[PORTAL-ISLAM.ID] Pencoblosan suara, untuk sebagian besar telah dilangsungkan pada tanggal 17 April yang baru saja berlalu. Tetapi seperti tahap-tahap yang telah terlewatkan, pemilu pada tahap ini juga memperlihatkan adanya masalah yang tak bisa dibilang sederhana. Terlalu banyak masalah yang terjadi pada tahap ini.
Masalahnya tidak terletak pada siapa diuntungkan dan siapa dirugikan dari lautan pelanggaran itu. Masalahnya terletak tergilasnya prinsip konstitusi, khususnya jujur dan adil. Jujur oleh semua pihak dan adil pada semua pihak. Prinsip bernilai hukum konstitusi ini, dalam pandangan ilmu hukum konstitusi mutlak harus dipenuhi dalam pemilu. Tetapi justru di situ masalahnya.
Tipikalnya
Surat suara yang telah tercoblos, yang terjadi di begitu banyak TPS di berbagai daerah, memang tak diikutkan dalam penghitungan perolehan suara. Betul. Tetapi itu tidak mengubah fakta apapun bahwa kenyataan itu ada. Itu satu soal. Kekurangan surat suara juga sama terjadi di tempat lain.
Tidak berhenti di situ, kecurangan juga teridentifikasi terjadi di berbagai tempat
lain.
Hebatnya kekeliruan-kekeliruan berkarakter kecurangan itu ditemukan sendiri oleh Bawaslu. Bawaslu menemukan kenyataan serusak ini. Terdapat 4.589 KPPS dari 4.589 TPS yang mengarahkan pemilih, dan 250 TPS pemilih diintimidasi (RMol,18/4/19), dan KPPS mencoblos surat suara yang tak terpakai pada 860 TPS. Ada pula KPPS yang menutup TPS sebelum pukul 13. Ini terjadi di 3.066 TPS, (Teropongsenayan, 20/4/19).
Di Nias Selatan, bupatinya menemukan kenyataan 4 Kecamatan di wilayahnya tak bisa melangsungkan pencoblosan. Bupati ini juga menemukan kenyataan pencoblosan surat suara pada tanggal 17 April menggunakan formulir fotokopian. Saya curiga, katanya, formulir C1 tidak dikirim, yang dikirim formulir fotocopian. Saya akan laporkan tindakan ini ke Bawaslu, provinsi dan pusat, (Eramuslim, 21/4/2019).
Pada bagian lain ditemukan oleh berbagai kalangan kekeliruan input perolehan suara Prabowo Sandi di Bidara Cina Jatinegara Jakarta Timur. Keduanya seharusnya memperoleh suara sebesar 162 suara dan Jokowi-Ma’ruf sebesar 47 suara, berubah menjadi Prabowo-Sandi 56 suara, dan Jokowi-Ma’ruf 180 suara. Di TPS 10 Kelurahan Laksamana Kecamatan Dumai Kota, Prabowo-Sandi memperoleh suara 141 tetapi berubah menjadi tinggal 41.
Menariknya kekeliruan demi kekeliruan tak berhenti disitu. Kerusakan lainnya, betapapun surat itu tak dimasukan ke dalam penghitungan, tetapi saja itu memiliki makna. Di Gowa Sulawesi Selatan terdapat surat suara yang telah tercoblos. Menariknya yang tercoblos adalah Jokowi-Ma’ruf. Hal yang sama terjadi di Karanganyer Solo, surat suara yang tercoblos adalah Jokowi-Ma’ruf. Pola yang sama juga terjadi di TPS tertentu di Bengkulu. Surat suara tercoblos juga terjadi di Bantul, pada satu TPS.
Lalu bagaimana sifat hukum dari semua itu bila diletakan dalam kerangka hukum konstitusi, termasuk UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum? Beralasankah kekeliruan-kekeliruan itu dinilai sebagai hal yang mengakibatkan pemilu tak memenuhi asas jujur, adil? Soalnya adalah apakah terdapat organ lain selain KPU yang memegang tanggung jawab mengadakan – mencetak- dan mendistribusikan surat suara?
Kerangka kerja hukum pemilu hanya meletakan tanggung jawab itu sepenuhnya kepada KPU, tidak pada orang lain apapun juga. Di titk itu, kenyataan-kenyataan surat suara tercoblos dan salah input tidak cukup beralasan untuk menunjuknya sebagai hal yang tak bernilai hukum.
Dalam konteks itu, soalnya beralih pada masalah penentuan jujur dan adil, sebuah asas pemilu yang dinyatakan dalam konstitusi, yang sejarahnya adalah menghentikan praktik busuk pemilu di masa lalu. Karena semua kewenangan penyelenggaraan pemilu itu diletakan pada KPU, maka kenyataan-kenyataan itu, hemat saya sulit untuk tak menyifatkan, ketidakprofesionalan yang menimbulkan ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam pemilu ini.
