Ibu Kota Pindah?
Kalau ibu kota dipindah, tujuannya justru harus ke arah efisiensi, bukan asal pindah semata.
Syarat paling dasar efissiensi adalah konsep smartcity. Segala birokrasi versi zaman jahiliyah harus ditinggalkan, tidak usah ikut pindah. Semua PNS nya yang tidak ada kerjaannya dan hanya jadi beban negara, juga tidak usah ikut pindah. Hanya PNS yang smart saja yang pindah.
Termasuk warganya yang pindah hanya yang smart saja. Yang kurang smart macam yang suka bikin macet jalanan, tukang palak, preman, pedagang yang suka serobot trotoar, tukang parkir liar, pak ogah, tukang ngetrek dan sejenisnya tidak usah ikut pindah.
Biar kotanya jadi smart city dan paperless city. Semua sistemnya berbasis komputer. Seluruh warganya terdaftar di server sejak lahir dan terus terekam jejaknya sepanjang hidup. KTP nya tidak lagi pakai plastik, tapi cukup pakai pengenalan retina, suara dan wajah.
Semua aktifitas warga terekam di cctv. Kalau masuk suatu gedung, cctv langsung mengenali wajah kita dan mendeteksi di server basis kependudukan. Kita tidak perlu lagi titip KTP ke resepsionis untuk masuk suatu gedung. Sebab data kita sudah masuk.
Begitu juga kalau mau belanja di minimarket, karena semua berbasis smartshop, kamera cctv langsung mengenali identitas kita dan terkoneksi dengan rekening bank kita. Apa saja barang yang kita beli, tidak perlu lagi lapor ke kasir, karena langsung dikenali dan otomatis kita bayar secara otomatis dari rekening bank kita.
Misalnya ada penyusup masuk ibu kota, kok wajahnya tidak dikenali cctv, maka dia tidak bisa masuk ke berbagai fasilitas keren itu. Pintu minimarket tidak bisa membuka, kecuali wajahnya dikenali dulu oleh cctv dan datanya terekam di database server.
Seandainya mau adakan pilkada langsung, cukup pencet satu tombol saja, maka saat itu juga data terkumpul.
Tempat tinggal warga smartcity tentu pakai konsep gedung apartemen semua, 20 sd 40 lantai untuk tiap gedungnya. Sehingga hemat pemakaian lahan. Maka ibukota ditumbuhi pepohonan yang hijau lebat, penyerapan air ke tanah cukup tinggi. Ekosistemnya seimbang.
Konsep penataannya rumah harus selalu berdampingan dengan kantor atau tempat kerja. Biar tiap hari ke kantor cukup berjalan kaki ke gedung sebelah, yang jaraknya 100 meter, 200 meter sd 500 jaraknya. Maksimal 1 km saja, tidak boleh lebih.
Demikian juga dengan tata letak sekolah, kampus, rumah ibadah, rumah sakit, pasar, semua didesain bisa dijangkau cukup dengan jalan kaki dalam jarak yang dekat.
Maka kebutuhan sarana transportasi menjadi minim. Karena semua titik bisa terjangkau karena sejak awal konsepnya mendekatkan rumah hunian dengan semua titik itu.
Tidak ada lagi ritual 4 juta orang masuk ibu kota bermacet 4 jam di pagi hari. Tidak ada lagi gerakan pulang kantor sore hari 4 juta orang bergerak ke luar ibu kota bermacet ria 4 jam lamanya. Sebab semua orang punya rumah di samping kantornya.
Nyaris kita tidak butuh mobil atau motor lagi, kalau pun ada, jumlahnya amat terbatas sekali dan hanya yang berbahan bakar listrik saja, yang pakai bbm tidak boleh masuk.
Sejak sebelum dirancang, jaringan transportasi masal seperti kereta bawah tanah sudah dibuat duluan, yang menghubungkan semua titik konsentrasi penduduk dengan merata.
Masuk ke kereta bawah tanah, lagi-lagi scan via cctv. Masuk stasiun mana keluar stasiun mana, tidak perlu tiket, tidak harus ngetap, tidak harus isi ulang e-money. Semua sudah tersambung dengan secara smart dengan rekening bank kita. Terbayarkan dengan sendirinya.
Jadi kalau ada orang mau naik kereta bawah tanah, tapi kok tidak punya identitas, atau tidak terdaftar data dirinya di server, jangan harap bisa masuk stasiun. Pintunya tidak akan membuka sejak awal.
Untuk menjadi warga di smart city, harus smart. Dan untuk jadi PNS di smart city, juga harus smart.
Konsep smart city seperti ini susah kalau dibangun di tengah kota yang sudah semrawut kayak Jakarta ini. Harusnya dibangun sejak awal di aera yang kosong, biar mudah mendesainnya.
Usulan saya, tidak perlu babat alas dan gusur lahan punya orang. Bikin saja pulau tersendiri di laut kayak yang dilakukan beberapa negara. Dubai, Qatar, Singapura, dan semua negara maju di dunia.
Bandara Changi Singapura itu aslinya laut. Bandara Ahmad Yani Semarang yang baru juga dibangun di atas laut atau rawa.
Tapi jangan pakai istilah reklamasi, kesannya sudah buruk duluan. Tapi namanya smartcity lepas pantai.
Keuntungan lainnya, jumlah warga bisa dikendalikan dengan pasti. Mau sehebat apa pun penataan kotanya, tapi kalau dibanjiri belasan juta orang, sistemnya akan lumpuh. Kayak Mekkah di musim haji, kayak lumpuh gitu.
Kunci sukses Singapore itu kan pengendalian jumlah warga yang berimbang dengan fasiltas yang tersedia. Coba saja kota Singapore itu kita banjiri dengan 25 juta orang, tidak sampai seminggu sudah lumpuh total.
Bukan berarti orang daerah tidak boleh masuk ibukota. Boleh saja, silahkan. Tapi harus jelas kerjaannya. Kalau tidak punya kerjaan, hanya pengangguran, tidak punya skill, malas, tidak mau kerja, otomatis terusir dengan sendirinya.
Kalau mau kerja baik-baik, terdaftar resmi, jujur, rajin, produktif, meski cuma jadi bagian cleaning service, silahkan jadi warga yang baik.
Tapi kalau cuma jadi preman, kerjanya nyerobot tanah orang, jadi tukang pukul, jadi backing orang yang mau bayar, kerjanya nakut-nakuti warga, maka yang kayak gini langsung dikenali cctv dan terblokir tidak bisa pakai fasilitas publik.
Ahmad Sarwat, Lc.MA