[PORTAL-ISLAM.ID] Demokrasi yang telah disepakati sebagai tatanan utama, yang dengannya tatanan sekunder berupa pengisian jabatan presiden melalui pemilu dilangsungkan, seperti di Barat, Amerika misalnya, selalu khas. Demokrasi tidak pernah andal menyelesaikan masalah yang ditimbulkannya sendiri. Hukum yang diandalkan demokrasi untuk memagari elannya, seperti biasa rapuh, memble.
Seperti negara-negara Barat penghutbah demokrasi paling cerdik itu, demokrasi mutakhir dinegeri Pancasila ini juga sama, memanggil kompromi, kebesaran hati menerima akhir pemilu jorok dan memilukan. Jorok dan pilu hanya dilihat sekadar sebagai bagian dari belum matangnya demokrasi.
Kehebatan Demokrasi
Itu sebabnya seperti di negeri-negeri penghutbah demokrasi paling tangguh, negeri demokrasi Pancasila yang sedang berada penghujung rangkaian pemilu ini juga sama, tak terpukul dengan kematian lebih dari 400-an penyelenggara pemungutan suara. Jumlah itu lebih besar dari kematian orang tak bersalah di peristiwa Bom Bali. Hebat, para penghutbah demokrasi hanya melihatnya sebagai bagian “kelemahan” pemilu yang harus diperbaiki pada saatnya nanti.
Demokrasi tak bicara hati, apalagi insan khamil. Tidak. Demokrasi cuma bicara otak. Harkat dan martabat yang diidentifikasi para filosof sebagai elemen teragung demokrasi, hanya hebat dilevel filosofis. Tidak lebih. Perkara nyata lain lagi. Bila rakyat hendak memiliki harkat dan martabat, demokrasi mempersilahkan setiap orang mengusahakannya, sejauh berada dalam ritme culas demokrasi yang didefenisikan sekelompok kecil orang.
Tak bisa dengan alasan tindakan curang merajalela dari hari ke hari di sepanjang proses pemilu misalnya, lalu dijadikan pembenaran tindakan di luar hukum. Demokrasi akan memanggil hukum memburu anda, melebeli anda sebagai pembuat onar, main hakim sendiri, dan pada saatnya anda ditenggelamkan dalam instrumen ampuhnya, penjara.
Boleh saja anda berbusa-busa bicara mengenai Habes Corpus, sebuah pranata hukum demokratis hasil kreasi parlemen Inggris abad pertengahan abad ke-17, tepatnya pada tahun 1679 pada masa raja George II, tetapi demokrasi punya cara mencampakan anda. Demokrasi akan bilang, silahkan saja bertempur di pengadilan, sebuah dunia yang tak pernah terpisah dari hiruk-pikuk demokrasi culas. Toh dalam demokrasi, pengadilan tak pernah betul-betul menjadi dunia yang tidak bisa beradaptasi secara cerdik dengan kecerdikan khas demokrasi culas. Seperti negara-negara Barat, terutama Amerika, demokrasi menyediakan privilege kepada orang tertentu, mereka yang tak banyak terlihat di panggung terbuka.
Mereka yang kaya raya, yang jumlahnya sepersekian persen dari populasi negara seperti Indonesia, adalah sejenis warga negara yang diagungkan demokrasi. Kalau Komunisme meletakan negara memonopoli sumberdaya ekonomi, demokrasi menyebarkan sumberdaya itu dengan cara yang unik, yang dalam kenyataannya jatuh, menumpuk pada kelompok-kelompok kecil ini.
Kelompok kecil pemakan sumberdaya ekonomi bangsa ini, dengan cara yang terancang dan dilegitimasi demokrasi, memiliki kemampuan menyusup ke dalam dunia pembuatan kebijakan, dunia yang berada di luar jangkauan, jauh betul dari orang kebanyakan yang pas-pasan. Orang seperti George Soros, pencetus “Open Society” dan penyumbang terbesar pada gerakan HAM di negaranya adalah orang hebat.
Soros istimewa, akrab dengan partai Demokrat dan Bill Clinton, bahkan dalam pemilu tahun 2016 berada dibelakang dan mendukung Hillary Clinton. Pada masa pemerintahan Bill, manusia ini dapat dengan mudah bicara kebijakan luar negeri pemerintahan itu, terutama dibidang moneter. Sebagai penyumbang terbesar pada organisasi HAM di negeranya, mungkin juga dunia, manusia ini istimewa dalam lalu-lintas rumit demokrasi.
Demokrasi bukan panggung utama orang miskin. Demokrasi itu panggung orang berduit, bangsawan dalam istilah masa lalu. Demokrasi memang iba pada orang miskin, tetapi demokrasi mendefenisikan keagungan manusia miskin sesuai level rasa orang miskin. Tidak lebih. Demokrasi bicara dalam nada yang sangat optimis tentang mayoritas, tetapi ada komanya. Komanya adalah mayoritas harus tunduk pada defenisi dan pengarahan tak terlihat orang kaya, yang segelintir itu.
