus dicari solusinya.
Dulu, orang punya rumah bertingkat, kesulitan membersihkan kaca jendelanya, karena takut jatuh kalau membersihkan cuma pakai tangga biasa. Lalu, apakah orang dilarang membuat bangunan bertingkat?! Sekarang, gedung bertingkat 50 pun bisa dibersihkan kacanya, dengan menyediakan sarana yang mendukung keselamatan dan keamanan.
Itulah yang dilakukan Anies : mengawal takbir keliling warga Jakarta.
Alhasil : semua berjalan lancar, baik-baik saja, aman dan yang penting : BAHAGIA WARGANYA!!
Anies membangun Jakarta dengan paradigma PERCAYA bahwa pada dasarnya warga itu baik, jika diajak baik. Buktinya, Aksi Super Damai 212 sama sekali tak meimbulkan kerusakan fasilitas umum, tak menyisakan sampah berserakan dan tak menimbulkan bau pesing karena orang kencing sembarangan.
Warga DKI pun bisa diajak memelihara kotanya, tanpa harus terlalu banyak dilarang dan dibatasi.
Sebab, untuk apa membangun Jakarta kalau warganya sendiri tidak bisa jadi TUAN RUMAH di kotanya sendiri, bahkan di hari lebaran saat para pendatang pulang kampung pun, mereka masih tak diijinkan meluapkan kegembiraannya menyambut lebaran di Jakarta.
Di tangan Anies, takbir keliling yang menyenangkan kembali bergema.
*****
Itu baru 1 Anies, yang jadi “gubernur Indonesia”.
Bayangkan kalau negeri ini dipimpin oleh sosok pemimpin yang seperti itu. Yang tidak menjawab kritik dengan ancaman penjara, tetapi dengan kerja nyata.
Yang tidak peduli dibully, tak curhat dan berkeluh kesah karena bullying, tapi menunjukkan pada para pembullynya bahwa dia akan terus mewujudkan janji-janji kampanyenya.
Bayangkan…, kalau itu terjadi di Indonesia, di tangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Orang-orang yang merangkul dan tidak memukul. Orang-orang yang tidak memelihara dendam kesumat, tidak rajin curhat, tapi terus berpikir dan berbuat untuk menghadirkan maslahat.
Kalau Jakarta maju kotanya, bahagia warganya, insyaa Allah Indonesia akan ADIL dan MAKMUR bersama Prabowo – Sandi.
Penulis: Iramawati Oemar (Emak Militan)