[PORTAL-ISLAM.ID] Ada yang terlupakan dari debat capres keempat, beberapa hari lalu. Yang saya maksudkan adalah, adegan ketika Pak Jokowi mengatakan, “Saya perintahkan kepada Menteri Pertahanan untuk…,” dst.
Adakah yang salah? Tidak ada. Cuma, Pak Jokowi sepertinya menunggu-nunggu momen untuk mengatakan “Saya perintahkan” itu.
Beliau mengucapkan kalimat tsb dengan tekanan suara (tone) yang agak dinaikkan. Dikeraskan. Mungkin supaya kelihatan “saya ini presiden”.
Tetapi, dari segi psikologi komunikasi, penggunaan kalimat “Saya perintahkan” merefleksikan bahwa yang mengucapkan itu memerlukan pengakuan dari audiens (pendengar). Juga menunjukkan bahwa dia, sebetulnya, tidak memiliki rasa percaya diri yang memadai. Dalam arti, beliau tidak memiliki “natural grip” (cengkeraman alami) di lingkungan kekuasaannya.
Dengan kata lain, dia sesungguhnya “tidak berkuasa” secara intelektualitas. Meskipun berkuasa secara institusional (kelembagaan),
Artinya, ada legitimasi institusional tetapi tidak punya legitimasi intelektual. Akibatnya, orang hanya menghormati Jokowi karena beliau duduk di kursi presiden. Kombinasi seperti ini sangat rentan terhadap proses interaksi politik dan public relation yang harus dilalui oleh seorang presiden.
Kerentanan itu mengakibatkan kesulitan serius. Contoh konkretnya antara lain adalah insiden “I want to test my minister” atau kesulitan dalam menjawab pertanyaan media. Gugup dan gagap akan menjadi pemandangan yang lumrah.
Jadi, penjabaran sistem demokrasi tidaklah cukup sebatas memenuhi formalitas fisik belaka. Misalnya, yang penting ada orang yang didudukkan di satu lembaga. Tak perduli siapa orangnya dan seberapa kapabilitasnya. Formalitas seperti ini bukan untuk jabatan yang sangat penting seperti kursi presiden.
Untuk jabatan eksekutif tertinggi ini, kita harus mengikuti logika umum. Maksudnya, seorang presiden mutlak harus memiliki “intelectual vocabulary” (perbendaharaan intelektual) yang harus jauh di atas garis memadai sebelum dia diberi mandat institusional tertinggi.
Semoga kita semua berkenan mengambil pelajaran berharga dari pilpres 2014. Agar kita tidak salah pilih lagi dalam pilpres 17 April nanti.
Cukuplah sekali kita memilih presiden dari hasil polesan teatrikal; dari sudut pandang komedi. Jangan sampai pesona palsu melanjutkan kepalsuannya.
Penulis : Asyari Usman