by Nadine Angelique*
Kekalahan Jokowi di Aceh, menimbulkan ratapan panjang.
Di Aceh, berdasarkan hasil hitung cepat Indo Barometer, pasangan Prabowo-Sandiaga meraup 82,88% suara. Sedangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin hanya memperoleh 17,12% suara.
Dalam berbagai status FB, orang Aceh digambarkan sebagai tidak tahu balas budi, melupakan kekejaman DOM, terkena hoax, termakan radikalisasi agama. Pokoknya yang buruk-buruk.
Gambaran itu, bukan datang dari orang sembarangan. Ada dari pengacara terkenal yang pernah membantu aktivis Aceh sewaktu konflik, ada dari wartawan yang pernah menulis dan mengenal Aceh dari dekat. Mereka menulis sambil membangkit-bangkitkan jasa mereka selama ini untuk Aceh. Ada yang bahkan bercanda serius untuk mengajak memboikot makanan atau mie Aceh karena Jokowi tidak menang di Aceh. Kan bodoh ya?
Status-status mereka di FB, disambar sedemikian rupa oleh akun-akun yang dari namanya kita lihat berbeda agama dengan masyarakat Aceh. Seolah-olah pelampiasan kekesalan kepada orang Aceh yang menganut agama Islam. Seolah-olah mereka berkata, “Cocok itu. Orang Aceh yang menjalankan Syariat Islam, memang begitu. Tidak tahu balas budi”.
Na kesal sekali membacanya. Oiiii, ini pemilihan presiden, bukan ajang balas budi. Ada dua pilihan, masyarakat berhak memilih siapa saja yang disukai.
Gambaran-gambaran di atas yang disampaikan terhadap orang Aceh, apa beda dengan kerjaan-kerjaan orang yang mendukung calon lain yang bawa-bawa agama? Sama saja rupanya. Mengaku sebagai Suhu Keberagaman, tetapi marah-marah saat bertemu dengan orang yang berbeda pilihan.
Mestinya saat Jokowi kalah di Aceh, perlu diperhatikan, apakah ada penyebab tertentu atau memang kesalahan sendiri. Pembangunan yang ada, kewajiban Pemerintah, itu bukan merupakan jasa atau budi yang harus dibalas dengan cara orang memilih kembali.
Untuk membuka mata, ini beberapa penyebab kekalahan Jokowi di Aceh:
1. Tim Jokowi memang didukung oleh sebagian GAM seperti Sofyan Daud, Muksalmina, Abu Radak dan lainnya. Tetapi ada sebagian orang yang bukan GAM, membawa-bawa nama saja, diberi panggung untuk kampanye di garda terdepan.
Kelompok ini dulu mendukung kelompok yang berseberangan dengan GAM, sampai sekarang masih menghujat MOU Helsinki. Bagi kelompok ini, semua pimpinan GAM salah. Nah, masyarakat di kampung-kampung di Aceh Utara, Pidie, Aceh Timur, yang masih kuat pengaruh GAM, tidak akan termakan oleh kampanye orang-orang seperti ini.
2. Walaupun Jokowi sayang kepada Aceh, namun tidak ada tokoh dari Aceh yang kita lihat mempunyai kedekatan dengan Jokowi. Berbeda dengan Prabowo. Dia mempunyai hubungan langsung dengan Muzakir Manaf. Jokowi juga tidak mengutus orang yang paham psikologi orang Aceh untuk berkomunikasi dengan Aceh.
3. Orang Aceh sebagian merasa tidak ada jaminan bahwa MOU akan diperkuat oleh Jokowi. Tidak terlihat ada upaya apa pun untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada di MOU. Prabowo, dalam pertemuan-pertemuan dengan pendukungnya dari Aceh, menjamin bahwa isi MOU akan dijalankan. Bendera misalnya, akan diberikan hak kepada Aceh untuk menaikkannya.
Sempurna satu periode duduk Pemerintahan Jokowi, tidak selesai masalah bendera, juga masih bermasalah sebagian persoalan yang menyangkut dengan Wali Nanggroe.
4. Memory anak muda Aceh, lebih mengingat kekejaman di masa Darurat Militer Pemerintah Megawati dibanding DOM masa Suharto. Kekejaman pasukan Raider bentukan Ryacudu yang diangkat oleh Jokowi menjadi Menteri Pertahanan, lebih berbekas dibanding kekejaman Kopassus di masa Prabowo.
5. Pemerintah Jokowi menyepelekan Aceh. Tidak membuat Desk Aceh di Jakarta untuk menjembatani permasalahan-permasalahan Aceh setelah damai. Kemenkopolhukam di bawah Menteri Wiranto, sudah menganggap Aceh seperti daerah lain. Tidak perlu diperhatikan lebih. Ini menjadi api dalam sekam.
6. Faktor Irwandi juga berpengaruh. Di saat Irwandi Yusuf berjibaku mempertahankan perdamaian sebagai gubernur, tidak terlihat presiden memperlihatkan sokongannya. Irwandi dibiarkan melawan sendiri mafia tambang dan perambah hutan. Bahkan beberapa pejabat dan orang dekat presiden, dianggap oleh masyarakat sebagai dalang untuk menghancurkan Irwandi terkait tambang dan energi.
7. Sekali lagi, ini sebagai pilihan saja, satu dari dua orang yang sama-sama baik. Sebagian orang Aceh menganggap untuk hal-hal tertentu, Probowo mungkin akan lebih baik. Tidak salah kan berharap?
Jadi jangan merepet, jangan mencurigai berlebihan. Ini hal biasa, soal pilihan. Tidak ada sangkut paut dengan tidak membalas budi. Orang luar, jangan ajari Aceh tentang membalas budi. Berapa kali Aceh sudah dikhianati?
Selamat menunggu hasil keputusan KPU. Na sebagai PNS tidak boleh mendukung atau berpolitik praktis. Hanya mendoakan yang terbaik bagi yang ditetapkan sebagai Presiden RI untuk periode selanjutnya.
*Sumber: fb penulis