[PORTAL-ISLAM.ID] Dua tahun usai penyiraman air keras Novel Baswedan yang terjadi pada 11 April 2017 silam, kasusnya hingga kini belum terbongkar. Pelakunya masih berkeliaran, aktor intelektualnya pun belum terjamah. Namun, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bersuara menuntut penuntasan kasus yang menimpannya.
Sebelumnya Novel menuntut Presiden Joko Widodo untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), namun yang muncul malah tim kecil yang berada di bawah komando Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Tak tinggal diam, Novel lagi-lagi mempertanyakan sikap Presiden Jokowi yang seakan enggan menyelesaikan kasusnya. Dia menilai, presiden tidak bertindak tegas untuk mengusut tuntas kasus penyerangan terhadap dirinya dua tahun lalu.
“Apa Bapak Presiden mau diam saja? Sudah dua tahun tidak diungkap. Orang-orang KPK diserang sampai semakin lama hingga eskalasinya meningkat, terus apa mau terus diam dan tidak peduli?” kata Novel di kediamannya, Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin, 8 April 2019.
Novel kemudian mempertanyakan Jokowi yang seakan takut jika TGPF dibentuk maka akan terbongkar dalang dari penyerangan dirinya. Karena itu, ia tidak henti-hentiya menagih ketegasan Jokowi untuk membongkar aktor intelektual di balik kasusnya.
Menurut Novel, Jokowi sebagai kepala negara seharusnya mempunyai andil dan sikap tegas terhadap isu pemberantasan korupsi. Sebab, kejadian yang menimpanya bukan masalah pribadi, tetapi ancaman terhadap kinerja pemberantasan korupsi.
“Memang risikonya apa dibentuk TGPF? Menurut saya risikonya cuma satu, terungkap skandal ini. Pertanyaannya, apakah itu risiko yang tidak dikehendaki oleh Bapak Presiden? Nah, hal itu yang kemudian harus saya pertanyakan,” sesal Novel.
Meski belum lama ini dibentuk tim gabungan penyelidik dan penyidik untuk mengusut kasus yang menimpanya. Namun, Novel memandang tim gabungan tersebut dinilai penuh dengan kejanggalan. Sebab hingga saat ini polri belum juga membongkar ke publik mengenai kinerja dari tim gabungan tersebut.
Bahkan, Novel meyakini terdapat seorang petinggi negara atau jenderal dari institusi penegak hukum yang menjadi dalang di balik penyerangan terhadap dirinya. Dugaan itu diisyaratkan Novel bukan tanpa sebab. Namun dia tetap menginginkan agar Jokowi tetap membentuk TGPF.
“Saya meyakininya begitu (ada jenderal), pastinya ada. Keyakinan saya bukan pakai rasa, tapi ada indikasi yang sangat kuat,” ujarnya.
Namun, Novel meminta semua pihak agar tidak terjebak untuk membahas persoalan itu. Karena, yang paling tepat adalah TGPF harus independen dan bebas dari belenggu kepentingan politik orang-orang di dalamnya.
“Jadi seharusnya orang di TGPF itu mempunyai track record yang dipercaya publik dan hanya mementingkan keadilan serta kebenaran di atas semua kepentingan lainnya, itu yang harusnya dipilih. Bukan sekadarnya atau hanya dibentuk oleh orang yang tertutup saja,” ucap Novel.
Oleh karena itu, bertepatan dengan semakin dekatnya Pilpres 2019, Novel tidak bosan-bosannya menagih janji presiden untuk membentuk TGPF. Bahkan meminta siapa pun presiden yang akan tepilih nanti untuk mempunyai sikap tegas dalam permasalahan isu hukum khususnya korupsi.
“Sikap Presiden Jokowi sampai sekarang yang tetap bergeming dan diam saja, ini tentu mengecewakan. Tapi Bapak Presiden juga menjadi calon presiden sekarang. Tentunya saya berharap Bapak Presiden bersikap tegas,” pinta Novel.
Karena, lanjut Novel, gagalnya aparat mengungkap kasus itu kareana ketidakprofesionalan penanganan kasus ini dan Kapolrinya pun masih sama—dari dua tahun yang lalu masih sama.
“Saya kira seumpama presiden mau bersikap tegas, presiden bisa saja bilang begini ke Kapolri dengan menyampaikan ke publik, ‘Saya beri waktu, satu bulan lagi tidak bisa diungkap maka kapolrinya akan saya copot’. Wajar sekali bicara seperti itu,” sambungnya.
Berbagai pernyataan juga datang dari koalisi masyarakat sipil, seperti halnya Deputi Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Putri Kanesia yang mempertanyakan tim gabungan yang dikomandoi Kapolri Jenderal Tito Karnavian tersebut.
Putri mengaku, pihaknya meragukan kinerja tim gabungan yang hingga saat ini belum membeberkan hasil kinerjanya ke publik soal pengusutan kasus penyiaraman air keras yang menimpa Novel. Meski Polri membentuk tim gabungan yang berisi 100 orang penyelidik dan penyidik, namun ia masih mempertanyakan kinerja tim gabungan tersebut.
Dia pun menegaskan agar Presiden Jokowi tetap membentuk TGPF yang serupa dengan kasus yang menimpa aktivis HAM Munir.
“Tuntutan tetap sama, kami meminta agar presiden membentuk TGPF, ini serupa dengan kasus Munir,” pinta Putri.
Pegiat HAM itu pun meminta Jokowi membentuk TGPF yang berisi orang-orang independen. Hal ini dilakukan agar pengusutan kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel tidak dipolitisasi. Jokowi juga diminta mengambil langkah tegas terhadap peristiwa penyerangan terhadap beberapa penyidik KPK, khususnya Novel Baswedan.
“Tentunya TGPF mayoritas anggotanya adalah pihak independen yang memang bisa melihat kasus ini (penyerangan terhadap Novel, Red) secara objektif,” harap Putri.
Senada, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah juga meminta tim gabungan kasus penyiraman air keras Novel Baswedan bentukan Polri dapat memaparkan hasil kerjanya menjelang 100 hari masa pembentukan tim tersebut. Sebab jelang debat pilpres putaran pertama yang bertema hukum, korupsi, HAM, dan terorisme, tim gabungan itu dibentuk dengan komando Kapolri Tito Karnavian.
“Laporan kinerja bukan sebaiknya, tapi sepatutnya per tiga bulan menurut kami memang ada temuan yang menarik disampaikan ke publik. Karena itu juga mandat di dalam aturannya seperti itu,” ucap Wana.
Wana berpandangan, seharusnya Jokowi tidak hanya berdiam diri dan menunggu laporan dari tim gabungan. Sebagai kepala negara, Jokowi mempunyai andil untuk mengawal tim gabungan tersebut sekalipun telah dikomandoi oleh Kapolri Tito Karnavian.
“Presiden seharusnya tidak menunggu kepolisian untuk menyerah. Karena kalau disampaikan, polisi punya seluruh instrumen yang bisa dilakukan dan digunakan untuk memproses kasus ini secara cepat,” tegas Wana.
Oleh karenanya, Wana bersama tim koalisi masyarakat sipil lainnya juga tidak bosan-bosannya meminta Presiden Jokowi untuk membentuk TGPF. Hal ini dilakukan guna mendapat titik terang siapa pelaku intelektual dan aktor lapangan yang tega menyiram air keras terhadap Novel pada 11 April 2017 silam.
“Membuat TGPF yang isinya adalah kalangan akademisi, kemudian teman-teman aktivis pun kalau ada unsur dari kepolisian juga,” harap Wana.
Sumber: JawaPos