[PORTAL-ISLAM.ID] Belakangan ini muncul framing yang dibangun oleh pemerintah beserta aparatusnya bahwa ajakan “people power” yang dimaksudkan untuk memprotes praktik kecurangan Pemilu 2019, yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengawal suara, menjaga demokrasi dan kedaulatan rakyat, dianggap sebagai makar.
Semua orang yang menggunakan kata “people power” tiba-tiba saja bisa dikriminalisasi aparat kepolisian, dituduh makar, ditangkap, dan diperlakukan sebagai pesakitan. Menurut saya, tindakan sewenang-wenang semacam itu harus dihentikan, karena berbahaya bagi demokrasi.
“People power” adalah bagian dari ekspresi demokrasi, tak ada kaitannya dengan makar. Dalam Oxford Dictionary, “people power” dengan jelas disebut sebagai bentuk tekanan politik melalui aksi massa untuk memenangkan pendapat umum.
Jadi, “people power” merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat yang di negara kita keberadaannya dijamin oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945.
Menghubungkan “people power” dengan makar saya kira adalah bentuk penyesatan, sekaligus bentuk pembungkaman terhadap masyarakat sipil.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), secara semantik makar berarti (1) akal busuk, tipu muslihat; (2) perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang dan sebagainya; atau (3) perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Dari tiga pengertian berdasarkan KBBI tersebut kita bisa membuat kesimpulan kalau makar pada dasarnya adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan dengan cara membunuh atau menyerang.
Jika merujuk kepada KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia, kata “makar” sebenarnya merupakan serapan atas kata “anslaag” dari bahasa Belanda. Di sini ada catatan penting. Penyerapan “anslaag” sebagai “makar” itu pun sebenarnya bermasalah. Sebab, seharusnya konsep “anslaag” diterjemahkan sebagai “penggulingkan pemerintah dengan kekerasan”.
Jadi, hanya upaya untuk menggulingkan pemerintah dengan kekerasan saja yang bisa dikenai pasal “anslaag”. Gerakan massa, sebesar apapun, jika tanpa kekerasan, dan tak dimaksudkan untuk menggulingkan kekuasaan, tak bisa dikenai pasal “anslaag”.
Masalahnya adalah karena kata “anslaag” diserap sebagai “makar” dalam bahasa Indonesia, maka pengertian “anslaag” dalam sistem hukum kita akhirnya jadi rancu, alias multitafsir. Itu sebabnya pasal makar jadi mudah sekali dijadikan pasal karet oleh penguasa. Padahal, konsepsi hukum pidana tak boleh diartikan lentur, tidak boleh dua arti. Harus penafsiran tunggal.
Di dalam KUHP sendiri ada berbagai jenis pasal makar. Beberapa di antaranya Pasal 104 KUHP tentang makar keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 106 KUHP makar wilayah negara, Pasal 107 KUHP makar pemerintahan, Pasal 139a makar wilayah negara sahabat, Pasal 139b makar pemerintahan sahabat, Pasal 140 makar raja atau kepala negara sahabat.
Nah, kalau kita baca, pasal mana yang bisa menghubungkan penggalangan massa untuk melakukan protes umum, atau “people power”, dengan kata “makar”? Tidak ada! Tak ada satupun jembatan pengertian yang bisa menghubungkan kata “people power” dengan kata “makar”.
Jadi, apa sebenarnya dasar aparat bertindak memanggil orang, menangkap orang, menuduh orang, sebagai pembuat makar? Padahal, orang-orang tadi tak pernah melakukan serangan, atau “violence attack” untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Di negara-negara lain yang demokratis juga ada pasal makar. Di dalam KUHP Jerman, misalnya, yang setara dengan pasal 107 KUHP kita adalah pasal 81 KUHP Jerman. KUHP Jerman memakai istilah “force”, kekuatan. Jadi, untuk bisa dipidana dengan tuduhan melakukan upaya penggulingan pemerintah, memang harus ada kekuatan yang nyata, baik serangan memakai senjata maupun tidak. Tanpa adanya serangan, tak bisa disebut sebagai makar.
Penggunaan istilah “people power” dalam dunia politik kita sebenarnya adalah hal biasa. Pada tahun 2014 tim kampanye Jokowi juga menggunakan ancaman “people power” untuk meminta jaminan Pemilu diselenggarakan secara jujur dan adil. Bisa dicek. Jejak digitalnya masih ada. Bahkan, relawan Jokowi mengeluarkan buku resmi berjudul “people power” untuk mengagitasikan kemenangan tokoh yang didukungnya.
Apakah waktu itu aparat kepolisian merespon pernyataan-pernyataan tentang “people power” itu sebagai makar? Kan tidak!
Hari ini kita masih hidup di Indonesia yang sama, dengan hukum yang sama, lembaga kepolisian yang sama, sistem ketatanegaraan yang sama, tapi kenapa saat ada orang meneriakkan kata “people power”, yang maksudnya sama dengan teriakan pada 2014 lalu, untuk mengawal Pemilu dan mengamankan suara rakyat, kemudian tiba-tiba dianggap sebagai makar? Ini adalah bukti jika aparat kepolisian tak lagi obyektif dan bekerja berdasarkan hukum.
Seingat saya, terakhir kali pasal makar digunakan untuk menjerat aktivis adalah pada 1998, pada masa rezim Habibie. Tuduhan makar itu diberikan kepada Letjen (purn) Kemal Idris dan kawan-kawan, yang tergabung dalam Barisan Nasional, yang dianggap telah melakukan perbuatan makar. Itupun, aparat kepolisian kemudian tidak mengenakan pasal-pasal yang berkaitan dengan tindakan makar, tetapi pasal-pasal permufakatan.
Di masa-masa sesudahnya, tuduhan makar hanya digunakan kepada anasir gerakan separatis, dan tidak lagi digunakan kepada gerakan protes yang bersifat umum.
Penangkapan-penangkapan terhadap aktivis yang terjadi di masa rezim Megawati dan SBY, misalnya, tak pernah menggunakan pasal makar, melainkan hanya pasal penghinaan terhadap kepala negara atau tuduhan dalang kerusuhan saja, seperti yang pernah diberikan kepada Ferry Juliantono di masa SBY.
Bagi saya, menghidupkan lagi pasal makar adalah bentuk pemunduran demokrasi. Apalagi, pasal itu hendak dikenakan pada masyarakat yang sedang berusaha menggunakan hak politik mereka untuk menyatakan pendapat di muka umum. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap Reformasi. Harus kita lawan bersama!
Penulis: Fadli Zon