[PORTAL-ISLAM.ID] Apalah jadinya Indonesia saat ini, jika tidak ada mosi diajukan oleh ulama kharismatik sekaligus Ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Mohammad Natsir. Kondisi ini semakin diperparah, ketika itu, Indonesia baru saja usai meladeni Belanda dalam peperangan Kemerdekaan selama empat tahun, 1945 hingga perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, di Den Haag, Belanda, justru merugikan.
Isi perjanjian KMB tersebut, berlangsung dari 23 Agustus-2 November 1949 menghasilkan empat hal. Antara lain, (1) Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat (RIS) setuju membentuk Uni yang longgar antara Negeri Belanda dan RIS dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis, (2) Sukarno dan Mohammad Hatta akan menjabat Presiden dan Wakil Presiden, dan antara 1949-1950, Hatta akan merangkap menjadi Perdana Menteri RIS.
Butir berikutnya, (3) Belanda masih akan mempertahankan Irian Barat, sekarang Papua, dan tidak ikut dalam RIS hingga ada perundingan lebih lanjut dan terakhir (4) Pemerintah RIS harus menanggung hutang pemerintah Hindia-Belanda sebesar 4,3 miliar Gulden akibat pertempuran selama 1945-1949.
Jelas dengan butir-butir perjanjian tersebut membuat Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 1945, diambang kehancuran dan kepunahan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi bagian dari RIS, bersama dengan BFO bentukan Belanda juga dengan pimpinan Sultan Hamid II, dari Pontianak, Kalimantan Barat.
Bung Hatta, ketika itu menjadi Perdana Menteri (PM) RIS dan Bung Karno, Presiden RIS, hanya bisa membiarkan saja kondisi tersebut. Namun, hal ini tak bisa dibiarkan begitu saja oleh Mohammad Natsir, akrab disapa dengan panggilan Buya Natsir serta H Agus Salim.
Keduanya menolak masuk dalam Kabinet RIS dengan Perdana Menterinya Bung Hatta dan Presiden Bung Karno. Mulailah penolakan akan hasil KMB itu bergejolak di daerah-daerah. Pada 4 Januari 1950, DPRD Malang di Negara Bagian Jawa Timur mencetuskan resolusi melepaskan diri dari Negara Jawa Timur, memlih bergabung dengan Negara Republik Indonesia di Yogyakarta.
Kemudian disusul DPRD Kabupaten Sukabumi dari Negara Bagian Pasundan, juga mengeluarkan resolusi yang sama, keluar dari Negara Pasundan dan bergabung ke Negara RI, pada 30 Januari 1950. Selain dua resolusi itu, di banyak daerah telah muncul suara-suara bergabung dengan Negara RI. Malah di Negara Bagian Sumatera Timur, demonstrasi besar menolak RIS menyebabkan polisi harus bertindak menertibkan demo.
Tak ayal, melihat gejolak seperti itu, Buya Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi di DPR-RIS mengambil inisiatif. Ia bertukar pikiran dengan para ketua fraksi guna mengetahui apa yang hidup di parlemen. Ia menjalin komunikasi dengan pemimpin fraksi sangat kiri, Ir Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sangat kanan dengan Sahetapy Engel wakil dari BFO.
Selain itu, Buya Natsir juga diberi tugas oleh Bung Hatta, sebagai Perdana Menteri RIS, bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX, untuk melakukan lobi-lobi guna menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir.
Kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, Republik Indonesia, bagian dari RIS, asal jangan disuruh bubar sendiri.
Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata ”Mosi Integral” dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.
Hasilnya, Buya Natsir menyimpulkan, para pemimpin Negara Bagian RIS menolak gagasan pembubaran negara-negara Bagian tersebut. Sedangkan para pemimpin Republik Indonesia di Yogyakarta ingin kembali ke negara kesatuan sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kepada para pemimpin RI di Yogya, Buya mengatakan, kita punya program, yakni program mempersatukan kembali Indonesia. Dua cara mencapai tujuan itu, pertama, kita perangi semua negara bagian hingga mereka kalah dan kemudian menjadi satu. Atau, kedua, kita tidak perlu berperang. Kita ajak mereka membubarkan diri dengan maksud untuk bersatu. “Kita, Negara RI di Yogya punya Dwitunggal Sukarno-Hatta. Negara Bagian lain, tidak,” kata Natsir, dalam pidatonya di depan anggota Parlemen RIS.
Pidato itu kemudian dikenal dengan Mosi Integral Natsir. Selanjutnya Natsir berkata: "Dalam sejarah jangan kita lupakan faktor pribadi. Mutu pribadi orang itu menunjukkan ‘siapa itu’ Sukarno-Hatta. Tidak akan ada yang bisa mengatakan ‘tidak’ kalau kita majukan Sukarno-Hatta untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Sedangkan kita, diam sajalah. Kalau diperlukan, ya, dipakai; dan kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Pokoknya tidak ada satu pun dari negara-negara bagian itu yang akan menolak Sukarno-Hatta. Di sinilah fungsi Sukarno-Hatta untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali."
Dengan pendekatan sangat arif itu, Mosi Integral Natsir diterima secara aklamasi oleh Parlemen RIS. Perdana Menteri Hatta menyambut baik Mosi Buya Natsir ini dan menegaskan akan menggunakannya sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan-persoalan dihadapi. Mosi ini telah menjadi jalan paling elegan kembali ke NKRI.
Dalam Mosi Integral Natsir itu minimal ada dua masalah pokok terkandung. Pertama, kritik keras terhadap pemerintah yang bersikap defensif, sepertinya membiarkan rakyat mencari penyelesaian sendiri tanpa bimbingan atas masalah-masalah dihadapi.