Berdoalah
Demokrasi mengharuskan siapapun dalam pilpres yang memilukan ini mengandalkan hukum mengoreksi kebobrokan telanjangnya. Demokrasi akan menantang siapapun dengan menyodorkan kenyataan-kenyataan pencoblosan suara ulang yang telah dilakukan di beberapa tempat, dan penghitungan suara ulang di beberapa tempat, sebagai cara menyangkal dan memutihkan kebobrokannya.
Semua kebusukan, termasuk matinya lebih dari 400-an petugas PPS akan berlalu bagai angin senja, menghilang bersama datangnya malam. Jangan banyak cakap soal kekeliruan demi kekeliruan, karena demokrasi menyodorkan hukum untuk memaksa siapapun yang hendak mempersoalkanya pergi ke peradilan. Di sanalah, bukan di jalanan, begitu seruan demokrasi, tempat teragung yang disediakan untuk anda mengoreksi kekeliruan-kekeliruan bernuansa terkordinasi yang tersaji sejauh ini.
Pergilah ke situ, ke hukum karena di sanalah tersedia keadilan. Kejarlah itu sampai kelelehan merenggutmu membawamu ke kesadaran bahwa pekerjaan itu tak lebih dari memetik bau wangi bunga rose yang diterbangkan sepoi-seoi angin pantai. Kau persoalkan kesalahan di level provinsi, hukum demokrasi mengharuskan kau turun ke kabupaten.
Begitu kau turun ke kabupaten, dan menemukan kekeliruan disitu, hukum demokrasi mengharuskan kau turun ke Kecamaatan, begitu seterusnya.
Rumit
Turunlah ke bawah sampai di Sampang Madura. Saksi Prabowo-Sandi tersudut, hanya karena hendak mengoreksi kekeliruan pengitungan. Apa kata demokrasi soal itu? Tunduklah pada prosedur yang telah disepekati, karena itulah cara sebuah bangsa besar melaju menggapai kualitas demokrasi.
Demokrasi tak bakal bilang langkah itu sama dengan langkah poco-poco. Jangan coba-coba kesal lalu memilih tindakan jalanan, karena demokrasi menunjuk tindakan itu sebagai dasar sah secara hukum dan politik memanggil senjata, memukul anda sebelum akhirnya melukai dan menyudutkan anda. Bahaya. Demokrasi dalam keadaan seperti itu tidak mengenal “rakyat sendiri”. Yang dikenal demokrasi dalam keadaan seperti itu adalah “manusia pengacau, makar” senjata politik semua rezim demokratis dimanapun memelihara eksistensinya.
Demokrasi pilpres yang berkembang sejauh ini, yang semakin tak masuk akal menurut timbangan nilai-nilai Pancasila, terlihat akan terus memacu daya kerjanya dengan mengandalkan hukum mengakhiri pilpres ini.
Terlihat demokrasi ini akan bergerak semakin jauh dengan melarang pendukung Prabowo-Sandi berdoa di Masjid-Masjid, apalagi dijalanan. Tetapi serusak dan dengan alasan sekonyol, sesombong serta secongkak apapun, demokrasi tak dapat melarang pendukung Prabowo-Sandi berdoa dirumah-rumah, baik secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok.
Marhaban ya Ramadhan, kini kau datang ditengah keangkuhan hebat demokrasi. Dikau terlalu agung untuk dilukai dengan tindakan tak jujur, tak adil, culas, sombong, angkuh dan sejenisnya. Dengan kemuliaanmu yang tak kau serahkan pada bulan lainnya, izinkan dan sudilah mengantarkan doa-doa mereka yang suaranya hilang tertelan kesombongan khas iblis dalam pilpres ini ke Rab al Haq. Sertailah dengan kemuliaanmu agar tabir ketidakadilan dan ketidakjujuran pilpres terus tersingkap.
Ya Allah ya Rab, Engkaulah pemiliki kerajaan ini, penentu segala urusan hamba, gerakanlah hati para penghitung suara pilpres memeluk kejujuran dan keadilan. Balutlah hati mereka dengan kejujuran agar rekapiutlasi suara nanti dilakukan dengan jujur. Perkenankalah hamba-hamba tak berdaya ini yanghaknya memilih pemimpin yang menurut mereka Kau ridhoi, bersimpuh dialam rahmat-Mu, berdoa dan menanti Rahmat-Mu yang tak terbilang itu.
Kabulkanlah ya Allah Ya Rab doa mereka.
Sungguh demokrasi dan hukum yang telah kami pilih untuk urusan kami memilih pemimpin kami didunia-Mu ini, tak mampu kami lalui.
Ya Allah
Ya Rab, tunjukanlah jalan kami, jalan yang Kau ridhoi untuk memiliki kemampuan melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara benar di negara yang
kami cintai ini. Ya Allah Ya Rab kuatkan dan terangilah hati orang yang haknya tercampakkan bisa terus berjuang menyuarakan kejujuran dan menegakan keadilan. Hanya kepada Engkau Ya Rab urusan ini kami serahkan dengan harapan yang tak bertepi. Insya Allah. ***
Jakarta, 5 Mei 2019.
Penulis: Margarito Kamis