Pola Melegitimasi
Pemiliu, khususnya presiden dan wakil presiden dimanapun akan berakhir dengan adanya capres dan cawapres yang kalah dan menang. Selalu begitu, dimanapun di dunia ini. Bahkan pada level tertentu, kalah dan menang dengan cara curang, karena sistem tidak memiliki kemampuan, bahkan menyediakan toleransi khas hukum yang memungkinkan capres menang
secara curang, kecil sekalipun.
Pemilu yang sedang memasuki tahap akhir, tahap penghitungan dan penetapan suara secara nasional, sejauh ini terlihat tak bebas dari pelanggaran. Harus diakui pelanggaran tak mungkin dibuat zero dalam setiap
pemilu. Fakta ini dikenali oleh pecundang-pecundang terlatih. Pecundang-pecundang ini, karena itu selalu merindukan pemilu tipikal itu. Pecundang-pecundang konstitusi ini tahu kecurangan dalam pemilu, dalam banyak sistem pemilu, tak pernah bisa dikoreksi secara tuntas. Mereka,kelompok pecundang konstitusi tahu demokrasi menyediakan cara untuk menutupi pelanggaran di satu sisi, dan cara melegitimasi hasil pemilu, seburuk apapun prosesnya di sisi lain.
Mereka tahu betul rakyat, pemilih selalu bisa dikelabui, karena segera setelah memilih akan kembali bergumul dengan hidup sehari-hari yang berat. Pecundang terlatih tahu betul rakyat bisa diarahkan, dibentuk sikap
dan responnya. Mereka juga tahu selalu penting untuk memadati ruang wacana dengan beragam opini. Opini-opini ini dimaksudkan agar kenyataan perolehan angka, yang memenangkan salah satu capres berdasarkan sepersekian angka keseluruhan pemilh, diterima sebagai angka benar, sah.
Mereka tahu, begitu angka tak bernilai hukum itu diumumkan maka orang akan percaya. Ketika orang percaya, maka angka-angka sebaliknya yang menyanggah angka itu akan ditolak dan diejek. Itu hebatnya demokrasi
konstitusional ala pecundang. Curanglah securang-curangnya, semasif mungkin, sistimatis mungkin, karena kecurangan tipikal itu, hampir pasti tak bakal terungkap. Siapa yang berusaha mengungkap kecurangan tipikal ini, mereka akan dipukul dengan
suara yang bergemuruh dari berbagai penjuru. Suara-suara ini berkisar pada orang yang mempersoalkan kekalahan bukan negarawan, bukan politisi berkelas, tukang bikin ribut dan sejenisnya.
Mereka akan bilang sudahlah terima saja, berbesar hatilah. Dalam setiap pertarungan pilpres, kata mereka selalu begitu, berakhir dengan kalah dan menang. Sudahlah, terimalah takdir itu. Kedepankanlah ketertiban dan keamanan, persatuan bangsa, keutuhan hubungan sosial, dan lain sejenisnya.
Yang lain akan bilang pergi saja ke Mahkamah Konstitusi, bertempur di sana. Jangan ribut di jalan, karena keributan di jalan itu tipikal orang tak taat hukum, tak taat sistem.
Mereka akan menertawakan formulir C1, formulir kunci untuk keperluan mengoreksi selisih angka perolehan suara. Mereka tahu kerumitan membuktikannya secara hukum. Ambil misalnya selisih suara 8 juta, maka
diperlukan 8 juta lembar formulir C1. Berapa kontainer yang dibutuhkan mengangkutnya ke MK untuk diteliti? Bisakah MK menelitinya dalam waktu 14 hari, waktu yang diberikan kepada MK menyelesaikan perkara ini? Mustahil.
Tetapi demi bangsa yang kehidupan bernegaranya dipandu dengan konstitusi, bukan dengan dalil politik pecundang dan recehan, maka sesulit dan semustahil apapun usaha mengoreksi selisih angka, formulir C1 tetap memegang kunci, bernilai tinggi. C1 adalah hulu dari semua angka pada
jenjang teratas; kecamatan, kabupaten, kota, provinsi dan nasional. Kala Formulir C1 tak dapat diandalkan, karena berbagai sebab, maka pupuslah elan konstitusi.
Bila itu menjadi kenyataan nanti, maka pemilu presiden kali ini berhasil membelah konstitusi. Pemilu berlangsung, tetapi terpisah dari asas jujur dan adil. Asas jujur dan adil hanya bernilai sebagai huruf-huruf konstitusi, dimulut-mulut ahli dan politisi. Indah di teks, hancur di praktek. Pemilu, dengan demikian tak lebih dari sekadar cara canggih mempecundangi konstitusi. Bila tak segera dikoreksi, pemilu ini jadinya tak memenuhi asas-asas pemilu yang diatur dalam UUD 1945.
Penulis: Margarito Kamis