Kedua, perlunya penyelesaian “integral” atas masalah-masalah serius yang sedang menimpa bangsa Indonesia pada saat itu. Natsir mengkritik pemerintah karena setelah KMB menyepakati perubahan bentuk negara kesatuan menjadi negara federal sebagai syarat pengakuan kemerdekaan oleh Belanda.
Ternyata pemerintah bersikap pasif atau defensif. Padahal, akibat KMB itu di daerah-daerah timbul pergolakan yang ditandai dengan banyak demonstrasi dan resolusi untuk merombak segala apa yang dirasakan rakyat sebagai restan-restan dari struktur kolonial.
Sayang, kata Natsir, (saat itu) pemerintah hanya mengatakan “terserah rakyat” karena Indonesia adalah negara demokrasi. Natsir geram dengan sikap pemerintah itu karena dengan pernyataan “terserah rakyat” sama halnya dengan membiarkan terjadinya konflik di antara rakyat sendiri. Kata Natsir, sikap seperti itu justru menunjukkan pemerintah hanya ingin mencari selamat dan tidak bertanggung jawab.
Oleh sebab itu, melalui mosinya yang sangat monumental tersebut Natsir mengusulkan agar ada penyelesaian menyeluruh sebelum negara hancur. Natsir mempersoalkan sikap defensif pemerintah yang selalu berlindung di bawah pernyataan “terserah kepada kehendak rakyat” itu.
Dia bertanya, “apakah menyerahkan kepada rakyat itu berarti mengadu tenaga rakyat di daerah, untuk memperjuangkan kehendak rakyat masing-masing dengan segala akibat dan ekses-eksesnya? Habis itu lantas kita mengonstatasi dan melegalisasi hasil dari pergolakan itu?”
Tanpa harus dikaitkan dengan bentuk negara kesatuan, Mosi Integral Natsir tersebut masih sangat relevan untuk dijadikan landasan membangun persatuan kita sebagai bangsa. Memang, saat ini tantangan utama kita bukanlah adanya gejala kuat tentang federalisme seperti yang pernah digalang van Mook yang kemudian melahirkan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada 17 Agustus 1950, bersamaan dengan perayaan hari ulang tahun kelima Proklamasi Kemerdekaan, Presiden Sukarno mengumumkan lahirnya NKRI. Ilmuwan politik, Dr. Mohammad Noer, dalam sebuah seminar di Padang pada pertengahan 2007 menyatakan, sesungguhnya Indonesia memiliki dua buah proklamasi.
Pertama, Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945; kedua, Proklamasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950. Dua proklamasi itu proklamatornya sama, Sukarno dan Mohammad Hatta.
Jika pada proklamasi pertama, Sukarno-Hatta menyatakan dirinya atas nama bangsa Indonesia, maka pada proklamasi kedua, Sukarno adalah Presiden RIS, dan Hatta adalah Perdana Menteri RIS. Akan tetapi, menurut Noer, lebih penting adalah perbedaan makna dan sejarah dari kedua proklamasi itu sendiri.
Proklamasi 1945 adalah pernyataan bahwa penjajahan kolonial terhadap bangsa Indonesia telah berakhir dan bangsa ini menyatakan kemerdekaannya. Proklamasi 1950 adalah proklamasi berdirinya NKRI adalah pernyataan pembubaran 16 Negara Bagian tergabung dalam RIS, termasuk Negara Republik Indonesia Yogyakarta (diproklamasikan 17 Agustus 1945) dan meleburkan diri ke dalam sebuah negara baru bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Siapa saja yang jujur dalam membaca sejarah, pasti mengakui pemikiran jernih dan kerja cerdas Natsir yang telah berhasil memulihkan NKRI secara damai, tanpa satu peluru pun yang ditembakkan, tanpa setetes darah pun yang ditumpahkan, dan tanpa segolongan atau seorang pun yang dipermalukan.
Tugas kita sekarang, bukan saja menghargai Mohammad Natsir sesuai dengan jasa besarnya terhadap Indonesia, juga menjaga tetap utuhnya NKRI, dan menghempang segenap potensi disintegrasi bangsa. Mosi Integral Natsir dapat disebut juga sebagai prestasi terbaik parlemen Indonesia yang para anggota parlemen masa kini jangan-jangan sudah tidak mengingatnya lagi.
Naskah Mosi Integral Natsir tersebut sebenarnya sama sekali tidak memuat ajakan untuk kembali ke negara kesatuan. Bahkan, dalam pidatonya Natsir berkali-kali menegaskan bahwa mosinya tidak berhubungan dengan kontroversi tentang negara kesatuan dan negara federal.
Natsir menegaskan, pihaknya “menjauhkan diri dari pembicaraan soal unitarisme dan federalisme.” Sebenarnya yang diperjuangkan Natsir melalui mosinya itu adalah “persatuan bangsa,” bukan “negara kesatuan.” Persatuan (integration) menyangkut sikap (kejiwaan) setiap warga negara untuk merasa terikat dalam satu ikatan sebagai satu bangsa, sedangkan negara kesatuan (unitarisme) adalah konsep struktur ketatanegaraan yang biasanya dibedakan dengan negara serikat (federalisme).
Persatuan bisa ada dan tumbuh kuat baik di dalam negara kesatuan maupun di dalam negara federal. Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia adalah negara federal yang persatuannya sangat kukuh; sebaliknya Inggris dan Filipina adalah negara kesatuan, tetapi persatuannya tidak sekukuh Amerika karena masih sering diganggu oleh perpecahan akibat gerakan separatis. (RiauOnline)