[PORTAL-ISLAM.ID] Di negara-negara demokrasi yang beradab, rasa tanggung jawab setiap politisi dan pejabat publik sangat tinggi. Sedikit saja ada masalah, semua orang cepat-cepat maju ke depan dan mengumumkan pengunduran diri. Mulai dari perdana menteri sampai ke pejabat yang terendah seperti kepala sekolah, dll.
Mereka lakukan itu untuk menunjukkan tanggung jawab. Untuk menunjukkan rasa bersalah atau rasa tidak kompeten.
Begitulah demokrasi beradab. Demokrasi yang dewasa. Para politisi dan pejabat publik sangat sensitif terhadap kejadian-kejadian yang menyangkut gangguan atas kenyamanan masyarakat.
Terkadang terasa lucu. Misalnya, seorang pejabat publik bisa mundur gara-gara masalah kecil seperti troatoar yang rusak atau makanan pasien rumah sakit yang ditemukan tidak lagi bagus alias mulai basi.
Rasa bertanggung jawab model pengunduran diri itu berasal dari ‘syaraf malu’. Mereka malu karena merasa tidak mampu melaksanakan kewajiban publik.
Bagaimana dengan tanggung jawab publik di Indonesia yang kita cintai ini? Apa sebab orang-orang yang memegang jabatan publik tidak terdorong untuk mundur dan mengaku salah setelah terjadi malapetaka besar yang berada di bawah tanggung jawab mereka?
Sebagai contoh, begitu banyak yang meninggal dunia (hampir 700 orang) dalam penyelenggaraan pemilu 2019, ketua KPU Arif Budiman merasa tetap nyaman duduk sebagai pejabat publik. Padahal, dari mana pun orang melihat malapetaka pemilu ini, Arif seharusnya resah dan gelisah.
Ternyata, jangankan menunjukkan keresahan dan kegelisahan, Arif malah bisa tersenyum lebar setelah mempercepat pengumuman hasil pilpres 2019. Dia tak terlihat punya beban moral sedikit pun. Cukup dia usulkan santunan sekian puluh juta untuk keluarga korban. Dia anggap malapetaka yang memalukan dan memilukan itu, selesai.
Sekali lagi, mengapa bisa begitu?
Saya coba berkontemplasi, merenung. Salah satu yang terpikirkan ialah bahwa Arif kemungkinan merasa jabatan publik yang dia duduki itu diperolehnya melalui perjuangan yang berat. Jadi, kenapa harus dilepas dengan cara mengundurkan diri? Yang kedua, kemungkinan Arif Budiman merasa sangat enak karena dia berteman dengan orang-orang besar berkat jabatannya itu. Yang ketiga, mungkin juga Arif telah merasakan banyak rezeki yang bisa diperoleh melalui jabatan ketua KPU itu.
Kenapa bisa banyak rezeki dari jabatan ketua KPU? Begini, bung! KPU itu adalah penyelenggara pemilu. Artinya, KPU adalah tempat wajib mampir bagi orang-orang yang ingin menjadi politisi alias anggota DPR atau DPRD. Nah, Arif dan para komisionernya serta orang-orang KPU provinsi serta kabupaten memiliki wewenang untuk memutuskan siapa-siapa yang dinyatakan terpilih.
Banyak yang mampir tentu banyak rezeki. Banyak tamu, banyak rezeki. Untuk DPRD-I dan DPRD-II, jumlah kursinya 19,817. Hampir dua-puluh ribu orang yang harus bertandang ke kantor-kantor KPU di seluruh Indonesia. Inilah rezeki yang melimpah-ruah.
Mungkin, itulah sebabnya ketua KPU, Arif Budiman, tidak tergerak untuk mengundurkan diri meskipun ada dua musibah besar yang terjadi, yaitu korban nyawa para petugas KPU; dan kedua, salah ‘input’ yang sangat memalukan.
Rezeki yang jauh lebih besar lagi adalah ketika KPU kedatangan tamu capres. Khususnya capres petahana. Siapa pun yang sedang petahana. Sebab, capres petahana kalau mampir ke KPU selalu membawa rombongan besar yang terdiri dari orang-orang besar. Orang-orang besar itu berteman dengan para pemilik duit besar. Kalau mereka ini datang, semua orang di KPU tersenyum besar.
Sayanglah kalau mundur walaupun ada masalah besar. Karena, dalam pikiran mereka, mundur sama dengan menolak rezeki. Meskipun publik sudah mau muntah. Peduli amat. Toh para pejabat publik lainnya juga tidak pernah meletakkan jabatan kalau ada hal yang memalukan.
Jadi, kalau Anda mengharapkan tanggung jawab pejabat publik di Indonesia seperti yang Anda lihat di negara-negara berdemokrasi bersih, tampaknya cuma ada di dalam mimpi. Jangan berhayal melihat seorang menteri membuat konprensi pers pengunduran diri.
Di sini, tanggung jawab itu diartikan bisa duduk sampai selesai masa jabatan meskipun langit akan runtuh.
Penulis: Asyari Usman