[PORTAL-ISLAM.ID] Harun dan Rama adalah bocah-bocah dari kalangan rakyat biasa yang mengikuti jalannya Pilpres 2019. Seusia mereka dapat dikatakan tidak memahami apa itu sistem politik dan demokrasi. Yang mereka tahu adalah Pilpres tidak boleh curang. Suatu pemahaman alamiah untuk seorang anak belia, bahwa permainan apapun tidak boleh curang. "Yang fair dong", atau "Jangan main curang ya" adalah kata-kata yang sering terlontar ketika bocah-bocah bermain sepakbola. Merupakan nilai-nilai kolektif yang sudah tertanam sejak menjadi bocah.
Inilah yang menjadi pendorong bagi Harun dan Rama, yang datang ke lokasi demonstrasi menentang hasil Pilpres di lokasi yang berbeda. Mengutip media Kumparan yang mewawancarai kawan korban Harun, bahwa mereka datang untuk mencari keadilan. Mereka percaya bahwa Pilpres telah berjalan penuh kecurangan.
Peristiwa ini seharusnya menampar wajah negara bolak balik. Manakala sistem demokrasi dijalankan dengan keangkuhan, arogan dan licik, itu sama saja saja dengan menghancurkan nilai-nilai kebaikan yang sudah tertanam dalam diri anak-anak penerus bangsa. Maka ketika Pemerintah mengajak orang agar percaya pada KPU dan MK, apakah rakyat begitu saja percaya? Sedangkan bocah-bocah saja sudah bisa merasakan ketidakadilan.
Bocah bernama Harun dan Rama, adalah potret bocah-bocah yang tumbuh dalam lingkungan di mana keadaan ekonomi dan sosial telah mengajarkan mereka arti demokrasi secara praktek. Mereka tidak baca teori-teori demokrasi, tetapi setiap hari mereka menyaksikan mobil-mobil mewah yang melewati jalan-jalan di sekitar rumah mereka di Petamburan dan Duri Kepa, sementara kehidupan orang tua mereka pas-pasan. Setiap hari mereka baca dan tonton berita kasus korupsi, yang seharusnya uang korupsi itu dapat digunakan untuk meringankan beban hidup mereka. Ya, mereka lahir dan dibesarkan di lingkungan yang memiliki alam bawah sadar kolektif "mengapa hidup ini tidak adil?".
Kasus-kasus korupsi hingga ratusan miliar, telah menjadi candaan, satire, pertanda bahwa rasa muak rakyat kecil sudah melampaui batasnya. Dalam suatu kesempatan mendengar candaan ini, seorang bocah berimajinasi kalau punya uang ratusan miliar maka dia akan sewa 10 tukang ojek pangkalan untuk bolak-balik kebut-kebutan dari pagi sampai sore. Bocah lainnya berimajinasi setiap tukang bakso yang lewat akan ditebalikkan, lalu penjualnya diganti Rp.10juta. Bocah lainnya akan tempelkan uang lembar Rp.100.000 sepanjang jalan gang rumahnya. Begitu dahsyat imajinasi bocah-bocah ini, karena mereka tahu bahwa punya uang ratusan miliar adalah mimpi. Atau barangkali pernah mencoba memimpikannya saat tidur tetapi selalu gagal.
Harun dan Rama telah pergi selama-lamanya. Meninggalkan keluarga dan teman-teman sepermainannya. Mereka menjadi korban, terbunuh di jalanan. Mereka mati bukan karena diperalat, tapi ditembak. Mereka datang bukan karena ikut-ikutan, tapi karena membenci permainan yang curang. Mereka berani bukan karena untuk gagah-gagahan, tapi karena mereka ingin perubahan agar punya harapan baru kehidupan orangtuanya juga berubah. Mereka bukan ingin menantang bedil, hanya ingin negara sedikit lebih adil. Mereka mati syahid, tak sempat lagi melihat infrastruktur harga selangit. Kematian tragis mereka adalah ironi suatu negara yang katanya siap masuk ke era industri 4.0.
Peristiwa 21-22 Mei ini yang disebut Vote by Feet. Ketika surat suara rakyat tidak lagi dihormati, maka kaki akan berbondong-bondong ke luar rumah, ingin menunjukkan jati daulatnya, melangkah menuju ke tempat-tempat di mana keadilan dapat ditegakkan. Maka ketika dalam perjalanan itu Harun dan Rama terbunuh, negara tak akan menitikkan air mata. Karena negara memang tak punya air mata, karena negara adalah sistem. Tetapi para manusia yang menjalankan sistem ini semestinya punya air mata seperti air mata para orang tua dan kawan-kawan Harun dan Rama.
Alfatihah untuk Harun dan Rama, beserta para syuhada lainnya. Semoga keluarganya diberikan kesabaran dan tawakal.
Penulis: Gde Siriana