Oleh: Imam Shamsi Ali
(Imam Masjid New York asal Sulsel)
Mungkin karena saya dalam perjalanan yang cukup jauh, sehingga pernyataan Prof. Mahfud MD tentang propinsi-propinsi yang memilih paslon tertentu dikategorikan sebagai propinsi-propinsi garis keras terlewatkan.
Ada beberapa propinsi yang disebutkan, antara lain, Jawa Barat, Aceh, Sumbar, Sul-Sel, dan beberapa lainnya.
Lalu dalam sebuah pernyataan lainnya beliau medefenisikan garis keras itu sebagai “posisi yang tidak fleksible dan tidak mengenal kompromise”. Beliau menyebutkan itu dalam bahasa Inggris terbata-bata: stand on issue which is inflexible and not subject to compromise.
Saya sangat menghormati pak Mahfud karena selain memang ahli dalam bidangnya, juga sangat sederhana, tidak neko-neko dan tidak memburu kepentingan pribadi.
Beliau menerima dengan lapang dada sebuah kenyataan politik pahit baru-baru ini. Dikecewakan oleh pencalonan cawapres, yang mungkin saja dalam bahasa saya sangat pahit dan kejam.
Tapi dalam hal ini saya menilai pernyataan beliau kurang mengena dan sekaligus kurang bijak. Bahkan pada tingkatan tertentu bisa berbahaya dan semakin memecah masyarakat bawah.
Pernyataan Prof. Mahfud MD ini menimbulkan banyak tanda tanya. Apa kriteria fleksibilitas? Apakah memilih paslon tertentu harus dilabeli dengan karakter tidak fleksible?
Lalu sebaliknya mereka yang memilih paslon lain itu dengan sendirinya “fleksible dan kompromise”? Apakah “fleksibilitas” itu diukur dengan memakai kacamata pilihan paslon?
Nampaknya dari pernyataan Prof. Mahfud itu jelas bahwa defenisi fleksibilitas ditentukan oleh pilihan paslon. Jika ini benar maka sungguh defenisi itu sangat tidak ilmiah.
Tuduhan kepada propinsi-propinsi pemilih Prabowo sebagai propinsi yang tidak fleksible juga kurang mengena. Jabar kita kenal memang kuat memegang tradisi agamanya. Tapi jangan lupa, di Jabar juga banyak kasus-kasus yang tidak relevan dengan agama.
Tapi yang lebih penting, dalam pilkada lalu Jabar memenangkan Kang Emil sebagai Gubenrurnya, yang dicalonkan justeru oleh Partai Nasdem, pendukung paslon 01.
Sul-Sel juga demikian. Memenangkan Prof. Nurdin Abdullah, yang justeru pengusung utamanya adalah Partai PDIP.
Menyebut Sumbar sebagai propinsi garis keras juga rasanya kurang pas. Saya tahu sebagai contoh, Ketua Muhammadiyah Sumber justeru mendukung secara terbuka paslon 01.
Jadi intinya saya kira menuduh propinsi tertentu sebagai “hardliners” (garis keras) berdasarkan pilihan politik, sangat kurang mengena sekaligus kurang ilmiah.
Berbahaya dan memecah
Yang paling berbahaya dari pernyataan Prof. Mahfud MD adalah kemungkinan dipahami secara negatif oleh sebagian masyarakat. Seolah mereka yang memilih Prabowo Sandi itu adalah kelompok garis keras.
Sebaliknya yang memilih Jokowi adalah mereka yang moderat, fleksibel, rasional, dan seterusnya.
Tanpa disengaja, pernyataan ini semakin memperdalam luka dan perpecahan di tengah masyarakat.
Bagaimana tidak? Perdebatan di dunia media sosial begitu memecah belah masyarakat dalam pilpres ini. Kini dengan pernyataan Mahfud MD itu semakin membuka perpecahan yang lebih luas.
Jika direspon secara ekstrim oleh pihak lain, anggaplah pemilih paslon 02, maka tuduhan hardliner kepada mereka akan menjustifikasi (membenarkan) jika pemilih paslon 01 adalah mereka yang “anti Islam” dan non Muslim.
Kemenangan Jokowi di NTT misalnya akan menjadi alasan bagi pendukung Prabowo untuk mengatakan bahwa Jokowi memang didukung oleh non Muslim. Dan Muslim yang mendukung akan dilihat oleh pendukung Prabowo sebagai “less keislamannya”.
Padahal tidak harus demikian. Karena sejatinya di kedua kubu ada pihak-pihak yang keras, kaku, tidak kompromi, terlepas dari agama maupun etnis.
Sebaliknya pada kedua kubu ada pihak-pihak yang santun, moderat, rasional dan kompromise dalam hal-hal yang menjadi kepentingan besar bersama.
Karenanya sekali lagi, saya menilai pernyatan pak Mahfud ini kurang bijak, kurang tepat, bahkan pada tingkatan tertentu berbahaya dan semakin memecah. Semoga tidak!
New York, 1 Mei 2019