Firaun berkata: “Apakah kalian beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah guru besar yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sungguh aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian secara bersilang, dan sungguh aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sungguh kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.” (QS. 20/Thaha: 71)
Firaun adalah sosok politisi ulung. Ia sangat ahli dalam menggunakan dua senjata dalam memukul lawan-lawannya.
Pertama, merangkai analisa konspiratif untuk menuduh, mendiskreditkan dan mengkriminalisasi lawan-lawannya.
Kedua, menggunakan teror fisik untuk membungkam musuh-musuhnya. Dan kedua senjata ini dia praktekkan dengan sempurna dalam menghadapi Musa as dan para pengikutnya, diantaranya para ahli sihir yang beriman kepadanya.
Para ahli sihir melakukan hal yang lugu dan sederhana, bukan suatu tindakan konspiratif yang rumit. Mereka melihat bukti nyata kebenaran Musa as setelah ular hakiki yang terbentuk dari tongkat Musa as menelan habis ular khayalan mereka.
Spontan mereka sujud tanda beriman terhadap Allah yang memberi mukjizat terhadap Musa as. Sebab menurut kesimpulan para ahli sihir, apa yang terjadi bukan "sihir" lawan "sihir lebih kuat" tapi sihir lawan mukjizat dari Allah.
Nurani mereka menangkap tanda kebenaran Musa as, bahwa apa yang ditunjukkan Musa as tidak mungkin berasal dari jin sebagaimana teori ilmu sihir yang ada. Pasti ini dari Allah Tuhan Semesta Alam, Pencipta Langit dan Bumi, tuhan Musa dan tuhan seluruh manusia.
Tapi di mata Firaun, ini bukan tindakan sederhana. Ini adalah tindakan konspiratif, makar dan inkonstitusional dalam rangka menggulingkan kekuasaan.
Ayat merekam bagaimana Firaun menjabarkan peristiwa keimanan yang lugu dan sederhana ini dengan bahasa politik-konspiratif yang menghasilkan opini bahwa para ahli sihir adalah orang-orang jahat dan berbahaya sehingga layak dihukum maksimal.
Pertama, Firaun berpegang pada komitmen koalisi sebelum pertandingan dimulai. Para ahli sihir meminta jaminan upah jika menang, dan itu telah disetujui oleh Firaun. Berarti antara ahli sihir dengan Firaun terikat kontrak kerja yang tidak bisa dilanggar secara sepihak.
Tindakan sujud secara spontan sebagai tanda keberpihakan terhadap Musa as dijadikan pasal pelanggaran serius oleh Firaun karena bermakna pengkhianatan terhadap kewibawaan raja.
Menurut Firaun, seharusnya para ahli sihir membicarakan terlebih dahulu dengan dirinya sebelum memutuskan bersujud.
Firaun memang licin, ia bisa mencitrakan dirinya bijak, menghormati dan menjunjung tinggi nilai HAM yang memberikan jaminan kebebasan bagi umat manusia untuk memilih keyakinan. Pada saat yang sama ia bisa melempar tuduhan pelanggaran konstitusi terhadap para ahli sihir.
Firaun tak mempersoalkan pilihan iman para ahli sihir karena ia dijamin oleh HAM, tapi Firaun menggugat caranya yang melanggar hukum atau kesepakatan. Jadilah ini pasal pertama kesalahan para ahli sihir.
Perhatikan dengan seksama rekaman ayat tentang jalan pikiran Firaun. “Apakah kalian beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian?”. Maknanya, yang dipersoalkan oleh Firaun adalah izinnya, bukan imannya.
Meski hakekatnya ia marah terhadap imannya, tapi bahasa politik harus logis, dan yang paling mungkin adalah sisi izinnya, bukan sisi pilihan keyakinan yang bersifat privat dan dijamin HAM.
Bagi Firaun, kalau memang para ahli sihir jujur dengan komitmen yang telah mereka sepakati bersamanya, tentu mereka akan minta izin sebelum sujud dan menyatakan beriman terhadap Musa as.
Firaun mencoba berlagak bijak, sekiranya para ahli sihir membicarakannya baik-baik dengan Firaun sebelum sujud, tentu Firaun (mungkin saja) akan mengizinkannya.
Tapi ini hanya ungkapan “kalau” yang seandainya para ahli sihir melakukannya, tentu Firaun tak akan mengizinkannya. Ungkapan “kalau” hanya untuk mendiskreditkan sujud sepihak yang dilakukan para ahli sihir.
Kedua, bagi Firaun, kekalahan para ahli sihir hanyalah sandiwara, karena hekekatnya Musa as adalah guru besar sihir yang mengajarkan sihir kepada para ahli yang pura-pura kalah tersebut.
Tuduhan Firaun itu direkam ayat: “Sesungguhnya ia adalah guru besar yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian”. Walhasil, sujud dan berimannya para ahli sihir menurut Firaun juga hanya sandiwara, sebuah konspirasi rapi dalam rangka merongrong kekuasaan Firaun.
