Oleh: Dr. Mahmud Syaltout*
Indonesia lebih kuat dibanding Israel, Australia dan Singapura: HOAX
Apakah betul, militer kita lebih kuat dibanding Israel, Australia dan Singapura seperti yang dinyatakan oleh Global Fire Power 2019?
Seperti yang aku tulis sebelumnya, aku terus terang ragu, kalau kita betul sekuat itu.
Untuk membuktikan keraguan tersebut, aku menggunakan parameter dan asumsi yang sama dengan kajian yang pernah aku lakukan bersama teman-teman dalam di tahun 2013-2014, untuk melakukan prediksi dinamika ancaman dan keamanan Indonesia pada tahun 2014-2019, seperti yang telah diterbitkan di buku (http://www.bin.go.id/asset/upload/images/Buku%20Menyongsong%202014-2019%20highress.pdf)
Idealnya, berdasarkan buku tersebut, pengukuran keamanan atau kekuatan pertahanan Indonesia terhadap dinamika ancaman, bergantung pada pengukuran terhadap lima variabel:
1. Senjata
2. Organisasi
3. Kontrol
4. Kebijakan
5. Otoritas.
Namun, karena keterbatasan atas akses data yang sumbernya bisa dipercaya dan terkonfirmasi oleh sumber terpercaya lainnya, dari lima variabel yang ada, aku hanya bisa melakukan pengukuran kekuatan pertahanan Indonesia didasarkan pada satu variabel, yaitu variabel senjata.
Namun demikian, variabel senjata sendiri, dalam kajian yang aku lakukan bersama teman-teman di tahun 2013-2014, merupakan variabel paling signifikan, dengan bobot 0.4859, atau separuh kurang sedikit dari total jumlah empat variabel lainnya.
Variabel senjata ini menurutku lebih dapat menggambarkan fakta sebenarnya. Variabel ini dalam perhitungan model penelitian kami, bobotnya lebih besar dari indikator jumlah pasukan yang hanya berbobot 0,0375 maupun indikator anggaran militer (military budget) yang hanya berbobot 0,06. Untuk lebih jelasnya terkait alasan pembobotan masing-masing variabel dan indikator, silakan unduh dan baca chapter dari buku yang kami tulis tersebut (link atas).
Selanjutnya, terkait analisis variabel senjata ini, aku hanya menghitung senjata pemusnah masal (nuklir) dan senjata konvensional, sedangkan indikator senjata ringan, karena ketidaktersediaan data yang terbuka dan dapat dikonfirmasi oleh sumber lain yang dipercaya, tidak aku hitung.
Di samping itu, mengingat bahwa dalam konteks kekuatan militer, dua indikator utama dan signifikan, ya senjata pemusnah masal (nuklir) dan senjata konvensional, di mana jumlah bobot keduanya, bernilai 0,9, sedangkan indikator senjata ringan hanya 0,1. Di mana, patut dicatat bahwa bobot senjata pemusnah masal (nuklir) memiliki bobot dua kali lebih besar daripada bobot senjata konvensional.
Kemudian, terkait data persenjataan ini, aku menggunakan data yang dikeluarkan oleh SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute – merupakan institut internasional sekaligus Think Tank terkemuka yang telah berdiri sejak tahun 1966, yang focus pada riset konflik, persenjataan, control senjata, dan pelucutan senjata, di mana mereka yang bertindak sebagai Governing Board-nya merupakan para diplomat senior, maupun para profesor ngetop kelas dunia di bidang hubungan internasional – dan di periode saat ini, ada Ibu Prof. Dewi Fortuna Anwar merupakan satu-satunya orang Indonesia yang termasuk di dalamnya).
Secara spesifik, terkait data senjata nuklir aku menggunakan SIPRI Yearbook 2018, khususnya pada Chapter World Nuclear Forces, yang dapat diakses di: https://www.sipri.org/sites/default/files/SIPRIYB18c06.pdf (lihat gambar 1).
Sedangkan untuk senjata konvensional, aku menggunakan data SIPRI Arms Transfers Database (yang bisa diakses secara terbuka di: https://www.sipri.org/databases/armstransfers).
Dari data ini, kita bisa mengetahui pada tahun berapa berapa, suatu negara, dalam hal ini, aku fokus secara khusus pada empat negara (Indonesia, Australia, Singapura dan Israel) transfer senjata, dari negara mana, dengan estimasi harga berapa, kapan dipesan, dan kapan dikirim, dengan kualitas seperti apa (kaliber, baru, bekas, dan seterusnya), seperti yang terlihat dalam gambar 2 (deal transfer senjata untuk Indonesia), gambar 3 (deal transfer senjata untuk Australia), dan gambar 4 (deal transfer senjata untuk Israel dan Singapura).
