[PORTAL-ISLAM.ID] Jika dalih globalisasi tidak bisa dibendung, Pemerintah harus siap dengan sistem sertifikasi profesi yang sangat ketat untuk kedua profesi tersebut. Plus, kemampuan penguasaan Bahasa Indonesia sekalipun mereka bekerja di sekolah atau rumah sakit bertaraf internasional.
Di Swedia saja, para individu yang ingin bekerja sebagai guru, mulai dari TK sampai level SMA, mau berkebangsaan Swedia atau Asing, harus punya background pendidikan, gelar dan sertifikat guru yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan/universitas di Swedia. Plus, kemampuan bahasa lokalnya.
Buat para pendatang asing di Swedia, yang pernah bekerja sebagai guru di Tanah Airnya, tidak bisa serta merta menjadi guru. Ada serangkaian proses tes dan pendidikan yang harus diikuti. Ini sangat bagus untuk status kepegawaian yang berimbas pada pendapatan. Dan, yang terutama adalah kualitas pengajaran dan pendidikan yang akan diterima dan diresap si murid kelak. Ada pemahaman kesamaan visi dan misi sesuai standar pendidikan di Swedia.
Jika tidak punya pengalaman guru, ada serangkaian proses pendidikan, bahkan bila perlu menjalani pendidikan guru seperti kuliah kembali level Sarjana Strata 1 Pendidikan di Universitas.
Sekalipun punya gelar S1 non kependidikan guru dari Tanah Air, setelah melakukan validasi kalau kualitas Sarjana itu setara dengan kualitas Sarjana di Swedia dan Eropa, dapat mengikuti program khusus yang disiapkan Pemerintah untuk menjadi guru.
Bagaimana dengan dokter? Atau berbagai profesi yang berhubungan dengan nyawa.
Proses tes untuk dapat menjalankan profesi tersebut di Swedia itu sangat ketat. Hal itu berlaku untuk orang lokal atau asing.
Nah, sekarang, kuncinya Pemerintah siap atau tidak, mau atau tidak mau melakukan hal tersebut?
Ironisnya, di saat banyak tenaga honorer guru yang masih ‘memohon’ kejelasan statusnya, pintu untuk asing selalu dibuka lebih lebar. Di saat para dokter lokal yg masih berjibaku dengan kebijakan melayani pasien di tengah hiruk pikuk BPJS, para dokter asing akan dipersilahkan masuk.
Bukankah kebijakan yang ‘mendukung globalisasi’ ini bisa ditunda ‘sejenak’?
Saya tidak anti pendatang asing, toh..saya pun pendatang asing di negeri orang.
Namun, saya melihat, jika sebuah NEGARA MENGUTAMAKAN TERLEBIH DAHULU WARGA NEGARANYA, bahkan WARGA NEGARANYA MENDAPATKAN HAK LEBIH BANYAK daripada WARGA NEGARA ASING, ya.. WAJAR SAJA. Saya ‘CUKUP TAHU DIRI’ biarpun saya punya kewajiban sama dengan warga negara lokal, yakni sama-sama bayar pajak yang tinggi.
Sangat Wajar jika Tuan Rumah punya Aturan Berkunjung Buat Tamu Yang Harus Dipatuhi oleh Tamu. Terbuka Karena Ingin Terlihat Negara Yang Ramah Tamah Di Era Terbuka Tanpa Batas Pagar, Bukan Berarti Membiarkan Tamu Seenaknya Di Rumah Kita.
Tahu diri sebagai tamu di negeri orang yang mengikuti aturan tuan rumah yang punya rumah. Take it or Leave it.
Penulis: Tutut Handayani