Lihatlah, betapa isi kepala Firaun hanya terisi teori konspirasi dan tuduhan makar. Ia sama sekali tak bisa memahami gejala iman. Ia buta terhadap fenomena kebenaran. Barulah kelak ketika ia megap-megap tenggelam di laut dan berada di ambang kematian, ia mau melihat dengan kacamata iman. Tapi sayang sudah kadung telat.
Ketiga, Firaun lantas menyimpulkan “pengkhianatan” dan “sandiwara kekalahan” tersebut sebagai makar yang telah disusun rapi sebelumnya antara Musa as dengan para ahli sihir. Tujuannya, untuk merebut kekuasaan dari tangan Firaun.
Al-Qur’an merekam tuduhan Firaun ini di ayat lain. ” Fir’aun berkata: “Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya (perbuatan ini) adalah suatu muslihat (makar) yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari padanya; maka kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini)” – (QS. 7/Al-A’raf: 123).
Keempat, setelah puas menuduh fenomena iman dengan makar dan konspirasi, Firaun beralih menggunakan senjata kedua, yakni teror fisik.
Firaun mengobral vonis instan tanpa majlis pengadilan karena ia adalah representasi lembaga peradilan itu sendiri. Ia raja absolut, apapun perkataannya bermakna hukum yang wajib dilaksanakan.
Ia menvonis para ahli sihir dengan vonis potong tangan dan kaki secara bersilangan, lalu menyalib jasad mereka di pohon kurma sampai mati.
Ayat merekamnya: “Maka sungguh aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang, dan sungguh aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma”. Firaun memamerkan sifat bengisnya. Kekuasaannya benar-benar dibangun dengan teror dan horor.
Kelima, Firaun tak lupa menyelipkan pesan kepada lawan-lawan politiknya, bahwa ia punya kemampuan untuk menghukum dengan sekejam-kejamnya kepada siapapun yang mencoba melawannya.
Ayat merekamnya: “sungguh kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya”. Pesan ini juga dimaksudkan menyindir Musa as yang membawa misi mengingatkan untuk takut kepada siksa Allah yang kekal di akhirat kelak. Firaun ingin mengatakan bahwa siksanya lebih kekal dan akan segera dibuktikan.
Keenam, boleh jadi apa yang dilakukan Firaun dengan menuduh fenomena keimanan sebagai makar dan pengkhianatan mencerminkan alam pikirannya yang hanya berisi teori konspirasi dan kalkulasi politik.
Hatinya tersumbat ambisi politik yang sampai pada tingkat paranoid, sehingga tak bisa melihat cahaya kebenaran yang hadir nyata di depan mata kepalanya sendiri. Tapi kemungkinan itu ditepis oleh Al-Qur’an.
Menurut Al-Qur’an, sejatinya hati kecil Firaun dan para pejabat anteknya melihat cahaya itu, tapi sikap arogan dan dendam menutupi cahaya tersebut.
Berikut rekaman Al-Qur’an: “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan kisah para pelaku kerusakan”. (QS. 27/an-naml: 14).
Dan memang begitulah rahasia hati para politisi. Lidah dan tindakannya bisa bertolak belakang dengan kebenaran, dan wajahnya tampak menikmati peran itu.
Padahal hati kecilnya yang paling dalam mengingkarinya. Sungguh kasihan para politisi seperti itu. Di dunia hidupnya tidak bahagia karena selalu mengkhianati nuraninya, di akhirat bakal disambut siksa yang lebih mengerikan.
Demikianlah Firaun, potret politisi tangguh yang sempurna: kejam, licik, arogan, zalim, pandai menciptakan tuduhan tapi selalu bisa membahasakan dirinya bertindak secara konstitusional.
Dan yang paling penting, ia bisa bersandiwara mengkhianati nuraninya dengan permainan peran yang sempurna. Sebuah seni politik yang dengan fasih ditiru para penerusnya sepanjang zaman, meski akan marah besar jika disebut sebagai sosok Firaun baru.
Semoga kita mampu meniru keberanian Musa as dan terhindar dari menjiplak perilaku Firaun meski tanpa sadar.
Maka para aktifis Islam tak boleh berkecil hati atau menjadi stress jika dikriminalisasi oleh kaum politisi. Ketahuilah, drama seperti itu sudah terjadi sejak zaman baheula.
Fokuslah dengan memperjuangkan dan mendakwahkan syariat Allah, jangan ambil pusing dengan kriminalisasi, tuduhan makar dan sebagainya.
Itu merupakan sunnatullah pertarungan antara al-haqq melawan kebatilan, yang tak akan berubah sepanjang zaman. Hasbunallah wa ni’mal wakil. Wallahu a’lam bis-shawab.
Penulis : @elhakimi
Sumber : Channel telegram.me/islamulia