Mengingat, ketiadaan akses data apakah semua transfer senjata tersebut itu benar ada, dan benar-benar bisa berfungsi, dan andaikan berfungsi bagaimana kualitas atau kecanggihan fungsinya, maka aku mengasumsikan bahwa semua data yang diimpor ke empat negara tersebut, masih tetap dipakai. Artinya, dengan berat hati, kisah pilu seperti yang menimpa adik kandung Kakak Senior, Mas Andy Arvianto Sutardi, yang menjadi Perwira Penerbang TNI AU, kita kesampingkan terlebih dahulu – meskipun tentu saja, idealnya hal tersebut tidak boleh terjadi (lagi).
Berdasarkan data per 2 April 2019, dari keempat negara tersebut, maka kita dapat mengolahnya dengan membuat suatu indeks komposit dengan normalisasi didasarkan pada pembagian dengan nilai maksimum dari tiap kategori senjata.
Dari olah data tersebut, didapatkan hasil seperti yang tampak dalam diagram radar dalam gambar 5. Di mana dalam diagram radar tersebut, dapat diketahui bahwa Israel menyapu bersih nilai sempurna 1 (dari skala 0 sampai 1), untuk kategori senjata nuclear, aircraft, air defence systems, armoured vehicles, artillery, engines dan missiles. Sedangkan Australia mendapatkan nilai sempurna 1 untuk kategori ships, naval weapons dan other; dan Singapura untuk kategori sensors.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia yang digambarkan dengan garis berwarna biru, tampak mengenaskan, karena tidak pernah menyentuh nilai sempurna atau angka 1. Dari diagram radar tersebut, Indonesia paling kacrut untuk kategori senjata: aircraft, armoured vehicles, engines, missiles, dan tentu saja nuklir. Indonesia lumayan baik untuk kategori senjata air defence systems dan artillery yang berada di atas Singapura dan Australia; ships di atas Singapura dan Israel; sensors, naval weapons dan other di atas Israel.
Lalu, dengan pola pembobotan dengan model yang aku pakai bersama kawan-kawan di dalam Chapter buku yang diterbitkan oleh Dewan Analisis Strategis Badan Intelijen Negara, maka didapatkan olah data seperti tergambar dalam gambar 6. Di mana, Israel dengan nilai indeks 0,9024 (dari skala 0 sampai 1), jauh meninggalkan Australia yang berada di ranking ke-2 dengan nilai indeks 0,264, Singapura di ranking ke-3 dengan nilai 0,138, dan tentu saja Indonesia di urutan paling bontot dengan nilai indeks 0,1348.
Akhirnya, dapat diketahui bahwa Indonesia memiliki kekuatan militer di ranking ke-15 dunia, mengalahkan Israel, Australia dan Singapura sangatlah tidak tepat, alias mbleset, alias tipu-tipu, alias hoax.
Dengan kata lain, penggunaan secara serius Global Fire Power sebagai referensi atau acuan kebijakan dan diseminasinya secara meluas agar dipercaya oleh publik sebagai sesuatu yang benar dan akurat; padahal ini bertentangan dengan peruntukan awal Global Fire Power (sebagaimana yang dapat kita baca dalam disclaimernya di: https://www.globalfirepower.com/disclaimer.asp atau lihat gambar 7) ini yang mentok hanya sebagai hiburan belaka dan tidak boleh dijadikan sebagai rujukan serius apalagi dalam operasi militer, restorasi persenjataan dan seterusnya (baca point 2!) dan tidak bertanggung jawab pada keakuratan, ketepatan, kelengkapan, keterpercayaan, dan kemutakhiran informasi (baca point 4!); jelas merupakan PEMBOHONGAN PUBLIK DAN TINDAKAN PENYEBARAN HOAX!
‘Alaa kulli hal, semoga Gusti Allah menolong negeri ini, menjadikannya negara yang kuat, aman, sejahtera penuh barokah yang mampu melindungi seluruh rakyatnya dari ketakutan, kebodohan, kemiskinan, penindasan, dan semua tipu daya-aniaya orang-orang yang dzalim...
‘Alaa hadiniyah wa kulli niatin sholihah...
Al-Fatihah!
