[PORTAL-ISLAM.ID] Kecurangan itu nyata selama pertama, tak ada bantahan. Tentu, bantahan yang ber-bukti dan punya rasionalitas argumentasi. Kedua, tak ada kontra-bukti. Maksudnya, bukti lain yang berbeda dan melemahkan bukti yang ada. Ketiga, tak ada tersangka. Sebab, salah memberitakan, bahkan mengapresiasi berita, bisa jadi tersangka. Kasus Ratna Sarumpaet sudah terlanjur menelan korban.
Dalam kasus kecurangan pemilu 2019, tiga unsur itu tak ada. Setidaknya hingga saat ini. Artinya tak keliru jika publik meyakini bahwa sejumlah video dan foto yang selama ini beredar terkait dengan kecurangan adalah fakta dan nyata.
Mahfudz MD, seorang profesor hukum tata negara yang mencoba berusaha keras untuk menganulir pengaruh kecurangan terhadap hasil pemilu, tak begitu berhasil. Kalah dengan masifnya video-video yang beredar tentang kecurangan itu. Sebaliknya, mantan ketua MK ini malah terjebak dalam narasi “Islam Garis Keras”. Narasi Mahfudz menuai banyak kecaman, terutama dari masyarakat yang ia sebut sebagai “kaum garis keras”. Diantaranya Jawa Barat, Aceh, Sumatera Barat, Palembang, dan lain-lain.
Akibat narasi ini, Mahfudz dicap banyak pihak sebagai “juru bicara” KPU dan paslon 01. Pria asal Madura ini dikesankan publik telah mati-matian membela KPU dan 01. Tak terlalu serius menganggap adanya kecurangan yang sedemikian masif.
Fakta kecurangan seperti tak terbantah. Kalau itu hoak, pasti segera terklarifikasi. Karena, tak mungkin puluhan hingga ratusan juta rakyat Indonesia bersepakat terhadap adanya kecurangan jika tak ada bukti.
Kecurangan di pilpres kali ini tak wajar. Terjadi sebelum, saat dan pasca pencoblosan. Intimidasi lurah, pencoblosan sisa surat suara oleh KPPS, perampokan surat/kotak suara, itu sekedar sedikit contoh yang jadi tontonan di berbagai media sosial. Bukti-bukti video bisa diakses oleh siapa saja. Sulit dibantah oleh siapapun.
Akibat kecurangan yang dianggap melampaui batas wajar, maka rakyat yang diwakili oleh para tokoh dan para ulama merasa perlu secara serius untuk membahasnya. Ijtima’ Ulama 3 yang dihadiri 1000 (seribu) ulama dan tokoh masyarakat pada hari ini (1/5) di Sentul, jadi pilihan sarana untuk membahas masalah kecurangan pemilu ini. Terutama pilpres.
Itu tindakan makar! Membahayakan negara! Menganggu NKRI! Yang ngomong begitu pasti ngawur. Justru yang berbahaya itu “pihak yang melakukan dan membiarkan kecurangan”. Bukan orang yang membahas kecurangan.
Ada maling, lalu anda membahas maling itu. Kemudian anda dituduh melanggar hukum. Kan ngawur. Yang melanggar hukum itu si maling. Bukan pihak yang mendiskusikan bagaimana menangkap maling dan bagaimana cara mencegah agar tak kemalingan lagi. Kok malah dianggap melanggar hukum. Piye to…
Kecurangan pemilu itu tindak pidana kejahatan. Makanya, ada pasal dan hukumannya. Tapi kok gak ditindak? Disinilah para ulama kumpul. Membahas kenapa kecurangan terjadi. Apa bahayanya terhadap demokrasi. Kenapa tak ada tindakan hukum terhadap pelaku kecurangan. Kalau terus dibiarkan, bangsa ini akan kehilangan jati dirinya. Jati diri sebagai bangsa yang beragama, bermartabat, pancasilais dan taat konstitusi.
Ijtima’ Ulama 3 adalah sarana para tokoh-tokoh agama menjaga bangsa dari upaya pihak-pihak tertentu yang berniat merusak negara Pancasila ini. Merawat demokrasi agar berjalan sesuai konstitusi. Bukan makar!
Kalau keputusan Ijtima’ Ulama 3 adalah mengerahkan people power? Selama tidak anarki, maka dilindungi oleh undang-undang. Bukan makar. Yang makar itu kecurangan. Karena itu, perlu tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kecurangan. Jika kecurangan itu dilakukan secara sistemik dan melibatkan salah satu paslon, ya harus ditindak. Termasuk tindakan mendiskualifikasi paslon jika memenuhi persyaratan. Emang KPU berani?
Jangan khawatir, apalagi takut, terhadap Ijtima’ Ulama 3. Itu tindakan konstitusional. Dijamin undang-undang. Tujuan Ijtima’ Ulama 3?, Mendorong tegaknya hukum dan konstitusi. Khususnya terkait Kecurangan dalam pilpres. Hanya dengan hukum dan konstitusi inilah negara bisa tegak berdiri dan punya kekuatan untuk tetap mampu merawat demokrasi di masa depan. Caranya? Kita tunggu keputusan Ijtima’ Ulama 3 sore ini.
Jakarta, 1/5/2019
Penulis: Tony Rosyid