Hari ini, segenap anak bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia, mayoritas umat Islam sedang pilu. Pilu atas proses politik yang penuh kecurangan dan korban jiwa. Kecurangan yang begitu terstruktur, sistematis dan massif tanpa malu menjadi seriosa publik yang dipertontonkan secara telanjang oleh rezim kepada rakyat.
Alih-alih membantu menetralisir suasana, mendorong Pemerintah menuntaskan kecurangan, menghimbau para pihak untuk berlaku jujur dan adil, nyatanya bukan itu sikap yang diambil Machfud MD, salah satu begawan andalan BPIP pimpinan Megawati. Mahfud justru mengumbar tudingan yang meresahkan, tudingan yang menyayat hati dan jiwa, tudingan yang tidak paham hakekat menghargai perbedaan aspirasi dan kebhinekaan.
Mahfud menuding, basis pemilih Prabowo Sandi berhaluan Islam garis keras. Mahfud menuding, basis pemilih Prabowo Sandi memiliki sejarah panjang Islam garis keras. Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan sejumlah daerah mendapat 'dampratan' dari Mahfud tanpa dasar dan argumentasi.
Begawan BPIP ini seolah sudah lupa wejangan aspirasi yang harus dihormati, tuli terhadap ujaran kebhinekaan. Perbedaan pilihan politik dalam Pilpres, dengan dasar dan alasan apapun seharusnya tetap dihormat.
Mahfud juga tidak adil, jika basis 02 dituding dari basis Islam garis keras, beranikah Mahfud menyatakan basis dukungan 01 berasal dari mayoritas wilayah dan daerah garis merah?
Kami umat Islam sudah terlalu kenyang dituding garis keras, fundamentalis, radikal bahkan dituding teroris. Namun sayangnya, kenapa tudingan itu keluar dari tokoh Islam? Cendekiawan Islam?
Apakah gelar profesor itu tidak menuntut pemiliknya untuk berfikir ulang dan mendalam, sebelum mengeluarkan ujaran yang menyakitkan? Bahkan ujaran yang menyakitkan hati umat Islam.
Apakah jabatan di BPIP, sebagai punggawa atau brahmana BPIP tidak ada standar bakunya? Apakah, yang anti Pancasila itu hanya ditudingkan kepada umat Islam? Apakah contoh sikap Pancasilais itu seperti yang dilakukan kader PDIP? Anak buah Megawati? Yang kelakuannya sering bikin onar, bahkan melakukan tawur kepada anggota TNI dan bawaslu seperti di Jogja?
Mahfud seharusnya paham ungkapan bijak, menjaga lisan untuk tidak berbuat nista lebih utama ketimbang mengumbar aksara kebajikan. Atau Mahfud seharusnya paham hadits Kanjeng Nabi SAW, berkata baik atau diamlah. Jika tidak bisa membahagiakan, menentramkan hati umat Islam, maka jangan menyakitinya.
Mahfud harusnya bersuara lantang pada kecurangan Pilpres, kecurangan yang mengkhianati aspirasi suara umat Islam. Protes pada kecurangan, yang hakekatnya menyepelekan ratusan korban KPPS yang mengawal suara dan aspirasi rakyat.
Kalau sikap seperti ini terus dipelihara, diteruskan, bukan mustahil bangsa ini akan terbelah. Seharusnya, kasus Mahfud ini menjadi kasus terakhir. Tidak boleh ada satupun, baik tokoh atau awam, yang menyebar ujaran mendiskreditkan umat Islam.
Jika hari ini Prabowo menang didukung suara mayoritas umat Islam, apakah itu salah? Lantas, kami umat Islam di negeri ini dianggap apa?
(Oleh : Nasrudin Joha)
dr tweet @syarif_alkadrie.— Kak DuL 🔞 (@dulatips) 27 April 2019
Kata Mahpud MD, kantung2 yg memenangkan 02 adalah provinsi2 garis keras dalam agama.
Apa tanggapan netizen?pic.twitter.com/dsAVHyIel0