*Sumber: https://www.facebook.com/drmahmudsyaltout/posts/2376426545960536
Indonesia lebih kuat dibanding Israel, Australia dan Singapura: HOAX
Apakah betul, militer kita lebih kuat dibanding Israel, Australia dan Singapura seperti yang dinyatakan oleh Global Fire Power 2019?
Seperti yang aku tulis sebelumnya, aku terus terang ragu, kalau kita betul sekuat itu.
Untuk membuktikan keraguan tersebut, aku menggunakan parameter dan asumsi yang sama dengan kajian yang pernah aku lakukan bersama teman-teman dalam di tahun 2013-2014, untuk melakukan prediksi dinamika ancaman dan keamanan Indonesia pada tahun 2014-2019, seperti yang telah diterbitkan di buku (http://www.bin.go.id/asset/upload/images/Buku%20Menyongsong%202014-2019%20highress.pdf)
Idealnya, berdasarkan buku tersebut, pengukuran keamanan atau kekuatan pertahanan Indonesia terhadap dinamika ancaman, bergantung pada pengukuran terhadap lima variabel:
1. Senjata
2. Organisasi
3. Kontrol
4. Kebijakan
5. Otoritas.
Namun, karena keterbatasan atas akses data yang sumbernya bisa dipercaya dan terkonfirmasi oleh sumber terpercaya lainnya, dari lima variabel yang ada, aku hanya bisa melakukan pengukuran kekuatan pertahanan Indonesia didasarkan pada satu variabel, yaitu variabel senjata.
Namun demikian, variabel senjata sendiri, dalam kajian yang aku lakukan bersama teman-teman di tahun 2013-2014, merupakan variabel paling signifikan, dengan bobot 0.4859, atau separuh kurang sedikit dari total jumlah empat variabel lainnya.
Variabel senjata ini menurutku lebih dapat menggambarkan fakta sebenarnya. Variabel ini dalam perhitungan model penelitian kami, bobotnya lebih besar dari indikator jumlah pasukan yang hanya berbobot 0,0375 maupun indikator anggaran militer (military budget) yang hanya berbobot 0,06. Untuk lebih jelasnya terkait alasan pembobotan masing-masing variabel dan indikator, silakan unduh dan baca chapter dari buku yang kami tulis tersebut (link atas).
Selanjutnya, terkait analisis variabel senjata ini, aku hanya menghitung senjata pemusnah masal (nuklir) dan senjata konvensional, sedangkan indikator senjata ringan, karena ketidaktersediaan data yang terbuka dan dapat dikonfirmasi oleh sumber lain yang dipercaya, tidak aku hitung.
Di samping itu, mengingat bahwa dalam konteks kekuatan militer, dua indikator utama dan signifikan, ya senjata pemusnah masal (nuklir) dan senjata konvensional, di mana jumlah bobot keduanya, bernilai 0,9, sedangkan indikator senjata ringan hanya 0,1. Di mana, patut dicatat bahwa bobot senjata pemusnah masal (nuklir) memiliki bobot dua kali lebih besar daripada bobot senjata konvensional.
Kemudian, terkait data persenjataan ini, aku menggunakan data yang dikeluarkan oleh SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute – merupakan institut internasional sekaligus Think Tank terkemuka yang telah berdiri sejak tahun 1966, yang focus pada riset konflik, persenjataan, control senjata, dan pelucutan senjata, di mana mereka yang bertindak sebagai Governing Board-nya merupakan para diplomat senior, maupun para profesor ngetop kelas dunia di bidang hubungan internasional – dan di periode saat ini, ada Ibu Prof. Dewi Fortuna Anwar merupakan satu-satunya orang Indonesia yang termasuk di dalamnya).
Secara spesifik, terkait data senjata nuklir aku menggunakan SIPRI Yearbook 2018, khususnya pada Chapter World Nuclear Forces, yang dapat diakses di: https://www.sipri.org/sites/default/files/SIPRIYB18c06.pdf (lihat gambar 1).
Sedangkan untuk senjata konvensional, aku menggunakan data SIPRI Arms Transfers Database (yang bisa diakses secara terbuka di: https://www.sipri.org/databases/armstransfers).
Dari data ini, kita bisa mengetahui pada tahun berapa berapa, suatu negara, dalam hal ini, aku fokus secara khusus pada empat negara (Indonesia, Australia, Singapura dan Israel) transfer senjata, dari negara mana, dengan estimasi harga berapa, kapan dipesan, dan kapan dikirim, dengan kualitas seperti apa (kaliber, baru, bekas, dan seterusnya), seperti yang terlihat dalam gambar 2 (deal transfer senjata untuk Indonesia), gambar 3 (deal transfer senjata untuk Australia), dan gambar 4 (deal transfer senjata untuk Israel dan Singapura).
Mengingat, ketiadaan akses data apakah semua transfer senjata tersebut itu benar ada, dan benar-benar bisa berfungsi, dan andaikan berfungsi bagaimana kualitas atau kecanggihan fungsinya, maka aku mengasumsikan bahwa semua data yang diimpor ke empat negara tersebut, masih tetap dipakai. Artinya, dengan berat hati, kisah pilu seperti yang menimpa adik kandung Kakak Senior, Mas Andy Arvianto Sutardi, yang menjadi Perwira Penerbang TNI AU, kita kesampingkan terlebih dahulu – meskipun tentu saja, idealnya hal tersebut tidak boleh terjadi (lagi).
Berdasarkan data per 2 April 2019, dari keempat negara tersebut, maka kita dapat mengolahnya dengan membuat suatu indeks komposit dengan normalisasi didasarkan pada pembagian dengan nilai maksimum dari tiap kategori senjata.
Dari olah data tersebut, didapatkan hasil seperti yang tampak dalam diagram radar dalam gambar 5. Di mana dalam diagram radar tersebut, dapat diketahui bahwa Israel menyapu bersih nilai sempurna 1 (dari skala 0 sampai 1), untuk kategori senjata nuclear, aircraft, air defence systems, armoured vehicles, artillery, engines dan missiles. Sedangkan Australia mendapatkan nilai sempurna 1 untuk kategori ships, naval weapons dan other; dan Singapura untuk kategori sensors.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia yang digambarkan dengan garis berwarna biru, tampak mengenaskan, karena tidak pernah menyentuh nilai sempurna atau angka 1. Dari diagram radar tersebut, Indonesia paling kacrut untuk kategori senjata: aircraft, armoured vehicles, engines, missiles, dan tentu saja nuklir. Indonesia lumayan baik untuk kategori senjata air defence systems dan artillery yang berada di atas Singapura dan Australia; ships di atas Singapura dan Israel; sensors, naval weapons dan other di atas Israel.
Lalu, dengan pola pembobotan dengan model yang aku pakai bersama kawan-kawan di dalam Chapter buku yang diterbitkan oleh Dewan Analisis Strategis Badan Intelijen Negara, maka didapatkan olah data seperti tergambar dalam gambar 6. Di mana, Israel dengan nilai indeks 0,9024 (dari skala 0 sampai 1), jauh meninggalkan Australia yang berada di ranking ke-2 dengan nilai indeks 0,264, Singapura di ranking ke-3 dengan nilai 0,138, dan tentu saja Indonesia di urutan paling bontot dengan nilai indeks 0,1348.
Akhirnya, dapat diketahui bahwa Indonesia memiliki kekuatan militer di ranking ke-15 dunia, mengalahkan Israel, Australia dan Singapura sangatlah tidak tepat, alias mbleset, alias tipu-tipu, alias hoax.
Dengan kata lain, penggunaan secara serius Global Fire Power sebagai referensi atau acuan kebijakan dan diseminasinya secara meluas agar dipercaya oleh publik sebagai sesuatu yang benar dan akurat; padahal ini bertentangan dengan peruntukan awal Global Fire Power (sebagaimana yang dapat kita baca dalam disclaimernya di: https://www.globalfirepower.com/disclaimer.asp atau lihat gambar 7) ini yang mentok hanya sebagai hiburan belaka dan tidak boleh dijadikan sebagai rujukan serius apalagi dalam operasi militer, restorasi persenjataan dan seterusnya (baca point 2!) dan tidak bertanggung jawab pada keakuratan, ketepatan, kelengkapan, keterpercayaan, dan kemutakhiran informasi (baca point 4!); jelas merupakan PEMBOHONGAN PUBLIK DAN TINDAKAN PENYEBARAN HOAX!
‘Alaa kulli hal, semoga Gusti Allah menolong negeri ini, menjadikannya negara yang kuat, aman, sejahtera penuh barokah yang mampu melindungi seluruh rakyatnya dari ketakutan, kebodohan, kemiskinan, penindasan, dan semua tipu daya-aniaya orang-orang yang dzalim...
‘Alaa hadiniyah wa kulli niatin sholihah...
Al-Fatihah!
*Sumber: https://www.facebook.com/drmahmudsyaltout/posts/2376426545960536